Minggu, 01 Mei 2016

Demokrasi Dalam Islam




MAKALAH


DEMOKRASI DALAM ISLAM



Penyusun:
Muhammad Wahyu Fajar





KATA PENGANTAR

Assalamualaikum.Wr.Wb
Puji syukur saya (penyusun) panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat-Nya yang berlimpah, kami dapat menyusun makalah ini dengan baik sesuai dengan kemampuan kami. Tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Untuk selanjutnya kami mengharapkan semoga makalah ini dapat menambah wawasan bagi kami sendiri dan juga mahasiswa yang sedang menempuh materi ini.
 Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini jauh dari sempurna, untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik agar makalah ini mendekati sempurna, kami sadar bahwa kesempurnaan hanya milik NYA.
Akhir kata, semoga makalah yang kami susun ini berguna bagi kita semua.
Amin-amin yarabbal ‘alamin.

Wassalamualaikum.Wr.Wb

Hormat kami,
Tim Makalah




BAB I
PENDAHULUAN

Dalam pembuatan makalah ini kami mengangkat beberapa rumusan masalah diantaranya:
1) Bagaimana Demokrasi menurut Islam?


Tujuan penelitian
Dari rumusan masalah diatas kami memiliki beberapa tujuan diantaranya sebagai berikut:
1) Mengetahui Bagaimana Demokrasi menurut pandangan Islam.




BAB II
PEMBAHASAN


A.  Demokrasi dalam Pandangan Islam

Di  tengah-tengamasyarakat  kaum  muslimin  telah  lama  muncul sistem kehidupan yang bernama demokrasi dan telah diadopsi oleh hampir seluruh negeri-negeri Islam dan masyarakatnya. Sebagian menerimanya secara total tanpa reserve, sebagian mencoba mengkompromikannya dengan Syariat Islam, dan sebagian kecil lagi menolaknya mentah-mentah dan hanya menginginkaSyariat  Islam  saja  yang  diterapkan  sebagai  sistem kehidupannya.
Respon umat Islam terhadap demokrasi tidak lepas dari cara pandang (episteme) umat  Islam  terhadap  kedudukan Nabi  Muhammad Saw.  dalam aktivitas  politik  sebagai  diperdebatkan  para  pemikir  Muslim  sejak  Islam
bersinggungan (dan merasa ketinggalan dari) dengan Barat. Secara umum,


cara  pandang  umat  Islam  terhadap  Islam  dan  respon  mereka  terhadap demokrasi dapat dikelompokkan menjadi tiga:27
Pertama, sebagian pemikir Muslim berpendapat dan berkeyakinan bahwa Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. adalah agama yang sempurna, lengkap, mengurus semua aspek kehidupan: ritual, sosial, ekonomi dan politik. Bagi yang berpendapat demikian, Islam bukanlah agama (sebagai dipahami  Barat)  yang  hanya  mengatur  hubungamanusia  dengan  Tuhan, tetapi Islam adalah agama yang lengkap yang didalamnya terhadap sistem kenegaraan, orang Islam tidak perlu meniru demokrasi” dan ketatanegaraan Eropa. Rujukan pemikiran politik Islam adalah sistem kenegaraan yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw. dan al-Khulafaal-Rasyidun. Diantara pemikir yang berpendapat demikian adalah Hasan al-Banna, Sayyid
Quthb, Rasyid Ridha.28
Demokrasi menurut kelompok ini adalah sesuatu yang harus ditolak, karena merupakan sesuatu yang impossible, dan ancaman yang perlu diwaspadai. Beberapa ahli dan ulama  yang berpandangan demikian antara lain, Syaikh Fadhallah Nuri dan Thabathabai dari Iran, Sayyid Quthb dan al- Syarawi dari Mesir, serta Ali Benhadj dari Aljazair. Mereka berpendapat bahwa dalam Islam tidak ada tempat yang layak bagi demokrasi, yang karenanya Islam dan demokrasi tidak bisa dipadukan.29





27Jaih  Mubarok,  Fiqh  Siyasah,  StudiTentang  Ijtihad  dan  Fatwa  Politik  di  Indonesia,
Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005, hlm. 50.
28 Ibid, hlm. 51.
29 Sukron Kamil, loc. cit,hlm. 47.







