Selasa, 03 Mei 2016

Isnad dan Kegiatan Dokumentasi Hadits




MAKALAH
Isnad & kegiatan dokumentasi hadis

Editor:
Makalah-makalah.com


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum.Wr.Wb
Puji syukur saya (penyusun) panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat-Nya yang berlimpah, kami dapat menyusun makalah ini dengan baik sesuai dengan kemampuan kami. Tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Untuk selanjutnya kami mengharapkan semoga makalah ini dapat menambah wawasan bagi kami sendiri dan juga mahasiswa yang sedang menempuh materi ini.
 Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini jauh dari sempurna, untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik agar makalah ini mendekati sempurna, kami sadar bahwa kesempurnaan hanya milik NYA.
Akhir kata, semoga makalah yang kami susun ini berguna bagi kita semua.
Amin-amin yarabbal ‘alamin.

Wassalamualaikum.Wr.Wb

Hormat kami,
Tim Makalah


BAB I
Pendahuluan
A.      Latar Belakang
Hadis adalah sumber ajaran islam yang kedua setelah al-Qur’an. Pada zaman Nabi sesungguhnya sudah ada yang menulis Hadis ini, tetapi jumlahnya sangat terbatas mengingat larangan dari Nabi sendiri dan perhatian shahabat lebih tertuju pada al-Qur’an. Setelah sepeninggal Nabi, Hadis-hadis mulai dibukukan dengan alasan keterbatasan para ulama’ yang menghafal Hadis. Dalam masa yang cukup panjang ini telah terjadi banyak pemalsuan Hadis, sehingga untuk menjaga keaslian Hadis tersebut sesuai apa yang disampaikan Nabi, perlu perhatian khusus dari siapa Hadis diterima, mengingat Hadis sebagai Hujjah kedua dalam Islam.
B.      Rumusan Masalah
Dalam makalah ini yang menjadi rumusan masalah adalah:
1.       Apa yang dinamakan Sanad?
2.       Bagaimana Pendapat Ahli mengenai pentingnya Sanad Hadis?
3.       Bagaimana fungsi Sanad terhadap dokumentasi Hadis?
4.       Bagaimana nilai Hadis dari fungsi sanad?
C.     Tujuan Pembahasan
1.       Untuk mengetahui pengertian Sanad.
2.       Untuk mengetahui pendapat ahli mengenai pentingnya Sanad Hadis.
3.       Untuk mengetahui fungsi Sanad terhadap terhadap dokumentasi Hadis.
4.     Untuk mengetahui nilai Hadis dari fungsi sanad


   
BAB II
FUNGSI SANAD DALAM DOKUMENTASI HADITS
A.     Pengertian Sanad
Kata sanad atau al-Sanad menurut bahasa berasal dari kata sana, yasnudu yang berarti mu’tamad (sandaran/tempat bersandar, tempat berpegangan, yang dipercaya atau yang sah). Dikatakan demikian karena hadis itu bersandar kepadanya dan dipegangi atas kebenarannya.[1] Sedangkan secara terminology definisi sanad jalan yang dapat menghubungkan matnu al-Hadits kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.[2]Ada juga yang mengatakan sanad ialah:
سلسلة الرجال الموصلة للمتن[3]
“Silsilah orang-orang yang menghubungkan kepada matan hadits”
Silsilah orang-orang maksudnya, ialah susunan atau rangkaian orang-orang yang menyampaikan materi hadits tersebut, sejak yang disebut pertama sampai kepada Rasulullah SAW. Dengan pengertian di atas, maka sebutan sanad hanya berlaku pada serangkaian prang-orang, bukan dilihat dari sudut pribadi secara perorangan. Sedang sebutan pribadi, yang menyampaikan hadis dilihat dari sudut orang perorangannya, disebut dengan Rawi.
Al-Badru Ibn Jama’ah dan ath-Thibi, sebagaimana disebutkan oleh al-Suyuthi, mengemukakan definisi yang hampir sama, yaitu:
الإخبار عن طريق المتن[4]
“Berita-berita tentang jalan matan”
Yang dimaksud dengan jalan matan (thariq al-Matn) pada definisi di atas, ialah serangkaian orang-orang yang menyampaikan atau meriwayatkan matan hadis, mulai perawi pertama sampai yang terakhir.
Dari definisi-definisi di atas bisa dipertegas dengan definisi sebagai berikiut:
طريق المتن أو سلسلة الرواة الذين نقلوا المتن عن مصدره الأول
“Jalan matan hadits atau sisilsilah para perawi yang menukilkan matan hadits dari sumbernya yang pertama (Rasul SAW)”
Misalnya seperti kata Al-Bukhari:
حدّثنا محمد بنُ المُثَنَّى قال: حدثنا عبد الوهاب الثَّقَفِيُّ قال: حدثنا أيُّوب عن أبي قِلاَبَةَ عن أنس عن النبي صلى الله عليه وسلم (ثلاث من كنّ فيه وجد حلاوة الإيمان: ان يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما، وان يحب المرأَ لايحبه إلا للهن وان يكره ان يعود في الكفر كما يكره ان يقذف في النار) رواه البخاري
“Telah memberitakan kepadaku Muhammad Ibn al-Mutsanna, ia berkata: Telah membertakan kepadaku‘Abdul Wahhab al-Tsaqafi, ia berkata: Telah membertakan kepadakuAyyub atas pemberitaan Abi Qilabah, dari Anas dari Nabi Muhammad SAW, besabda: (Tiga perkara yang barang siapa yang mengmlkannya niscaya memperoleh keledzatan iman, yakni: (pertama) lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya dari pada yang lain; (kedua) kecintaannya kepada seseorang tak lain karena Allah semata, dan ; (ketiga) keengganannya kembali kepada kekufuran sebagaimana keengganannya dicampakkan ke neraka) (HR Bukhari).
Matan hadits “Tsalatsatun…” diterima oleh Imam al-Bukhari sebagai Rawi terakhir melalui:
sanad  pertama                           Muhammad Ibn al-Mutsanna                         (Rawikelima)
sanad kedua                               AbdulWahhab al-Tsaqafy                              (Rawikeempat)
sanad ketiga                               Ayyub                                                                (Rawiketiga)
sanad keempat                           Abi QIlabah                                                       (Rawikedua)
sanad terakhir                            Anas r.a.                                                             (Rawipertama)
Dalam bidang ilmu hadits, Sanad itu merupakan neraca untuk menimbang shahih atau dla’ifnya suatu hadits. Andaikata salah seorang dalam sanad-sanad itu ada yang fasiq atau tertuduh dusta, maka dla’iflah hadits itu, sehingga tak dapat dijadikanhujjah untuk menetapkan suatu hokum.

