Selasa, 03 Mei 2016

Pembagian Ilmu Hadits: Riwayah dan Dirayah




MAKALAH
PEMBAGIAN ILMU HADIS : RIWAYAH DAN DIRAYAH


Disusun oleh:
Ahmad Muhaimin, Ahmad Amin – IAIN Semarang 2013

Editor:
Tim Makalah-makalah.com
 
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum.Wr.Wb
Puji syukur saya (penyusun) panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat-Nya yang berlimpah, kami dapat menyusun makalah ini dengan baik sesuai dengan kemampuan kami. Tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Untuk selanjutnya kami mengharapkan semoga makalah ini dapat menambah wawasan bagi kami sendiri dan juga mahasiswa yang sedang menempuh materi ini.
 Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini jauh dari sempurna, untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik agar makalah ini mendekati sempurna, kami sadar bahwa kesempurnaan hanya milik NYA.
Akhir kata, semoga makalah yang kami susun ini berguna bagi kita semua.
Amin-amin yarabbal ‘alamin.

Wassalamualaikum.Wr.Wb

Hormat kami,
Tim Makalah


BAB I
PENDAHULUAN
   A.    LATAR BELAKANG

Pada masa Rasulullah masih hidup, zaman khulafaur rasyidin dan sebagian besar zaman Umayyah sehingga akhir abad pertama hijrah, hadits-hadits nabi tersebar melalui mulut kemulut (lisan). Ketika itu umat Islam belum mempunyai inisiatif untuk menghimpun hadits-hadits nabi yang bertebaran. Mereka merasa cukup dengan menyimpan dalam hafalan yang terkenal kuat. Dan memang diakui oleh sejarah bahwa kekuatan hafalan para sahabat dan para tabi’in benar-benar sulit tandingannya.
Hadits nabi tersebar ke berbagai wilayah yang luas dibawa oleh para sahabat dan tabi’in ke seluruh penjuru dunia. Para sahabat pun mulai berkurang jumlahnya karena meninggal dunia. Sementara itu, usaha pemalsuan terhadap hadits-hadits nabi makin bertambah banyak, baik yang dibuat oleh orang-orang zindik dan musuh-musuh Islam maupun yang datang dari orang Islam sendiri.
Yang dimaksud dengan pemalsuan hadits ialah menyandarkan sesuatu yang bukan dari Nabi SAW kemudian dikatakan dari Nabi SAW. Berbagai motifasi yang dilakukan mereka dalam hal ini. Ada kalanya kepentingan politik seperti yang dilakukan sekte-sekte tertentu setelah adanya konflik fisik (fitnah) antara pro-Ali dan pro-Muawiyyah, karena fanatisme golongan, madzhab, ekonomi, perdagangan dan lain sebagainya pada masa berikutnya atau unsur kejujuran dan daya ingat para perawi hadits yang berbeda. Oleh karena itu, para ulama bangkit mengadakan riset hadits-hadits yang beredar dan meletakkan dasar kaidah-kaidah yang ketat bagi seorang yang meriwayatkan hadits yang nantinya ilmu itu disebut Ilmu Hadits.


   B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Pengertian dan Pembagian Ulumul Hadits
2.      Sejarah Pertumbuhan dan Penghimpunan Hadits
3.      Cabang-Cabang Ilmu Hadits