Bagi Syekh Fadhallah Nuri, satu kunci gagasan demokrasi, yaitu persamaan semua warga negara, adalah impossible, dalam Islam. Perbedaan luar biasa yang tidak mungkin dihindari pasti terjadi. Misalnya, antar yang beriman  dengan  yang tidak  beriman,  kaya-miskin, dan  faqi(ahli  hukum Islam) dengan pengikutnya. Selain itu ia juga menolak legislasi oleh manusia. Islam tidak memiliki kekurangan yang memerkulan penyempurnaan. Dalam Islam tidak ada seorang pun yang di izinkan mengatur hukum. Paham konstitusional sebagai bagian dari demokrasi, karenanya, bertentangan dengan
Islam.30
Menurut Ali Benhadj, seorang pemimpin muda FIS (Front Islamique du salut) di Aljazair, demokrasi adalah sebuah konsep Yudeo-Kristen yang harus di ganti dengan prinsip-prinsip kepemimpinan yang inhern dalam Islam. Bagi Benhadj yang cenderung dogmatis dan militan ini, demokrasi tidak lebih dari alat Barat semata. Demokrasi hanya baik jika melahirkan pemerintahan yang pro Barat.31
Sedangkan menurut Thabathabai, seorang mufasir dan filosuf Iran terkenal, Islam dan demokrasi tidak bisa di rujukan karena prinsip mayoritasnya. Setiap  agama  besar,  dalam  kelahiranya  selalu  bertentangan, bukan  menyesuaikadengan  kehendak  mayoritas.  Karena  itu,  katanya, salahlah menganggap tuntutan mayoritas selalu adil dan mengikat.32Makhluk manusia  sering  tidak  menyukai  apa  yang  adil  dan  benar  seperti  yang

30 John L. Esposito, Islam dan Politik, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, hlm. 118.
31  John L. Esposito dan John. O Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim Problem dan
Prospek,Terj. Rahman Astuti, dari Islam and Democracy, Bandung: Mizan, 1999, hlm. 214.
32Hamid  Enayat,  Reaksi  Politik  Sunni  dan  Syi’ah,  Pemikiran  Politik  Islam  Modern
Menghaapi Abad 20, Bandung: Pustaka, 1988, hlm. 211.







disebutkan dalam  surat  Al-  mukminun ayat  70-71  yang berbunyi sebagai

berikut:



Artinya  : Atau (apakah patut) mereka berkata: "Padanya (Muhammad) ada penyakit gila." sebenarnya Dia telah membawa kebenaran kepada
mereka, dan kebanyakan mereka benci kepada kebenaran itu, andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu .33


Kedua, sebagian pemikir Muslim berpendapat bahwa tugas Nabi MuhammaSaw,  hanyalah  sebagai  pembawa  risalah  keagamaan,  yang bertugas mengajak manusia agar berjalan di atas kebenaran dan budi pekerti yang luhur; meskipun demikian, mereka berkeyakinan bahwa Islam menghendaki terwujudnya keserasiaan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi. Mereka berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad Saw, bukanlah pemimpin politik tetapi hanya sebagai pemimpin agama. Diantara pemikir yang berpendapat demikian adalah Ali Abd al-Razik dan Thaha Husen.
Ali Abd al-Raziq dalam bukunya al-Islam wa Ushul al-Hukum: Bahts fi al-Khilafat wa al-Hukumat, ia menolak kedudukan Nabi Muhammad Saw, sebagai  kepala  negara,  Ali-Abdul  al-Raziq  membuat  pertanyaan  sebagai
berikut:  apakah  Nabi  Muhammad  Saw.  Itu  sebagai  pemegang  kekuasaan


33Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya,  Jakarta: PT.Toha
Putra, hlm. 482.







politik dan kepala pemerintahan  yang sekaligus juga seoarang rosul  yang membawa risalah keagamaan atau bukan.34
Ali abd al-Raziq tidak menolak tesis yang menyatakan bahwa Nabi Muhammmad Saw. Adalah pemimpin secarsosiologis dan agamaAkan tetapi yang ia tolak adalah tesis yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad adalah kepala negara. Tesis ini ditolak karena kepala negara adalah kepemimpinan duniawi yang disatukan oleh ikatan politik, sedangkan kepemimpinan Nabi Saw. Adalah ikatan agama yang berdimensi duniawi dan ukhrawi. Ketika Nabi Saw. Bertindak duniawi melakukan perang, damai, memperlakukan tawanan, menumpas pemberontak adalah tindkan yang merupakan media dakwah untuk menyukseskan misi risalahnya, bukan karena
kedudukan sebagai pemimpin politik.35

Kelompok kedua ini menyetujui adanya prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam tetapi di lain pihak mengakui adanya perbedaan di antara keduanya, berangkat dari doktrin kedaulatan Tuhan dalam bentuk syariah (hukum Tuhan) yang membatasi kedaulatan rakyat. Al-Maududi sebagai salah satu  pelopornya menyatakan  bahwa ada  kemiripan  wawasan  yang hampir sama, seperti konsep-konsep yang ada di Dalam Islam sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:
1.  Keadilan yang diterangkan dalam surat Asy-Syura ayat ke 15,



34Jaih Mubarok, Op. cit, hlm. 52.
35Ali  Abd.  Al-Raziq  dengan  gagasannya  yang  menolak  bahwa  Nabi  saw.  sebagai pemimpin politik, akhirnya dikucilkan oleh dewan ulama al-azhar dan tidak boleh memangku
jabatan apapun dalam pemerintahan. Lihat: Ali Abd. Al-Raziq, “Kekhilafahan dan Dasar-Dasar
Kekuasaan”, dalam JohJ.  Donohue dan  John  L.  Esposito  (Ed.),  Islam  dan  Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-Masalah, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 1994, hlm. 39.







Artiny : Maka  karena  itu  serulah  (mereka  kepada  agama  ini dan tetaplah sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan Katakanlah: "Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya  Berlaku  adil  diantarkamu.  Allah-lah Tuhan Kami dan Tuhan kamu. Bagi Kami amal-amal Kami dan bagi  kamu  amal-amal  kamu.  tidak  ada  pertengkaraantara Kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada- Nyalah kembali (kita)". .36

2.  Persamaan dalam Al-qur’an surat Al-Hujarat ayat ke 13




Artinya  : Hai  manusia,  Sesungguhnya  Kami  menciptakan  kamu  dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa  -  bangsa  dan  bersuku-suku  supaya  kamu  saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. .37

3.  Akuntabilitas pemerintahan diterangkan dalam Al-qu’ran surat An-Nisa

ayat 58.



36 Departeman Agama, loc.cit, hlm. 695.
37 Ibid, hlm.745.





Artinya  : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia  supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran  yang  sebaik-baiknya  kepadamu.  Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. .38

4.  Musyawarah diterangkan dalam surat Asy Syura ayat 38



Artinya  :  Dan  (bagi)  orang-orang  yang  menerima  (mematuhi)  seruan Tuhannya  da mendirikan  shalat sedang  urusan  mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. .39

5.  Tujuan negara yang diterangkan dalam Al-qu’ran surat Al-Hajj ayat ke 4





Artinya: Yang telah ditetapkan terhadap syaitan itu, bahwa Barangsiapa yang berkawan dengan Dia, tentu Dia akan menyesatkannya, dan membawanya ke azab neraka. .40