B.      Pendapat Ahli Tentang Pentingnya Sanad Hadis
Persanadan merupakan satu-satunya ilmu pengetahuan untuk mencari sumber berita, yang tidak didapatkan pada agama lain selain agama Islam. Sistem sanad secara sistematis muncul semenjak terjadinya fitnah di kalangan umat Islam, sebagai akibat konflik. Sebelumnya, persanadan belum berkembang. Namun demikian, dalam persyaratan hadis secara tidak langsung telah terjadi sistem sanad. Maka, tidaklah mengherankan jika sebagian ulama ada yang memasukkan isnad ke dalam bagian agama. Seperti dikutip Imam Muslim (Juz I, hlm. 9), Ibnu Mubarak berkata:
الإسناد من الدين ولولا الإسناد لقال من شاء ما شاء
Artinya: Isnad adalah sebagian dari agama. Seandainya tidak ada isnad, sungguh seseorang akan mengatakan apa saja yang ia ingin katakan.”
An-Nawawi dalam kitab al-Tahdzîb mengatakan bahwa ilmu (hadis) ini senantiasa dipelihara oleh orang-orang yang adil dan pada setiap masa akan ada segolongan orang yang adil yang mendukung hadis dan menolak segala perubahan-perubahan yang disisipkan orang ke dalamnya. Bahkan ats-Tsauri menganggap isnâdmerupakan alat yang paling menentukan dalam menunjukkan kemurnian hadis. Beliau berkata:
الإسناد سلاح المؤمن فإذا لم يكن معه سلاح فبأي سلاح يقاتل
Artinya : “Isnâd dapat diumpamakan dengan pedangnya orang beriman. Apabila tidak memiliki pedang, dengan senjata apakah ia akan membunuh”.
Oleh karena itu, kurang lengkaplah apabila seseorang yang mempelajari hadis tanpa mempelajari sanadnya. Asy-Syafi’i mengatakan bahwa mempelajari isnâd adalah sangat penting. Karena itu, seorang yang mempelajari hadis tanpa mempelajari isnâddiibaratkan seperti seorang pencari kayu bakar pada malam hari(مثل الذي يطلب الحديث بلا حديث كمثل حطب ليل)[5]
Di samping itu, tidak dapat dipungkiri bahwa sanad telah memperkokoh dan mempertahankan Islam dan ajarannya. Seandainya tidak ada ulama yang memberikan perhatian dan menghapal sanad dengan sungguh-sungguh niscaya akan pudarlah agama Islam, minimal keaslian ajarannya akan hilang. Hal itu karena hadis bisa menjadi lahan mudah bagi masuknya pemalsuan demi menghancurkan bangunan Islam. Ibn Shaleh, seperti dikutip Hasbi (1958: 37)[6] pernah berkata:
لولا توفر طائفة من المحدثين على حفظ الإسناد لدرس منار الإسلام
Artinya : “Jika sekiranya tidak ada perhatian yang sungguh-sungguh dari sebagian muhadditsin dalam menjaga isnâd tentu sudah lenyaplah kejayaan Islam itu”.
Pendapat para ulama tersebut membuktikan betapa pentingnya sanad dalam pencarian sumber asli suatu berita (hadis). Dengan demikian, dapat diketahui bahwa pengalihan berita dari seseorang yang dapat dipercaya kepada orang yang dapat dipercaya hingga sampai kepada Nabi Muhammad saw. dengan sanad yang bersambungan merupakan pemberian dari Allah saw. kepada umat Islam dan tidak diberikan kepada orang lain. Hal ini sesuai dengan perkataan Abu Hatim ar-Razi[7], “Tidak ada suatu umat pun semenjak Adam yang mempunyai orang-orang kepercayaan (yang dapat dipertanggungjawabkan) yang dapat memelihara atsâr para rasul (perkataan nabinya) selain umat ini (Islam).”

C.     Dokumentasi Sanad Hadits
Sebagai salah satu data sejarah yang cukup lama, kitab-kitab hadits merupakan salah satu dokumen sejarah yang cukup tua. Perjalanan sejarahnya sudah melewati waktu yang sangat panjang, sejak 14 abad yang lalu. Kitab-kitab tersebut isinya terpelihara secara murni dan terpelihara secara murni dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara berkesinambungan sampai sekarang.
Salah satu keistimewaan atau keunikan Hadits dan dokumen sejarah lainnya di dunia, ialah tertulisnya data orang-orang yang menerima dan meriwayatkan Hadis-hadis tersebut, yang disebut sanad. Dengan ketelitian, semangat kerja yang tinggi dan profesional khususnya para penulis kitab Hadis, sanad Hadis satu persatu terdokumentasikan secara urut. Hal ini misalnya dapat dilihat pada kitab-kitab al-Jami’ ash-Shahih karya al-Bukhari dan Muslim.
Kedua ulama’ di atas, menuliskan nama-nama sanad Hadis masing-masing, meskipun untuk Hadis-hadis yang memiliki banyak jalan sanad, seperti pada Hadis-hadis Mutawatir dan Masyhur. Begitu juga halnya para ulama lainnya seperti Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal, ad-Darimi, ad-Daruquthni dan al-Hakim. Mereka tidak menulis satu hadis pun yang tidak memiliki sanadnya secara lengkap, termasuk untuk Hadis-hadis yang memiliki jalansanad yang berbilang.
Pada perkembangan selanjutnya, para ulama generasi pasca mudawwin, berusaha menyusun nama-nama sanad itu pada kitab-kitab secara khusus, yang dilengkapi dengan biografi masing-masing. Pada kitab-kitab tersebut tertulis secara terperinci dan lengkap yang berkaitan dengan riwayat hidup, kualitas, dan kepribadiannya, mulai sanadpertama sampai yang terakhir. Selain itu, dituliskan pula bagaimana penilaian para ulama sejaman atau sesudahnya terhadap kualitas mereka, baik yang menyangkut ke-adil-an maupun ke-dlabit-annya. Di antara kitab yang secara khusus memuat data-data mereka itu ialah Usud al-Gabah fi Asma’ ash-Shahabah karya Ibn al-Atsir dan ­al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah karya Ibn Hajar al-‘Asqalani (kitab yang khusus memuat biografi shahabat); Mizan al-I’tidal karya Muhammad bin Ahmad bin Usman adz-Dzahabi danTahdzib al-Tahdzib karya Ibn Hajar al-Asqalani (kitab-kitab yang memuat biografi parasanad Hadis pada semua Thabaqah atau tingkatannya).[8]