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian dan Pembagian Ulumul Hadits
1. Pengertian Ulumul Hadits
Para Ulama telah sepakat bahwa Ulumul Hadits  atau ilmu yang membahas tentang perihal hadits baik dari segi periwayatannya atau dari segi materi/ matan riwayat hadits adalah suatu ilmu yang sangat penting.[1] Oleh karena itu mendalaminya adalah suatu keharusan bagi para pemangku hadits.
Ulumul Hadits adalah istilah ilmu hadits di dalam tradisi Ulama Hadits (arabnya : ‘Ulum al-Hadits). ‘Ulum al-Hadits terdiri atas dua kata, yaitu ‘Ulum dan al-Hadits. Kata ‘Ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berati “ilmu-ilmu”; sedangkan al-Hadits di kalangan Ulama Hadits berarti “segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat. Dengan demikian Ulumul Hadits adalah ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan hadits Nabi SAW.
Menurut Ulama Mutaqaddimin Ilmu Hadits adalah ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasul SAW dari segala hal ihwal para perawinya, kedhabitan, keadilan, dan dari bersambung tidaknya sanad dan sebagainya.
Pembukaan hadits di sekitar abad ke dua hijriyah yang dilakukan para pemuka hadits dalam rangka menghimpun dan membukukannya semata-mata di dorong oleh kemauan yang kuat agar hadits nabi itu tidak hilang begitu saja bersama wafatnya para penghafalnya. Mereka menghimpun dan membukukan semua hadits yang mereka dapatkan beserta riwayat dan sanadnya masing-masing tanpa mengadakan penelitian terlebih dahulu terhadap pembawanya (para rawi) begitu pula terhadap keadaan riwayat dan marwinya. Barulah di sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah sebagian Muhadditsin merintis ilmu ini dalam garis-garis besarnya saja dan masih berserakan dalam beberapa mushafnya. Diantara mereka adalah Ali bin Almadani (238 H), Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam At-Turmudzi dan lain-lain.
Adapun perintis pertama yang menyusun ilmu ini secara fak(spealis) dalam satu kitab khusus ialah Al-Qandi Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzy(360 H) yang di beri nama dengan Al-Muhaddisul Fasil Bainar Wari Was Sami’. Kemudian bangkitlah Al-Hakim Abu Abdilah an-Naisaburi (321-405 H) menyusun kitabnya yang bernama Makrifatu Ulumil Hadits. Usaha beliau ini diikuti oleh Abu Nadim al-Asfahani (336-430 H) yang menyusun kitab kaidah periwayatan hadits yang diberi nama Al-Kifayah dan Al-Jam’u Liadabis Syaikhi Was Sami’ yang berisi tentang tata cara meriwayatkan hadits.
2. Pembagian Ulumul Hadits
Ilmu hadits yakni ilmu yang berpautan dengan hadits. Apabila dilihat kepada garis besarnya, Ilmu Hadits terbagi menjadi dua macam. Pertama, Ilmu Hadits Riwayat (riwayah). Kedua, Ilmu Hadits Dirayat (dirayah).
a.      Ilmu Hadits Riwayah
Ilmu Hadits Riwayah ialah ilmu yang menukilkan segala apa yang disandarkan kepada Nabi SAW baik  perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun sifat tubuh anggota ataupun sifat Perangai.
Maudhu’nya (obyeknya) adalah pribadi Nabi SAW yakni perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat Beliau, karena hal-hal inilah yang dibahas didalamnya. [2]
b.      Ilmu Hadits Dirayah
Ilmu Hadits Dirayah ialah ilmu hadits dirayah adalah ilmu untuk mengetahui keadaan sanad dan matan dari jurusan diterima atau ditolak dan yang bersangkut paut dengan itu.
Maudhu’nya (objeknya) adalah mengetahui segala yang berpautan dengan pribadi Nabi SAW, agar kita dapat mengetahuinya dan memperoleh kemenangan dunia akhirat. [3] Dengan mempelajari Hadits Dirayah ini, banyak sekali faedah yang diperoleh antara lain:
1.      Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadits dan ilmu hadits dari masa ke masa sejak masa Rasul SAW sampai sekarang.
2.      Dapat mengetahui tokoh-tokoh serta usaha-usaha yang telah mereka lakukan dalam  mengumpulkan, memelihara dan meriwayatkan hadits.
3.      Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasikan hadits lebih lanjut.
4.      Dapat mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai dan kriteria-kriteria hadits sebagai pedoman dalam beristimbat.
5.      Dari beberapa faedah diatas apabila diambil intisarinya, maka faedah mempelajari Ilmu Hadits Dirayah adalah untuk mengetahui kualitas sebuah hadits, apakah ia maqbul (diterima) dan mardud (ditolak), baik dilihat dari sudut sanad maupun matannya.
6.      Dengan melihat uraian Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah diatas, tergambar adanya kaitan yang sangat erat antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini karena setiap ada periwayatan hadits tentu ada kaidah-kaidah yang dipakai dan diperlukan baik dalam penerimaannya maupun penyamapaiannya kepada pihak lain. Sejalan dengan perjalanan Ilmu Hadits Riwayah, Ilmu Hadits Dirayah juga terus berkembang menuju kesempurnaanya, sesuai dengan kebutuhan yang berkaitan langsung dengan perjalanan Hadits Riwayah. Oleh karena itu, tidak mungkin Ilmu Hadits Riwayah berdiri tanpa Ilmu Hadits Dirayah, begitu juga sebaliknya.