6.  Hak-hak oposisi diterangkan dalam surat Al- Ahzab ayat ke 70


Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada  Allah dan katakanlah perkataan yang benar, .41

38Ibid, hlm. 113.
39Ibid, hlm. 699
40Ibid, hlm. 462.
41Ibid, hlm. 604










Tetapi perbedaanya terletak pada kenyataan bahwa kalau dalam sistem Barat, suatu negara demokratis menikmati hak-hak kedaulatan mutlak, maka dalam demokrasi Islam, kekhalifahan di tetapkan untuk dibatasi oleh batas- batas yang telah di gariskan hukum illahi.42
Rasyid Al-Ghanoushi dan Abdul Fattah Morou, kedua tokoh Gerakan
Kecenderungan Islam (Movement de Tendence Islamique/ MTI), mereka mengkombinasikan   ajara Isla denga demokrasi Bag Ganaoshi, demokrasi , kedaulatan rakyat, dan peran negara (“negara bukan berasal dari Tuhan melainkan dari rakyat . . . negara harus melayani kepentingan kaum Muslim”), pemilihan umum, multi partai, dan undang-undang adalah bagian pemikira bar Isla yan aka da legitimasinya   di   dapatka dari interprestasi atau reinterpretasi yang segar dari sumber-sumber Islam. Sedangkan bagi Morou, hukum berasal dari Tuhan tetapi kedaulatan adalah dari rakyat. Ia membedakan antara prinsip-prinsip umum Al-Qur’an yang mampu bertahan dan legislasi manusia dalam batasan prinsip-prinsip tersebut yang menjadi tanggung jawab rakyat.43
Ketiga, kelompok yang mencoba mencari jalan tengah (sintesis) antara dua kubu pemikiran sebelumnya. Mereka menolak pendapat pertama yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang telah mengatur segala hal. Juga mereka menolak pendapat yang kedua mengenai peran Nabi Muhammad SAW, yang hanya memiliki tugas risalah (tanpa tugas politik).


42 Sukron Kamil, loc. cit, hlm. 49.
43 Ibid.







Menurut Muh. Zuhri, diantara pemikir Muslim yang moderat ini adalah Muhammad Husin Haikal dan Fazlur Rahman. Muslim yang memiliki pandangan   sintesi mengena agama memiliki   sika akomodatif-kritis terhadap demokrasi yang berasal dari dan dipraktekkan di Barat.44
Menurut  Huwaydi,  salah  satu  tokoh  yang  melakukan  sintesa  yang

viable antra Islam dan demokrasi yang yaris sempurna. Bagi dia, esensi demokrasi adalah pemilu yang jujur, adil, dan kompetitif, serta akuntabilitas penguasa karena jika tidak akan diturunkan dari jabatanya, dengan kelembagaan seperti penerapan metode mayoritas, multi partai, penghormatan hak-hak minoritas, kebebasan oposisi dan pres, independensi kehakiman, dan lain-lain. Beberapa alasan yang dikemukakannya, yaitu:
Pertama, beberapa Hadits menunjukkan bahwa Islam menghendaki pemerintahan yang disetujui rakyatnya.45  Dalam Hadits Riwayat Ibnu Majah
disebutkan:




Artinya  : Dari Abdulloh bin Amr, bahwa Rosululloh saw pernah berkata, “ Ada tiga golongan yang allah tidak bakal menerima shalat mereka, yaitu: orang yang mengimami suatu kaum, sedangkan kaum itu tida menyukainya oran yan mendatang shala dengan




44 Lihat: Jaih Mubarok, loc.cit, hlm. 56.
45Fahmi Huwaidi, Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat Madani, Terj. M. Abd. Ghofar dalam Al-Islam wa Al-Dimuqratiyah, Bandung: Mizan, 1996, hlm. 193-198.







terlambat yaitu, ia mendatangi shalat sesudah habis waktunya dan orang yang memperhamba budak yang sudah dimserdekakan46