D.     Fungsi Sanad Dalam Dokumentasi Hadits
Fungsi sanad pada dasarnya terbagi pada dua aspek. Pertama, Untuk pengamanan atau pemeliharaan matan Hadis. Kedua, Untuk penelitian kualitas Hadis satu persatu secara terperinci.
1.       Untuk pengamanan atau pemeliharaan matan Hadis.
Sanad Hadis dilihat dari sudut rangkaian atau silsilahnya terbagi kepada beberapa thabaqah atau tingkatan. Tingkatan-tingkatan tersebut menunjukkan urutan generasi demi generasi yang antara satu dengan yang lainnya bertautan atau bersambung.
Hadis-hadis Rasulullah SAW yang berada sepenuhnya ditangan mereka diterima dan disampaikan (secara umum) melalui dua cara, yaitu lisan dan tulisan. Cara yang pertama merupakan cara yang utama ditempuh oleh para ulama ahli Hadis dalam kapasitasnya sebagai sanad Hadis. Hal ini karena dalam tradisi sastra pra-Islam, masyarakat Arab telah terbiasa dengan budaya hafal, yang dilakukannya sejak nenek moyang mereka. Dengan kegiatan ini maka tradisi lama yang cukup positif itu menjadi tetap terpelihara dan dimanfaatkan untuk kepentingan pemeliharaan ajaran Islam.
Upaya mengembangkan daya hafal ini semakin efektif dengan ditunjang oleh dua potensi, yaitu kuatnya daya hafal yang mereka miliki dan semangat kerja yang termotivasi oleh keimanan, ketaqwaan dan tanggung jawab terhadap terpeliharanya syari’at Islam.
Cara yang kedua (cara tulisan), pada awal-awal Islam kurang berkembang jika dibanding dengan masa-masa tabi’ al-Tabi’in, atba’ al-Tabi’in dan masa sesudahnya. Hal ini karena ada beberapa faktor yang berkaitan dengan terbatasnya fasilitas penunjang, di samping adanya prioritas untuk lebih mengefektifkan penyebaran al-Qur’an. Namun demikian kegiatan tulis menulis berjalan secara baik yang turut mendukung upaya pemeliharaan Hadis. Ini terbukti pada catatan mereka baik yang ditulis oleh para shahabat maupun tabi’in. Di kalangan shahabat ialah Abdullah bin Amr bin Ash, Jabir bin Abdillah, Abu Hurairah, Abu Syah, Abu Bakar as-Shiddiq, Ibn Abbas, Abu Ayyub al-Anshari, Abu Musa al-Asy’ari dan Anas bin Malik. Di kalangan tabi’in besar tercatat nama-nama antara lain Ikrimah, Umar bin Abdul Aziz, Amrah binti Abd ar-Rahman, al-Qasi, bin Muhammad bin Abi Bakar, Muhammad bin Ali bin Abi Thalib dan Muhammad bin Abi Kabsyah al-Anshari. Kemudian pada kalangan tabi’in kecil tercatat nama-nama antara lain Ibrahim bin Jarir, Ismail bin Abi Khalid al-Ahmasi, Ayyub bin Abi Tamimah as-Sakhtayani, Tsabit bin Aslam, al-Bannani, al-Hasan bin Yasar al-Bashri, Hushain bin Abdirrahman as-Sulami, Hammad bin Abi Sulaiman, Zaid bin Aslam dan Zaid bin Rafi’.[9]
Tulisan-tulisan mereka ada yang berbentuk surat yang dikirimkan kepada orang lain yang di dalamnya berisi nasihat atau pesan-pesan Rasul SAW, seperti yang dilakukan Asid bi Hudlair al-Anshari kepada Marwan tentang peradilan terhadap pencuri. Atau yang dilakukan oleh Jarir bin Abdillah kepada Mu’awiyah tentang sebuah Hadis yang berbunyi[10]مَنْ لَمْ يَرْحَمْ النَّاسَ لَمْ يَرْحَمْهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ (siapa yang tidak menyayang sesama manusia niscaya Allah tidak akan menyayanginya) dan ada yang berupa catatatan pribadi semata, yang pada saatnya akan diriwayatkan kepada orang lain atau murid-muridnya baik melalui qira’ahatau imla’ (dibacakan atau didektekan di depan muridnya), Ijazah (memberikan izain kepada muridnya untuk meriwayatkan Hadis kepada orang lain), al-Mukatabah (menulis Hadis yang diberikan kepada muridnya) dan beberapa cara lainnya.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa sanad memegang peranan yang menentukan terhadap kelangsungan dan terpeliharanya Hadis, yang berarti merupakan kontribusi besar bagi kelangsungan Islam dan umat. Tanpa usaha mereka, umat Islam akan menghadapi kesulitan dalam mempelajari sumber ajaran yang kedua (Hadis) ini.

2.       Untuk penelitian kualitas Hadis
Bersambung atau tidaknya sanad sangat berpengaruh pada tingkat kualitas Hadis sehingga ke-hujjah-an Hadis adakalanya bisa diterima (Maqbul) dan adakalanya ditolak (Mardud).
Ditinjau dari segi sedikit atau banyaknya rawi yang menjadi sumber berita, Hadis terbagi menjadi dua macam, yaitu Mutawatir dan Ahad.
1)       Hadis Mutawatir
Adalah;
ما رواه جمع تحيل العادة تواطؤهم على الكذب عن مثلهم من أول السند إلى منتهاه[11]
“Hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta sejak awal sanad sampai akhir sanad”
Menurut definisi lain menyebutkan:
الذي رواه جمع كثير لا يمكن تواطؤهم على الكذب عن مثلهم إلى انتهاء السند وكان مستندهم الحس[12]
Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir sanad. Hadis yang diriwayatkan itu didasarkan pada pengamatan panca indra”
Menurut definisi yang lebih singkat disebutkan:
ما رواه جمع عن جمع تحيل العادة تواطؤهم على الكذب[13]
Hadis yang diriwayatkan banyak orang dan diterima dari banyak orang pula, yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta”
Berdasarkan ketiga definisi di atas diketahui adanya empat hal yang harus terpenuhi pada pada suatu Hadis yang dikategorikan Mutawatir, yaitu:
1.       Diriwayatkan oleh banyak perawi
2.       Adanya keyakinan bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta.
3.       Adanya kesamaan atau keseimbangan jumlah sanad pada tiap-tiapthabaqahnya.
4.       Berdasarkan tanggapan pancaindra
Contoh Hadis Mutawatir:
قال رسول الله صلى الله عليه وسل: …. مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ.[14]
عبد الله بن الزبير                             أبو هريرة                 أنس بن مالك              علي بن ربيعة
عمير بن عبد الله بن الزبير                    أبو صالح                 عبد العزيز                   سعيد بن عبيد
جامع بن شدّاد       عبد الوارث             أبو حصين               إسماعيل                     عبد الله بن نمير
شعبة                 أبو معمر              أبو عَوانة                 زهير بن حرب               محمد بن عبد الله
أبو الوليد                                    موسى             محمد بن عبيد
الـــــبخـــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــاري  مســــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــلــــــــــــــــم
Menurut Abu Bakar al-Bazzar, Hadis tersebut diriwayatkan oleh 40 orang shahabah, dan sebagian ulama’ mangatakan bahwa Hadis tersebut diriwayatkan oleh 62 orang shahabat dengan susunan redaksi yang sama.