B. Sejarah Pertumbuhan dan Penghimpunan Ilmu Hadits
           Sunnah atau hadits sebagai dasar tasyri’ yang kedua setelah al-Qur’an dalam sejarahnya telah melalui beberapa tahapan perkembangan yang cukup panjang. Para ahli berbeda pendapat di dalam menentukan periodisasi pertumbuhan dan penghimpunannya.[4] Dalam makalah ini dijelaskan dalam empat periodisasi, yakni masa Rasulullah SAW, sahabat, tabi’in, dan masa kodifikasi (tadwin hadits).
1. Hadits pada masa Rasulullah SAW
Seluruh perbuatan, ucapan serta gerak- gerik Nabi dijadikan pedoman hidup bagi umatnya.
Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya, yaitu umat Islam dapat secara langsung memperoleh hadits dari Rasulullah SAW sebagai sumber hadits. Pada masa ini tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuan mereka.[5]
Ada beberapa cara yang digunakan Rasulullah SAW dalam menyampaikan hadits kepada para sahabatnya, yaitu:
1.      Melalui para jamaah yang berada dipusat pembinaan atau majelis al- ilmi.
2.      Dalambanyak kesempatan, Rasulullah SAW juga menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu, kemudian mereka menyampaikannya kepada orang lain.
3.      Cara lain yang dilakukan Rasulullah SAW adalah melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti haji wada’ dan futuh makkah[6]
Para sahabat dalam menerima hadits Nabi berpegang teguh pada hafalannya, yakni menerima dengan jalan hafalan bukan jalan menulis. Mereka mendengar dengan hati-hati apa yang Nabi sabdakan kemudian makna atau lafadz tergambar dalam dzin (benak) mereka. Pun juga mereka menyampaikan kepada orang lain lewat hafalan pula.
2. Hadits pada masa Sahabat
            Periode kedua sejarah perkembangan hadits adalah masa sahabat, khususnya Khulafa  Ar-Rasyidin yaitu sekitar tahun 11 H sampai 40 H. Masa ini juga disebut masa sahabat besar. Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an. Periwayatan hadits belum begitu berkembang dan masih dibatasi. Oleh karena itu para ulama menganggap masalah ini sebagai masa yang menunjukan adanya masa pembatasan periwayatan ( At-Tasabbut wa al-Iqlal min ar-Riwayah ).[7]
Meskipun begitu Rasul sangat memerintahkan sahabat untuk mentablighkan  hadits seperti dibawah ini:
نَضَّرَاللهُ امْرَاءً سَمِعَ  مِنِّيْ  مَقَالَتِيْ  مَحَفِظَهَا  وَوَعَاهَا فَاَدَّاهَا كَمَا سَمِعَ فَرُبَّ مُبَلَّغِ اَوْعَى مِنْ سَامِعٍ.
“mudah-mudahan Allah mengindahkan seseorang yang mendengar ucapanku, lalu dihafalkan dan dipahamkan dan disampaikan kepada orang lain persis sebagaimana yang dia dengar karena banyak sekali orang yang disampaikan berita kepadanya, lebih paham dari pada yang mendegarkan sendiri“. (HR. Tirmidzi ).[8]
Hadits  pada masa Abu Bakar dan Umar hanya disampaikan kepada yang memerlukan saja dan apabila perlu saja, belum bersifat pelajaran. Pada masa ini hadits belum diluaskan karena beliau mengerahkan minat umat untuk menyebarkan al-Qur’an dan memerintahkan para sahabat untuk berhati-hati dalam menerima riwayat-riwayat itu. Perkembangan hadits dan riwayatnya terjadi pada masa Utsman dan Ali.