Kedua, penolakan Islam terhadap kediktatoran. Banyak ayat Al-Quran yang menunjukkan hal itu. Diantaranya dalam QS. Al-Baqarah: 258 yaitu:



Artinya  : Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialayang menghidupkan dan mematikan," orang itu berkata:  "Saya  dapat  menghidupkan dan  mematikan".    Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, Maka terbitkanlah Dia dari barat," lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
47

Ketiga, dalam Islam, pemilu merupakan kesaksian rakyat dewasa bagi kelayakan seorang kandidat dan mereka tentu saja, seperti yang diperintahkan al-Quran, mesti tidak menyembunyikan persaksiannya, mesti bersikap adil dan jujur serta tidak menjadi saksi-saksi palsu. Jika tidak, mereka akan diperintah oleh seorang yang tidak memiliki kompetensi. Dan, jika pemilu sebagai lembaga kontrol rakyat terhadap penguasa, dimana kelembagaan itu




46Imam Muhamad Asy Syaukani, Nailul Autar Syarh Muntaqa Al-Akhbar min Ahadits Sayyid Al-Akhyar, Trj. Hadi Mulyo, Katur Suhardi, Terjemah Nailul Autar , Semarang : Asy Syifa, 1994, hlm. 408.
47Departemen Agama, loc.cit hlm. 53







berfungsi sebagai mekanisme untuk menurunkan penguasa yang tidak kredibel dan tidak bertanggungjawab.
Keempat, demokrasi merupakan sebuah upaya mengembalikan sistem kekhilafahan Khulafa’urrasyidin yang memberikan hak kebebasan kepada rakyat yang hilang ketika beralihnya sistem kekuasaan Islam kepada sistem kerajaan di tangan Mu’awiyah, pendiri Umayyah, sesuatu yang pertama menimpa kaum muslimin dalam sejarah.
Kelima, negara Islam adalah negara keadilan dan persamaan manusia di depan hukum. Ada banyak cerita yang memperlihatkan hal itu.
Keenam, seperti dirumuskan oleh teoritis-teoritis politik islam. Semisal al-Mawardi, imamah (kepemimpinan politik) adalah kontrak sosial yang riil, yang karenanya, kata Ibn Hazm, jika seorang penguasa tidak mau nemerima teguran boleh diturunkan dari kekuasaannya dan diganti dengan yang lain. .48



B.  Demokrasi Menurut Pandangan Intelektul Islam Indonesia

Para pemikir dan intelektual muslim Indonesia melihat demokrasi sebagai sesuatu sistem yang harus dijalankan dalam kehidupan sosial dan politik. Muhammad Natsir misalnya mendukung demokrasi secara sebagaian. Menurutnya Islam adalah sistem demokratis, dalam pengertian Islam menolak nepotisme, absolutisme dan otoritarianisme.
Namun bukan berarti  bahwa semua hal  dalam  pemerintahan  Islam

diputuskan melalui Majlis Syura. Keputusan demokratis diimplementasikan




48Fahmi Huwaidi, Op.cit, hlm. 201.







hanya  pada masalah-masalah  yang tidak  disebutkan secara  spesifik dalam syariah, sehingga tidak ada keputusan demokratis, misalnya pada larangan judi dan zina menurut Natsir, Islam tidak harus 100 % demokrasi dan tidak harus
100  %  otokrasi.  Islam  adalah  sintesis  antara  demokrasi  dan  otokrasi. Meskipun Natsir dikenal sebagai seorang demokrat sejati dan pendukung demokrasi, dia tetap mendukung kedaulatan Tuhan. Artinya Natsir menerima prinsip-prinsip demokrasi secara sebagian. Ia mendukung prinsip-prinsip demokrasi, selagi tidak bertentangan dengan hukum Tuhan.49
Ismail  Suny  adalah  salah  satu  dari  mereka  yang  mendukung  ide