Inilah Hadis mutawatir yang mempunyai faidah yaqin bi al-Qath’i, artinya Hadismutawatir harus diyakini sepositif-positifnya, karena Rasul SAW mengeluarkan Hadis di hadapan para sahabat dengan sumber yang sangat banyak sekali yang mustahil mereka bersama-sama mengadakan kesepakatan untuk berbohong. Oleh karena itu, tidak perlu mengadakan penelitian secara mendalam tentang Hadis mutawatir dengan menyelidiki identitas para perawinya. Sedangkan yang perlu lebih jauh dan mendalam diteliti adalah Hadis Ahad.
2)       Hadis Ahad
Yang dimaksud hadis Ahad adalah:
ما لم يجمع شروط المتواتر
Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat Mutawatir”    
Ulama lain mendefinisikan dengan “Hadis yang sanad-nya shahih dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (Nabi SAW), tetapi kandungannya memberikan pengertian zhanni dan tidak sampai kepada qath’i  atau yakin.[15]
Dari pengertian di atas ada dua hal yang harus digaris bawahi, pertama, dari sudut kuantitas perawinya Hadis Ahad berada di bawah Hadais Mutawatir . Kedua, dari sudut isinya Hadis Ahad  memberikan faedah zhanni bukan qath’i. Kedua hal inilah yanh membedakannya dengan Hadis Mutawatir.
Para Muhadditsin  memberikan nama-nama tertentu bagi Hadis Ahad mengingat banyak sedikitnya rawi-rawi yang berada pada tiap-tiap thabaqah dengan Haids Masyhur, Hadis ‘Aziz dan Hadis Gharib.
a)        Hadis Masyhur, ialah
ما رواه الثلاثة فأكثر ولم يصل درجة التواتر
“Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih serta belum mencapai derajat mutawatir”
Misalnya Hadis Masyhur yang ditakhrijkan oleh Bukhari-Muslim dari shahabat Ibnu Umar ra.:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى
عمر بن الخطاب                (الطبقة الأولى)
علقمة بن وقاص                (الطبقة الثانية)
محمد بن إبراهيم التيمي         (الطبقة الثالثة)          غريب
يحي بن سعيد الأنصاري        (الطبقة الرابعة)




عبد الوهاب      مالك           الليث                              حماد                           سفيان
ابن المثنى         ابن مسلمة      محمد بن رمح        أبو الربيع     مسدّد        أبو النعمان      الحميدي    مشهور
مـــــــــــســــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــلــــم    البــــــخــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــاري
Pada Hadis di atas pada thabaqah pertama sampai thabaqah keempat diriwayatkan oleh satu rowi, yaitu dari shahabat Umar ke ‘Alqamah ke Muhammad bin Ibrahim ke Yahya. Sedangkan dari Yahya sampai ke al-Bukari dan Muslim diriwayatkan oleh banyak perawi. Maka Hadis Umar tersebut dapat dikatakan Gharib di awal dan Masyhur  di akhir.
b)       Hadis ‘Aziz
Hadis Aziz ialah:
ما رواه اثنان ولو كان في طبقة واحدة، ثم رواه بعد ذلك جماعة.
“Hadis yang diriwayatkan oleh dua orang walaupun hanya terdapat pada satu thabaqah saja, kemudian pada setelahnya diriwayatkan oleh orang banyak”[16]
Sedangkan Ibn Hajar al-‘Asqalani mendefinisikan Hadis aziz sebagai berikut:
ما لايرويه أقل من اثنين عن اثنين
“Hadis yang diriwayatkan oleh sedikitnya dua orang perawi dan diterima dari dua perawi pula”. [17]
قال رسول الله عليه وسلم:لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ نَفْسِهِ وَوَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
                      أنس بن مالك
عبد العزيز بن صهيب                      قتادة
عبد الوارث           اسماعيل بن عَلِية                             شعبة         حسين المعلّم
شيبان                زهير بن حرب       محمد بن جعفر         آدم          يحيى بن سعيد
ابن أبي شيبة                         ابن المثنى    ابن بشّار                      مسدّد
مــــــــــــــــــــــــســــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــلــــــــــــــــــم البــــخـــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــاري
Hadis tersebut diterima oleh shahabat Anas bin Malik. Beliau memberikannya kepada dua orang, yaitu Qtadah dan ‘Abdul Aziz dan seterusnya.
Dengan memperhatikan jumlah poerawinya bisa dilihat:
Thabaqah I              : 1 orang (Anas bin Malik)
Thabaqah II             : 2 orang (Qtadah dan ‘Abdul Aziz)
Thabaqah III            : 4 orang (Abdul Warits, Isma’il bin Ulaiyyah, Syu’bah dan Husain al-Mu’allim
Thabaqah IV           : 5 orang (Syaiban, Zuhair bin Harb, Muhammad bin Ja’far, Adam dan Yahya bin Sa’id)
Dan seterusnya sampai Imam al-Bukhari dan Imam Muslim.
c)       Hadis Gharib
Yang dinamakan Hadis Gharib ialah:
ما يتفرد بروايته شخص واحد في أي مَوضِعٍ وقعَ التفردُ به من السند
“Hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan di mana saja dalam penyendirian itu terjadi “[18]
Contoh hadis Gharib:
قال النبي صل الله عليه وسلم: الايمان بِضْع وسبعون شُعبةً. والحياءُ شعبةٌ من الإيمان.
أبو هريرة
أبو صالح
عبد الله بن دينار
سليمان بن بلال
أبو عامر

عبد الله بن حميد                      عبد الله بن سعيد                    عبد الله بن محمد
مــــســــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــلـــــــم                الــــــــبـــخـــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــاري
Hadis tersebut mulai thabaqah  pertama sampai thabaqah  kelima diriwayatkan oleh satu orang perawi. Sedangkan Abu ‘Amir menyampaikan Hadis kepada tiga orang perawi hingga diterima oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Itulah tiga macam Hadis Ahad jika ditinjau dari perspektif sedikit-banyaknya sanad.