Pada masa Utsman dan Ali hadits lebih diaplikasikan dalam kehidupan untuk menjawab semua permasalahan dalam masyarakat dikala itu.[9]
3. Hadits pada masa Tabi’in
Sesudah masa Utsman dan Ali, timbulah usaha yang lebih serius untuk mencari dan menghfal hadits serta menyebarkannya ke masyarakat luas dengan mengadakan perlawatan-perlawatan untuk mencari hadits.
Pada tahun 17 H tentara islam mengalahkan Syiria dan Iraq. Pada tahun 20 H mengalahkan Mesir. Pada tahun 21 H mengalahkan Persia. Pada tahun 56 H tentara islam sampai disamarkand. Pada tahun 93 H tentara islam menaklukan Spanyol. Para sahabat berpindah ketempat-tempat itu. Kota itu menjadi “perguruan“ tempat mengajarkan al-Qur’an dan hadits yang menghasilkan sarjana-sarjana tabi’in dalam bidang hadits.[10]
Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadits, sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam mencari hadits, ialah Madinah al-Munawarah, Makkah Al-Mukaramah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan Andalus.[11]
Intinya pada masa ini periwayatan hadits masih bersifat dari mulut ke mulut (al-Musyafahat ), seperti seorang murid langsung memperoleh hadits dari guru dan mendengarkan langsung dari penuturan mereka, dan selanjutnya disimpan melalui hafalan mereka. Perbedaannya dengan periode sebelumnya adalah bahwa  pada masa ini periwayatan hadits sudah semakin meluas dan banyak sehingga dikenal dengan Iktsar al-Riwayah (pembanyakan riwayat).[12]
4. Masa kodifikasi (Tadwin Hadits)
yang dimaksud dengan kodifikasi Hadits atau Tadwin pada periode ini adalah kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kepala negara, dengan melibatkan beberapa sahabat yang ahli dibidangnya. Tidak seperti kodifikasi yang dilakukan secara perseorangan atau untuk kepentingan pribadi, sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah SAW.
Usaha ini dimulai ketika pemerintahan Islam dipimpin oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz (khalifah ke-8 dari kekhalifahan Bani Umayah), melalui intruksinya kepada para pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadits dari para penghafalnya. Ia mengintruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad ibn Amr ibn Hazm (Gubernur Madinah). Beliau mengintruksikan kepada Abu Bakar ibn Hazm agar mengumpulkan hadits yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al-Anshari (murid kepercayaan Siti Aisyah) dan al-Qasin bin Muhammad bin Abi Bakar. Intruksi yang sama juga diberikan kepada Muhammad bin Syihab az-Zuhri yang dinilainya sebagai seorang yang lebih banyak mengetahui hadits dari pada yang lainnya.[13]
Alasan mengapa hadits dibukukan/dikodifikasikan karena:
1.      Hilangnya sejumlah hadits besar.
2.      Penyebaran kebohongan.
3.      Periwayatan makna.
4.      Perbedaan diantara sesama muslim.
5.      Penyebarluasan ra’yu (penilaian subyektif).[14]