kedaulatan Tuhan. Menurutnya, kedaulatan yang hakiki berada pada Tuhan, sementara otoritas rakyat adalah kepercayaan suci yang harus berada dalam batas-batas kehendak Tuhan. Sejalan dengan Suny, Abdoerroef, juga memperkenalkan   ide   kedaulata Tuhan,   da kedaulata rakya hanya berfungsi sebagai implementasi, dari kedaulatan Tuhan.
Namun demikian Abdoerraoef tidak sependapat dengan Suny bahwa kedaulatan Tuhan, kedaulatan rakyat, dan kedaulatan negara dapat dikumpulkan  bersama-sama  dan  mempuyai  status  sama.  Dia  juga  tidak sepakat bahwa kekuasaan di pegang oleh Tuhan, sebab hal ini menjadi sulit ketika dua negara Islam yang berlandaskan teokrasi saling bertentangan, maka tidak  mungkin memutuskan mana  yang harus  didukung, karena  keduanya berasal dari Tuhan. Berdasrkan hal ini, ia mendukung bahwa sistem politik
Islam  adalah  sistem  yang  sekarang  disebut  demokrasi,  yang  mencakup


49Muhammad  Natsir,  Islam  dan  Demokrasi,  dalam  Mencari  Demokrasi,  Gagasan  dan
Pemikiran, Kholid O. Santosa(Ed) Bandung: Sega Arsy, Cet. 2, 2009, hlm. 120-121.







pemerintahan itu sendiri, partisipasi politik anggotanya, kebebasan spiritual, dan persamaan di muka hukum.50
Z. A. Ahmad berpendapat lebih progresif ketimbang Natsir. Ketika Natsir mengajukan kedaulatan Tuhan, maka Ahmad menerima kedaulatan rakyat. Di negara Islam, rakyat mempuyai dua hak, hak untuk menyusun undang-undang dan hak untuk memilih kepala negara. 51
Pemikiran  ini  di  dasarkan  pada  ayat  al-Quran  (Q.  S.  3:159)  yang

Artinya berbunyi:



Maka  disebabkan  rahmat  dari  Allah-lah  kamu  Berlaku  lemah lembut  terhadap  mereka.  Sekiranya  kamu  bersikap  keras  lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Sedangkan Jalaludin Rahmat memandang demokrasi sebagai istilah yang mempuyai pengertian yang berbeda-beda, dia mendukung demokrasi sebagai  konsep  bagi  sistem  politik  dan  hak  asasi  manusia,  yakni  hak kebebasan berbicara, hak mengontrol kekuasaan, dan hak persamaan dimuka hukum. Namun begitu, sistem politik Islam tidak dapat dibandingkan dengan



50  Aden  Widjan SZ, dkk, Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Safaria, Insania
Press, 2007, hlm.200.
51Z. A. Ahmad, Republik Islam Demokratis, Deli: Pustaka Maju, 1951, hlm. 36







sistem demokrasi dalam pengertian berikut; pertama, demokrasi adalah sistim politik sekuler, yang kedudukannya berada di tangan rakyat, sedangkan dalam Islam, kedaulatan berada di tangan Tuhan. Kedua, dalam praktik suara rakyat dapat dimanipulasi. Islam adalah sistem yang unik, yang mengembangkan prinsip-prinsip syura dan hak asasi manusia.52
Sebagia besa intelektua musli Indonesi tida mempuyai
persoalan dengan gagasan kedaulatan Tuhan, tetapi konsep kedaulatan rakyat tidak pernah di artikan untuk menolak kedaulatan Tuhan. Secara historis kedaulatan rakyat untuk menolak kedaulatan monarki, yang ketika itu mempuyai kekuasaan absolut. Ahmad Syafii Maariif mengktitik pendapat- pendapat Maududi tentang kedaulatan Tuhan yang membingungkan. Menurut Maarif, ide tentang kedaulatan Tuhan sangat mengkawatirkan. Artinya, jika Tuhan kepala negara bagi umat Islam, maka apa yang akan terjadi jika negaranya runtuh dan jatuh ditangan kekuasaan asing, siapa yang akan bertanggung jawab?.53
Sementara itu Nurcholish Madjid menyadari bahwa nilai-nilai Islam dan nilai-nilai demokrasi adalah bertentangan, tetapi dia melihat kesesuaian antara Islam dan demokrasi. Madjid juga mendasarkan pendapatnya pada praktik-praktik al-Khulafâ al-Rasyidûn. Mengutip Robert Bellah, dia mengatakan bahwa selama periode    al-Khulafâ al-Rasyidûn, Islam menampilkan suatu bentuk pemerintahan yang yang modern, dalam arti bahwa