Sedangkan ditinjau dari perspektif diterima atau tidaknya, Hadis ahad  dibagi menjadi tiga, Shahih, Hasan dan Dha’if.
1.       Hadis Shahih
Shahih merupakan kalimat musytaq dari kalimat shahha – yashihhu – suhhan wa sihhatanartiya sembuh, sehat, selamat dari cacat, benar.[19] Sedangkan secara istilah yaitu :
مَا اِتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ العَدْلِ الضَابِطِ عَنْ مِثْلِهِ إِلىَ مُنْتَهَاهُ مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلاَ عِلَّةٍ.
“Hadis yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhobit ( memiliki hafalan yang kuat) dari awal sampai akhir sanad dengan tanpa syadz dan tidak pula cacat”.[20]
Dalam definisi tersebut dikatakan bahwa hadits dikatakan shahih jika memiliki syarat-syarat[21] yaitu sebagai berikut:
a.        Sanadnya bersambung, maksudya adalah setiap rawi dari suatu riwayat hadits berajar atau bertemu langsung dari mulai awal sanad sampai akhir.
b.       Rawinya adil, maksudnya adalah setiap rawi dari suatu riwayat hadits disifati sebagai muslim, baligh, berakal (sehat), bukan orang fasiq dan bukan pula Makhrumul Muruah (Menodai muru’ah).
c.       Rawinya dhobit, maksudnya adalah setiap rawi dari suatu periwayatan hadits itu memiliki hafalan yang kuat, baik dalam hafalan berupa penalaran dan tulisan, tidak pelupa, tidak ragu dan tidak terslah, sehingga ia dapat mengingat Hadis-hadis yang diterima.
d.       Tidak Syadz, maksudnya adalah suatu hadits yang tsiqat menyelisihi hadits yang lebih tsiqat darinya.
e.       Tidak ada ‘Illat (cacat), maksudnya adalah suatu hadits yang samar yang meyebutkan cacat terhadap keshahihan hadits tersebut bersamaan secara dzohir itu bebas dari cacat.
Adapun contoh hadits yang shahih adalah sebagai berikut;

حَدَّثَنَا عَبْدُاللهِ بْنُ يُوْسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمِ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّوْرِ(رواه البخاري)[22]
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah mengkhabarkan kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin jubair bin math’ami dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar rasulullah saw membaca dalam shalat maghrib surat at-thur” (HR. Bukhari).
Analisis terhadap hadits tersebut:
a.        Sanadnya bersambung karena semua rawi dari hadits tersebut mendengar dari gurunya.
b.       Semua rawi pada hadits tersebut dhobit, adapun sifat-sifat para rawi hadits tersebut menurut para ulama aj-jarhu wa ta’dil sebagai berikut :
1)    Abdullah bin yusuf                        tsiqat muttaqin.
2)    Malik bin Annas                             : imam hafidz
3)    Ibnu Syihab Aj-Juhri                     Ahli fiqih dan Hafidz
4)    Muhammad bin Jubair                  Tsiqat.
5)    Jubair bin muth’imi                        : Shahabat.
c.       Tidak syadz karena tidak ada pertentangan dengan hadits yang lebih kuat serta tidak cacat.
Hadits Shahih pula terdapat dua bagian:
a.        Hadits Shahih Lidzatihi
Hadits shahih lidzatihi adalah hadits yang memiliki semua syarat hadits shahih diatas yang sah karena dzatnya, yakni shahih dengan tidak bantuan keterangan lain.[23] Contoh Hadis shahih li dzatihi ialah sebagaimana contoh di atas.
b.       Hadits Shahih Lighoirihi
Hadits Shahih Lighoirihi adalah Hadits Hasan Lidzatihi[24] yang diriwayatkan dari jalur lain yang sama atau yang lebih kuat darinya,
Pengertian lain dari Hadis shahih li ghairihi adalah:
ما كان رواته متأخرا عن درجة الحافظ الضابط مع كونه مشهورا بالصدق حتى يكون حديثه حسنا ثم وُجِد فيه من طريقٍ آخر مساوٍ لطريقه أو أرجَحُ ما يَجْبرُ ذلك القصُورَ الواقِعَ فيه[25]
“Hadis yang keadaan rawi-rawinya kurang hafidh dan dlabith, tetapi mereka masih terkenal orang yang jujur, hingga karenanya berderajat Hasan, lalu di dapati padanya dari jalan lain yang serupa atau lebih kuat hal-hal yang dapat menutupi kekurangan yang menimpanya itu”
contohnya hadits yang derajatnya shahih lighoirihi sebagai berikut;
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ[26]
“telah bercerita kepadaku Abu Kuraib, bercerita kepadaku ‘Abdah bin Sulaiman dari Muhammad bin amr dari abi salamah dari abu hurairah sesungguhnya rasulullah saw bersabda: Kalaulah tidak memberatkan atas umatku pasti akanku perintahkan kepada mereka bersiwak ketika setiap shalat”(HR. Tirmidzi).
Keterangan:
1.       Sanad Hadis ini bila digambarkan menjadi:
a.        Turmudzi
b.        Abu Kuraib
c.       ‘Abdah bin Sulaiman
d.       Muhammad bin ‘Amr
e.       Abi Salamah
f.        Abi Hurairah
g.       Rasulullah
2.       Kalau diperiksa sanad ini dari Turmudzi sampai kepada Nabi, diterima dengan bersambung.
3.       Rawi-rawi dari no.1 sampai no. 6 semua ‘adil dan dlabith, kecuali Muhammad bin ‘Amr, seorang yang ‘adil tapi kedlabitannya kurang karena hafalannya lemah.[27]
4.       Hadis tersebut tidak ada syudzudz dan ‘illahnya.
Maka Hadis ini disebut Hadis Hasan li Dzatihi.
Akan tetapi ada Hadis dari al-Bukhari yang menshahihkan Hadis ini.
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ[28]
Hadis ini diriwayatkan oleh shahabat Abu Hurairah, yang diterima Abdur Rahman, kemudian disampaikan kepada Ja’far bin Rabi’ah, diterima al-Laits, diriwayatkan  Yahya bin Bukair dan diterima sekaligus dibukukan oleh Imam Bukhari.
Ketika digabungkan dari berbagai hadits yang diriwayatkan dari jalur lain hadits ini menjadi Shahih Lighoirihi.