C. Cabang-Cabang Ilmu Hadits
1.      Ilmu dan Kaidah Hadis Tentang Rawi dan Sanad[15]
a.  Ilmu Rijal Al-Hadist
Adalah ilmu yang membahas tentang hal ihwal dan sejarah para rawi dari kalangan sahabat, tabi’in, dan atba’ al-tabi’in. Sedangkan muhadditsin, sebagaimana dikutip dalam buku Endang Soetari mentarifkan Ilmu Rijal Al-Hadist meliputi Ilmu Thabaqah dan Ilmu Tarikh Ar-Ruwah. Ilmu Thabaqah adalah ilmu yang membahas tentang kelompok orang orang yang berserikat dalam satu alat pengikat yang sama. Sedangkan Ilmu Tarikh Ar-Ruwah adalah ilmu yang membahas tentang biografi para perawi hadist. Adapun materi dari ilmu ini adalah :
1) Konsep tentang rawi dan thabaqah
2) Rincian thabaqah rawi
3) Biografi yang telah terbagi pada tiap thabaqah

b. Ilmu Jarh Wa At-Ta’dil
            Adalah ilmu tentang hal ihwal para rawi dalam hal mencatat keaibannya dan menguji keadilannya.
            Ta’dil artinya menganggap adil seorang rawi yakni memuji rawi dengan sifat-sifatyang membawa maqbulnya riwayat. Adapun Al-Jarh atau Tajrih artinya mencacatkan, yakni menuturkan sebab-sebab keaiban rawi. Ilmu ini berkaitan dengan hal-hal seperti bid’ah (i’tikad berlawanandengan dasar syariat), mukhalafah (perlawanan sifat adil dan dhabith), gholath (kesalahan), jahalah al-hal (tidak diketahui identitasnya), da’wa al-inqitha’ (mendakwa terputusnya sanad).
            Kaidah Tajrih dan Ta’dil ada dua macam:
a.       Naqd Khariji, yaitu kritik eksternal, yakni tentang cara dan sahnya riwayat dan tentang kapasitas rawi.
b.      Naqd Dakhili, yaitu kritik internal, yaitu tentang makna hadits dan syarat keshahihannya.
Adapun syarat-ayarat pentajrih dan penta’dil adalah: berilmu, taqwa, wara’, jujur, menjauhi fanatik golongan, mengetahuisebab-sebab ta’dil dan tajrih (mufassar).

2. Ilmu dan Kaidah Tentang Matan
     a. Gharib Al-Hadits
 Ilmu Gharib al-Hadist adalah:
“Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan Hadist yang sukar diketahui maknanyadan yang kurang terpakai oleh umum’.
Yang dibahas oleh ilmu ini adalah lafadh yang musykil dan susunan kalimat yang sukar dipahami, tujuannya untuk menghindarkan penafsiran menduga-duga. Pada masa tabi’in dan abad pertama hijriyah, bahasa arab yang tinggi mulai tidak dipahami oleh umum, hanya diketahui secara terbatas. Maka orang yang ahli mengumpulkan kata-kata yang tidak dapat dipahami oleh umumtersebut dan kata-kata yang kurang terpakai dalam pergaulan sehari-hari. Endang Soetari juga menyebutkan beberapa upaya para ulama Muhaditsin untuk menafsirkan keghariban matan Hadits, antara lain:
1.   Mencari dan menelaah hadits yang sanadnya berlainan dengan yang bermatan gharib
2.   Memperhatikan penjelasan dari sahabat yang meriwayatkan Hadits atau shahabat lain yang tidak meriwayatkan,
3.   Memperhatikan penjelasan dari rawi selain shahabat.
b. Ilmu Asbab Wurud al-Hadits dan Tawarikh al-Mutun
            Ta’rif  ilmu Asbab Wurud al-Hadist “Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi SAW menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi menuturkan”.  Ilmu ini titik berat pembahasannya pada latar belakang dan sebab lahirnya Hadist. Manfaat mengetahui asbab al-wurud Hadist antara lain untuk membantu memahami dan menafsirkan Hadits serta mengetahui hikmah-hikmah yang berkaitan dengan wurudnya hadist tersebut, atau mengetahui kekhususan konteks makna hadist. Perintis ilmu asbab Wurud al-Hadits adalah Abu Hamid ibn Kaznah al-Jubairi, dan Abu Hafash ‘Umar ibn Muhammad ibn Raja’ al-‘Ukbari (339 H). Kitab yang terkenal adalah kitab al-nayan wa al-Ta’rif, susunan Ibrahim Ibn Muhammad al-Husaini (1120 H).
c. Ilmu Nasikh wa al-Mansukh
            Ta’rif ilmu Nasikh wa al-Mansukh: adalah:“Ilmu yang menerangkan Hadits-hadits yang sudah dimansukhkan dan yang menasikhkannya.”
Beliau menyatakan bahwa ilmu ini bermanfaat untuk pengamalan Hadis bila ada dua Hadis Maqbul yang tanakud yang tidak dapat dikompromikan atau dijama’. Bila dapat dikompromikan, hanya sampai pada tingkat mukhtalif al-hadis, kedua hadis maqbul tersebut dapat diamalkan. Bila tidak bisa dijama’ (dikompromikan, maka Hadist yang tanakud tadi ditarjih atau dinasakh. Bila diketahui mana diantara kedua Hadist yang diwurudkan duluan dan yang diwurudkan kemudian, maka yang wurud kemudian (terakhir) itulah yang diamalkan. Sedangkan yang duluan tidak diamalkan. Yang belakangan disebut nasikh, yang duluan disebut mansukh. Kaidah yang berkaitan dengan nasakh, antara lain berupa cara mengetaui nasakh, yakni penjelasan dari Rasulullah SAW sendiri, keterangan sahabat dan tarikh datangnya matan yang dimaksud.