52   Jalaludin Rahamat, Islam dan Demokrasi”, dalam Magnis-Suseno dkk, Agama dan
Demokrasi, Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, 1992, hlm. 40.
53  Ahmad Syafii Maarif, Islam Politik dan Demokrasi di Indonesia, dalam Aspirasi Umat
Islam Indonesia, Jakarta: Leppenas, 1983, hlm. 54.







ada partisipasi politik yang universal, dan sistem rekrutmen kepemimpinan didasarkan pada bakat dan kecakapan pribadi, tidak didasarkan pada keistimewaan yang diperoleh melalui hubungan keluarga. Hal ini dianggap sebagai gagasan yang sangat modern untuk saat itu, yang kegagalannya dapat dijelaskan dengan penggantian sistem monarki Umayyah.54
Sementar Abdurrahma Wahid,   adala satu-satuny intelektual
musli yan menerim da mendukung   demokrasi   sert sepenuhnya mengakui kedaulatan rakyat dalam kontek kehidupan berbangsa. Menurutnya kehendak rakyat harus dikontrol oleh konstitusi negara. Sementara Islam (syariah)  harus  difungsikan  sebagai  faktor  komplementer,  terhadap komponen-komponen lain dalam kehidupan berbangsa. Implementasi Islam adalah urusan pribadi, yag dapat secara optimal berfungsi sebagai etika sosial dan kekuatan moral.55
Dari paparan diatas, maka dapat ditegaskan bahwa secara subtansial, para intelektual muslim di Indonesia, tidak mempermasalahkan antara Islam dan  demokrasitampaknymenerima  unsur-unsur demokrasi,  hannya  saja porsi  dukungannya  yang  berbeda-beda.  Ada  yang  mendukung  demokrasi tanpa syarat, dan ada yang dengan syarat, yaitu tidak bertentangan denagn kehendak Tuhan.  Problem  utama  dalam  membandingkan demokrasi  Islam dengan demokrasi liberal, adalah bahwa kehendak rakyat dapat diimplementasikan sepenuhnya, sementara dalam demokrasi Islam, kehendak



54 Nurcholis Madjid, Iman dan Tatanilai Rabbaniyah dalam Islam Doktrin dan Peradaban,
Jakarta: Paramadina, 2008, hlm. 13.
55  Aden  Widjan SZ, dkk, Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Safaria, Insania
Press, 2007, hlm.203.







rakyat hanya dapat diimplementasikan selama tidak bertentangan dengan printah-printah Tuhan
Secara teologis, penerimaan para intelektual muslim terhadap demokrasi di dasarkan pada ajaran-ajaran Al-Qur’an dan praktik historis masa Nabi  dan Khulafa Al- Rasyidun. Seperti intelektual lain  yang mendukung demokrasi, mereka juga mendasarkan pendapatnya pada Al-Quran (3:159) dan musyawarahkan dengan mereka dalam persoalan itu” dan Al-Qur’an
(42:38), yang memutuskan perkara mereka dengan musyawarah56



BAB IV
PENUTUP

Demikian makalah ini kami tulis, semoga bisa memberi manfaat dan dorongan untuk kita dalam mengembangkan rasa demokrasi. Mohon maaf jika banyak kesalahan dalam penulisan. Terimakasih.


0 komentar:

Posting Komentar