2.       Hadits Hasan
Hasan secara bahasa adalah sifat yang menyerupai dari kalimat “al-husna” artinya indah, cantik. Akan tetapi secara istilah yang dimaksud dengan Hadits Hasan menurut Ibnu Hajar Al-Atsqalani yaitu:
مَا اِتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ الْعَدَلِ الَّذِيْ خَفَّ ضَبْطُهُ عَنْ مِثْلِهِ إِلَى مُنْتَهَاهُ مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلاَ عِلَّةٍ “.
“Hadis yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, hafalannya yang kurang, dari awal sampai akhir sanad dengan tidak syad dan tidak pula cacat”[12]
Contoh hadits hasan adalah sebagai berikut:
حدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الضُّبَعِي عَنْ أَبِيْ عِمْرَانِ الْجَوْنِي عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي مُوْسَي الْأَشْعَرِيْ قَالَ : سَمِعْتُ أَبِي بِحَضْرَةِ العَدُوِّ يَقُوْلُ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص م : إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تَحْتَ ظِلاَلِ السُّيُوْفِ ….. الحديث “
“Telah menceritakan kepada kamu qutaibah, telah menceritakan kepada kamu ja’far bin sulaiman, dari abu imron al-jauni dari abu bakar bin abi musa al-Asy’ari ia berkata: aku mendengar ayahku berkata ketika musuh datang : Rasulullah Saw bersabda : sesungguhnya pintu-pintu syurga dibawah bayangan pedang…..”( HR. At-Tirmidzi, Bab Abwabu Fadhailil jihadi).
Derajat hadits tersebut adalah hasan, karena semua perawi dalam hadits tersebut tsiqoh kecuali ja’far bin sulaiman adh-dhuba’i.
Hadits Hasan pula terdapat dua bagian:
a. Hadits Hasan Lidzatihi
Hadits Hasan lidzatihi adalah hadits hasan itu sendiri sebagaimana yang telah kita bahas mengenai hadits hasan.
b. Hadits Hasan Lighoirihi
Hadits Hasan Lighoirihi adalah Hadits dhoif yang mempunyai jalur periwayatan yang banyak akan tetapi sebab kedhoifannya itu bukan karena fasiq ataupun pembohong, contohnya hadits yang derajatnya hasan lighoirihi sebagai berikut;
(الحاكم) حدثناه أبو علي الحافظ أنبأ محمدُ بن إسحاقَ وأحمدُ بن جعفرِ بنِ الرَّازي في آخرين قالوا ثَنَا يوسفُ بن موسى ثنا عبد الله بن الهَجْمِ الرَّازيُّ ثنا عبد الله العلاءِ بنِ هَيْبَةَ ثنا شعبةُ عن أبي ليلى عن أخيه عن ابْنِ أبي ليلى عن أبي أيوبَ قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ذَكَاةُ الْجَنِيْنِ ذَكَاةُ أُمِّهِ(الحاكم 114 : 4)
“(Kata Hakim) Telah menceritakannya kepada kami, Abu ‘Ali al-Hafizh, telah mengkhabarkan muhammad bi Ishaq dan Ahmad bin Ja’far bin Nashr ar-Razi digolongan orang-orang yang terakhir, mereka berkata: telah menceritakan kepada kami, Yusuf bin Musa, telah menceritakan kepada kami, ‘Abdullah bin Jahm ar-Razi, telah menceritakan kepada kami, ‘Abdullah bin ‘Ala bin Haibah, telah menceritakan kepada kami, Syu’bah dari Abi Laila, dari saudaranya, darti Ibni Abi Laila, dari Abu Ayyub, ia berkata telah bersabda Rasulullah SAW: “Sembelihan bagi anak binatang yang di dalam perut itu, (cukup) dengan menyembelih ibunya (saja)”
Keterangan:
1.       Susunan sanad  hadis ini ialah:
1)       Imam Hakim
2)       Abu ‘Ali al-Hafizh
3)       Muhammad bin ishaq dan Ahmad bin Ja’far bin  Nashr
4)       Yusuf bin Musa
5)       ‘Abdullah bin Jahm ar-razi
6)       ‘Abdullah bin ‘Ala bin Haibah
7)       Syu’bah
8)       Abi Laila[29]
9)       Saudara abi Laila[30]
10)    Ibnu Abi Laila[31]
11)    Abi Ayyub
12)    Rasulullah SAW
2.       Yang tercela dalam isnad  ini adalah Abi Laila. Asalnya ia seorangQadli  di Kufah, lalu hafalannya rusak.[32] Oleh sebab itu Hadis tersebut menjadi lemah, tetapi dibantu oleh beberapa jalan , di antaranya dari jalan Abu Dawud, yaitu:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ فَارِسٍ حَدَّثَنِي إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ رَاهَوَيْهِ حَدَّثَنَا عَتَّابُ بْنُ بَشِيرٍ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي زِيَادٍ الْقَدَّاحُ الْمَكِّيُّ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِعَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ذَكَاةُ الْجَنِينِ ذَكَاةُ أُمِّهِ(سنن أبي داود: 2445)
(ABU DAUD – 2445) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya bin Faris, telah menceritakan kepadaku Ishaq bin Ibrahim bin Rahawaih, telah menceritakan kepada kami ‘Attab bin Basyir, telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin Abu Al Qaddah Al Makki, dari Abu Az Zubair, dari Jabir bin Abdullah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata: “Penyembelihan janin adalah dengan menyembelih induknya.”
Susunan sanadnya:
1)       Abu Daud
2)       Muhammad bin Yahya bin Faris
3)       Ishaq
4)       ‘Ittab bin Basyir
5)       ‘Ubaidullah bin Abi Ziyad
6)       Abi al-Zubair
7)       Jabir
8)       Rasulullah saw
3.       Rawi yang dianggap lemah dalamisnad  ini adalah ‘Ubaidullah bin Abi Ziyad al-Makki, seorang yang tidak begitu kuat hafalannya.
4.       Selain dari itu Hadis tersebut diriwayatkan juga oleh Imam-imam: Turmudzi, Ibnu Majah, Ahmad, Daruquthni, Baihaqi, Thabarani, dan Ibnu Hibban, dari jalan sahabat-sahabat: Ali, Ibnu Mas’ud, al-Bara’, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Ka’ab bin Malik, Abu Umamah, Abi Darda’ dan Abu Hurairah.
5.       Oleh karena Hadis riwayat imam Hakim ini dikuatkan dengan jalan periwayatan yang banyak, maka ia disebut Hadis Hasan Li Ghairihi