3. Ilmu dan Kaidah Tentang Sanad dan Matan[16]
a. Ilmu ‘Ilal al-Hadits
Adalah ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata yang dapat merusakkan hadits. Jadi Ilmu Ilal Al-Hadist adalah ilmu yang membahas tentang suatu illat yang dapat mencacatkan kesahihan hadist.
b. Ilmu Fan al-Mubhamat
            Adalah ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut di dalam atan atau di dalam sanad.
c. Ilmu At-Tashif Wa At-Tahrif
            Ilmu Tashhif wa al-Tahrif adalah: “Ilmu yang menerangkan Hadis-hadis yang sudah diubah titiknya (musahhaf) dan bentuknya (muharraf)”. Diantara kitab ilmu ini adalah kitab: al-Tashhif wa al-Tahrif, susunan al-Daruquthni (358 H) dan Abu Ahmad al-Askari (283 H).


BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ilmu Hadits adalah ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Nabi SAW. Perintis pertama Ilmu Hadits adalah Al Qadi Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzy. Pada mulanya, Ilmu Hadits merupakan beberapa ilmu yang masing-masing berdiri sendiri, ilmu-ilmu yang terpisah dan bersifat parsial tersebut disebut dengan Ulumul Hadits, karena masing-masing membicarakan tentang hadits dan para perawinya. Akan tetapi pada masa berikutnya ilmu-ilmu itu digabungkan dan dijadikan satu serta tetap menggunakan nama Ulumul Hadits.
B. SARAN
Demikianlah makalah yang dapat pemakalah susun , tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu pemakalah sangat mengharapkan kritik dan saran untuk membangun dan memperbaiki makalah ini. Penulis juga meminta maaf apabila ada penulisan dan ulasan yang salah atau kurang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.  Amien.

DAFTAR PUSTAKA
Al Katib, Ajaj, Hadits Nabi Sebelum  Dibukukan, 1999, Jakarta: Gema Insani Press
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, 2010, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang:  PT Pustaka Rizki Putra
Hadi, Saeful, Ulumul Hadits, Yogyakarta:  Sabda Media
Ja’fariyah, Rasul, Penulisan Penghimpunan Hadits, 1992, Jakarta: Lentera
Mudasir, Ilmu Hadis, 2005, Bandung: Pustaka Setia
Nor, Ichwan Mohammad, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, 2013, Semarang: Rasail Media Group
Soetari, Endang, Ilmu Hadits Kajian Riwayah dan Dirayah, 2005, Yogyakarta: CV Qalam Suparta, Munzier, 2003 Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo
 [1] Saeful Hadi. Ulumul Hadits, Yogyakarta:  Sabda Media, hlm.1.
[2] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang:  PT Pustaka Rizki Putra, 2012, hlm. 112.
[3] Ibid
[4] Mohammad Nor Ichwan, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Semarang: Rasail Media Group, 2013, hlm. 109.
[5] Mudasir, Ilmu Hadits, Bandung:  CV Pustaka Setia, 1999, hlm. 88
[6] Ibid, hlm. 89.
[7] Ibid, hlm. 95.
[8] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Op.Cit, hlm. 36.
[9] Ajaj al-Khatib, Hadits Nabi sebelum dibukukan, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, hlm. 116.
[10] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Op.Cit, hlm. 45.
[11] Ibid, hlm. 48.
[12] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 85.
[13] Mudasir, Op.Cit, hlm. 106
[14] Rasul Ja’fariyah, Penulisan Penghimpunan Hadits, Jakarta: Lentera, 1992, hlm. 88.
[15] Prof. Dr. H. Endang Soetari, Ilmu Hadits Kajian Riwayah dan Dirayah, Yogyakarta: CV Qalam, 2005, hlm. 201-213.
[16] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang:  PT Pustaka Rizki Putra, 2012, hlm.118- 119.



Sumber:
http://sidulemen.blogspot.co.id/2013/04/ulumul-hadits-pengertian-dan-pembagian.html
Tag #pembagian ilmu hadits.pdf .doc


0 komentar:

Posting Komentar