3.       Hadits Dhoif
Dhoif secara bahasa adalah kebalikan dari kuat yaitu lemah, sedangkan secara istilah yaitu;
ما فقِد شرطا من شروط الحديث المقبول
“Hadis yang hilang salah satu dari persyaratan Hadis Maqbul (Hadis Shahih dan Hadis Hasan)”[33]
Sedangkan definisi Hadis dla’if menurut an-Nawawi ialah:
ما لم يوجد فيه شروط الصحة ولاشروط الحسن
“Hadis yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat Hadis Shahih dan syarat-syarat Hadis Hasan”[34]
Dari kedua definisi di atas bisa disimpulkan bahwa Hadis yang tidak memenuhi persyaratan Hadis Shahih dan Hadis Hasan disebut Hadis Dla’if.
Contoh hadits dhoif adalah sebagai berikut ;
مَاأَخْرَجَهُ التِّرْمِيْذِيْ مِنْ طَرِيْقِ “حَكِيْمِ الأَثْرَمِ”عَنْ أَبِي تَمِيْمَةِ الهُجَيْمِي عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ ص م قَالَ : ” مَنْ أَتَي حَائِضاً أَوْ اِمْرَأةً فِي دُبُرِهَا أَوْ كَاهُنَا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أَنْزَلَ عَلَى مُحَمِّدٍ “[35]
Hadis yang diriwayatkan oleh tirmidzi dari jalur hakim al-atsrami “dari abi tamimah al-Hujaimi dari abi hurairah dari nabi saw ia berkata : barang siapa yang menggauli wanita haid atau seorang perempuan pada duburnya atau seperti ini maka sungguh ia telah mengingkari dari apa yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad saw”
Imam Tirmidzi berkata setelah mengeluarkan (takhrij) hadits ini : “ kami tidak mengetahui hadits ini kecuali hadits dari jalur hakim al-atsrami, kemudian hadits ini didhoifkan oleh Muhammad dari segi sanad karena didalam sanadnya terdapat hakim al-atsrami sebab didhaifkan pula oleh para ulama hadits”
Ibnu hajar berkarta mengenai hadits ini di dalam kitab “Taqribut Tahdzib” : Hakim al-Atsromi pada rawi tersebut adalah seorang yang bermuka dua.

Adapun penyebab kedhoifannya karena beberapa hal:
1.       Sebab Terputusnya sanad.[36]
a.        Al-Mursal, ialah Hadis yang dari permulaan sanadnya gugur seorang rawi atau lebih dengan berturut-turut.
b.       Al-Mu’dlal, ialah Hadis yang di tengah sanadnya gugur dua rawi atau lebih dengan berturut-turut.
c.       Al-Munqathi’, ialah Hadis yang di tengah sanadnya gugur seorang rawi atau lebih tetapi tidak bertururt-turut.
d.       Al-Mudallas, ialah Hadis yang dalam sanadnya disembunyikan atau disamarkan. Mudallas ada 2,
a)        Mudallas Isnad, adalah Hadis diriwayatkan oleh seorang rawi dari seorang semasanya yang tidak pernah temui atau pernah bertemu tetapi yang diriwayatkan itu tidak didengar dari orang tersebut dengan cara yang menimbulkan dugaan mendengar langsung.[37]
b)       Mudallas Syuyukh, ialah Hadis yang dalam sanadnya si rawi menyebut syaikh yang ia dengar dengan sifat yang tidak terkenal.
e.       Al-Mursal, ialah Hadis yang diriwayatkan oleh seorang tabi’i langsung dari Nabi Muhammad SAW tanpa menyebut nama orang yang menceritakan kepadanya.
2.       Sebab tercacat seorang rawi atau beberapa rawinya.[38]
Ada berbagai macam bentuk hadis ini, yaitu:
1)       Al-Maudlu’
2)       Al-Matruk
3)       Al-Munkar
4)       Al-Ma’ruf
5)       Al-Ma’lul
6)       Al-Mudraj
7)       Al-Maqlub
8)       Al-Munqalib
9)       Al-Masruq
10)    Al-Mudl-tharib
11)    Al-Mubham
12)    Al-Maj-hul
13)    Al-Syadz
14)    Al-Mushahhaf
15)    Al-Muharraf
16)    Al-Muhmal



BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan dari makalah yang singkat ini adalah:
1.       Definisi Sanad secara terminologi adalah:
طريق المتن أو سلسلة الرواة الذين نقلوا المتن عن مصدره الأول
“Jalan matan hadits atau sisilsilah para perawi yang menukilkan matan hadits dari sumbernya yang pertama (Rasul SAW)”
2.       Di antara pendapat ahli tentang pentingnya sanad , antara lain:
a.        Ibnu al-Mubarak berkata:
الإسناد من الدين ولولا الإسناد لقال من شاء ما شاء
Artinya: Isnad adalah sebagian dari agama. Seandainya tidak ada isnad, sungguh seseorang akan mengatakan apa saja yang ia ingin katakan.
b.       Imam al-Tsauri berkata:
الإسناد سلاح المؤمن فإذا لم يكن معه سلاح فبأي سلاح يقاتل
Artinya : “Isnâd dapat diumpamakan dengan pedangnya orang beriman. Apabila tidak memiliki pedang, dengan senjata apakah ia akan membunuh”.
c.       Imam Syafi’i berkata:
مثل الذي يطلب الحديث بلا حديث كمثل حطب ليل
Artinya: “Seorang yang mempelajari hadis tanpa mempelajari isnâd diibaratkan seperti seorang pencari kayu bakar pada malam hari”.
d.       Ibnu Shaleh berkata:
لولا توفر طائفة م المحدثين على حفظ الإسناد لدرس منار الإسلام
Artinya : “Jika sekiranya tidak ada perhatian yang sungguh-sungguh dari sebagian muhadditsin dalam menjaga isnâd tentu sudah lenyaplah kejayaan Islam itu”.
3.       Fungsi Sanad dalam dokumentasi Hadis adalah:
a.        Untuk pengamanan atau pemeliharaan matan Hadis.
b.       Untuk penelitian kualitas Hadis satu persatu secara terperinci.
4.       Nilai Hadis dari Fungsi Sanad menjadi beberapa bagian
a.        Dari kuantitas sanad Hadis terbagi menjadi Mutawatir dan Ahad.
b.       Dari maqbul atau mardudnya Hadis terbagi menjadi Shahih, Hasan dan Dla’if.

Daftar Pustaka
1.       Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis, Jakarta, Gaya Media Pratama, 1996
2.       Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Bandung, PT Al-Ma’arif Bandung, 1991
3.       Mahmud at-Thahhan, Tafsir Mushthalah al-Hadits, Dar ats-Tsaqafah al-Islamiyyah, Bairut
4.       Jalal al-Din Abdu al-Rahman Ibn Abi Bakar as-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi Jilid 1, Bairut, Dar al-Fikr, 1988
5.       Hasbi Ash-Shiddiqie, 1965. Sejarah dan Pengantar Hadis. Jakarta: Bulan Bintang
6.       Musnad Ahmad bin Hanbal no. 81370
7.      محمد عجاج الخطيب. أصول الحديث، علومه ومصطلحه. بيروت: دار الفكر. 1981. ص 301
8.      نور الدين عطر، منهج النقد في علوم الحديث، بيروت: دار الفكر. 1979. ص 70
9.      محمود الطهان، أصول التخريج ودراسة الأسانيد. رياض، مكتبة الرشد. 1983. ص 18
10.صحيح البخاري. رقم الحديث 107 / صحيح المسلم، رقم الحديث 4
11.    Muhammad Sa’id Ramadlan al-Buthi, mabahaits al-Kitab wa wa-Sunnah min ‘Ilmi al-Ushul, Damsyik.
12.    Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Bandung, PT Al-Ma’arif Bandung, 1991
13.    Ibn Hajar al-‘Asqalani, Syarh Nuhbah al-Fikr fi Mushthalahah Ahli al-Atsar. Dar al-Kutub al-Ilmiah, Bairut.1934
14.    A.W.Munawir, Kamus al-munawir arab-indonesia,Yogyakarta:Pustaka Progresif.
15.    A, Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah Hadits, Bandung, Penerbit Diponegoro. 2007. Hlm 29
16.    Hasbi Ash-Shiddiqie. Ulumul Hadts
17.    Sunan Tirmidzi. No : 22
18.    Tahdzibut al-Tahdzib 9:375
19.    Shahih Bukhari. No. 6699
20.    Khulashah Tahdzibul al-Kamal 287
21.    Nur ad-Din ‘Atar, Manhaj an-Naqdi fi fi ‘Ulumi al-hadits. Dar al-Kutub al-Ilmiah. Bairut.1979
22.    Muhammad Jamal ad-Din al-Qasimi, Qawa’id al-Tahdits min Funun Mushthakah al-Hadits. Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut. 1979.
23.     Sunan Tirmidzi, no 125
24.    Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits. Jakarta. Gaya Media Pratama, 2007


[1]Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta, Gaya Media Pratama, 1996, hlm 91
[2] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Bandung, PT Al-Ma’arif Bandung, 1991, hlm 24
[3]Mahmud at-Thahhan, Tafsir Mushthalah al-Hadits, Dar ats-Tsaqafah al-Islamiyyah, Bairut, hlm 16
[4]Jalal al-Din Abdu al-Rahman Ibn Abi Bakar as-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi Jilid 1, Bairut, Dar al-Fikr, 1988 hlm 41
[5]Hasbi Ash-Shiddiqie, 1965. Sejarah dan Pengantar Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, hlm 37
[6] ibid
[7] Ibid hlm 38
[8] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta, Gaya Media Pratama, 1996, hlm 98
[9] Ibid 99
[10] Musnad Ahmad bin Hanbal no. 81370
[11]محمد عجاج الخطيب. أصول الحديث، علومه ومصطلحه. بيروت: دار الفكر. 1981. ص 301
[12] نور الدين عطر، منهج النقد في علوم الحديث، بيروت: دار الفكر. 1979. ص 70
[13] محمود الطهان، أصول التخريج ودراسة الأسانيد. رياض، مكتبة الرشد. 1983. ص 18
[14] صحيح البخاري. رقم الحديث 107 / صحيح المسلم، رقم الحديث 4
[15] Muhammad Sa’id Ramadlan al-Buthi, mabahaits al-Kitab wa wa-Sunnah min ‘Ilmi al-Ushul, Damsyik. Hlm17
[16] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Bandung, PT Al-Ma’arif Bandung, 1991, hlm 74
[17] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Syarh Nuhbah al-Fikr fi Mushthalahah Ahli al-Atsar. Dar al-Kutub al-Ilmiah, Bairut.1934 hlm. 32
[18] Ibid hlm 36
[19]A.W.Munawir, Kamus al-munawir arab-indonesia,Yogyakarta:Pustaka Progresif.hal.764
[20]Muhammad Thohan, Op.Cit,Hal: 30
[21]Ibid. Hal:30
[22] Shahih Bukhari 723
[23] A, Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah Hadits, Bandung, Penerbit Diponegoro. 2007. Hlm 29
[24]Hadits Hasan Lidzatihi adalah hadits yang mempunyai semua syarat hadits shahih akan tetapi memiliki hafalan yang kurang. Akan dibahas pada penjelasan selanjutnya.
[25]Hasbi Ash-Shiddiqie. Ulumul Hadts . Hlm 62
[26]Sunan Tirmidzi. No : 22
[27] Tahdzibut al-Tahdzib 9:375
[28] Shahih Bukhari. No. 6699
[29] Namanya Muhammad bin ‘Abdirrahman
[30] Namanya ‘Isa
[31] Namanya ‘Abdirrahman bin Abi Laila
[32] Khulashah Tahdzibul al-Kamal 287
[33] Nur ad-Din ‘Atar, Manhaj an-Naqdi fi fi ‘Ulumi al-hadits. Dar al-Kutub al-Ilmiah. Bairut.1979 hlm 286
[34] Muhammad Jamal ad-Din al-Qasimi, Qawa’id al-Tahdits min Funun Mushthakah al-Hadits. Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut. 1979. Hlm108
[35] Sunan Tirmidzi, no 125
[36] A. Qadir Hasan . Op cit. Hlm 91-106
[37] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits. Jakarta. Gaya Media Pratama, 2007 hlm 305
[38] Op cit hlm 120


Sumber:
https://shoddloth2005.wordpress.com/2013/12/04/fungsi-sanad-dalam-dokumentasi-hadis/

Tag #Isnad dan dokumentasi hadits.pdf .doc

0 komentar:

Posting Komentar