MAKALAH
DEMOKRASI
DALAM ISLAM
Penyusun:
Muhammad Wahyu
Fajar
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum.Wr.Wb
Puji syukur saya (penyusun)
panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat-Nya yang berlimpah, kami dapat
menyusun makalah ini dengan baik sesuai dengan kemampuan kami. Tidak lupa pula
kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan
kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Untuk selanjutnya kami mengharapkan
semoga makalah ini dapat menambah wawasan bagi kami sendiri dan juga mahasiswa
yang sedang menempuh materi ini.
Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini
jauh dari sempurna, untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik agar makalah
ini mendekati sempurna, kami sadar bahwa kesempurnaan hanya milik NYA.
Akhir kata, semoga makalah yang
kami susun ini berguna bagi kita semua.
Amin-amin yarabbal ‘alamin.
Wassalamualaikum.Wr.Wb
Hormat kami,
Tim Makalah
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam pembuatan makalah ini kami mengangkat beberapa rumusan
masalah diantaranya:
1) Bagaimana Demokrasi menurut Islam?
Tujuan penelitian
Dari rumusan masalah diatas kami memiliki beberapa tujuan diantaranya sebagai berikut:
1) Mengetahui Bagaimana Demokrasi menurut pandangan Islam.
Dari rumusan masalah diatas kami memiliki beberapa tujuan diantaranya sebagai berikut:
1) Mengetahui Bagaimana Demokrasi menurut pandangan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Demokrasi dalam Pandangan Islam
Di tengah-tengah masyarakat
kaum
muslimin
telah
lama muncul sistem kehidupan yang bernama demokrasi
dan telah diadopsi
oleh hampir
seluruh negeri-negeri Islam dan masyarakatnya. Sebagian menerimanya
secara
total tanpa reserve, sebagian mencoba mengkompromikannya dengan Syariat
Islam, dan sebagian kecil lagi menolaknya mentah-mentah dan hanya
menginginkan Syariat Islam
saja
yang diterapkan
sebagai sistem
kehidupannya.
Respon
umat Islam terhadap demokrasi
tidak lepas dari cara pandang
(episteme) umat Islam
terhadap
kedudukan Nabi Muhammad Saw.
dalam aktivitas
politik sebagai diperdebatkan para pemikir
Muslim sejak
Islam
bersinggungan (dan merasa ketinggalan dari) dengan Barat. Secara umum,
cara pandang
umat
Islam terhadap
Islam dan
respon mereka
terhadap demokrasi dapat dikelompokkan menjadi tiga:27
Pertama, sebagian pemikir Muslim berpendapat
dan
berkeyakinan bahwa Islam yang
dibawa oleh Nabi Muhammad
Saw. adalah agama yang sempurna, lengkap, mengurus semua aspek kehidupan:
ritual, sosial, ekonomi
dan
politik. Bagi yang
berpendapat
demikian, Islam bukanlah
agama (sebagai
dipahami
Barat) yang hanya
mengatur
hubungan manusia dengan
Tuhan, tetapi Islam adalah agama yang
lengkap yang didalamnya terhadap sistem kenegaraan, orang Islam tidak perlu “meniru demokrasi”
dan
ketatanegaraan
Eropa. Rujukan
pemikiran
politik Islam adalah sistem kenegaraan yang dilaksanakan
oleh Nabi Muhammad Saw. dan al-Khulafa’ al-Rasyidun. Diantara pemikir yang berpendapat demikian adalah Hasan al-Banna, Sayyid
Quthb, Rasyid Ridha.28
Demokrasi menurut kelompok ini adalah sesuatu yang harus ditolak, karena merupakan
sesuatu yang
impossible, dan ancaman yang perlu
diwaspadai. Beberapa ahli dan ulama
yang berpandangan demikian antara lain, Syaikh Fadhallah
Nuri dan Thabathabai dari Iran, Sayyid Quthb
dan
al- Sya’rawi
dari Mesir, serta Ali Benhadj dari Aljazair. Mereka berpendapat
bahwa dalam Islam tidak ada tempat yang
layak bagi demokrasi, yang
karenanya Islam dan demokrasi tidak bisa dipadukan.29
27Jaih Mubarok, Fiqh
Siyasah,
StudiTentang Ijtihad
dan
Fatwa
Politik di
Indonesia,
Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005, hlm. 50.
28 Ibid, hlm. 51.
29 Sukron Kamil, loc. cit,hlm. 47.
Bagi Syekh
Fadhallah Nuri, satu kunci gagasan demokrasi, yaitu persamaan semua warga negara, adalah impossible, dalam Islam. Perbedaan
luar biasa yang
tidak mungkin
dihindari pasti terjadi. Misalnya, antar yang beriman
dengan
yang tidak
beriman,
kaya-miskin, dan faqih (ahli hukum
Islam) dengan pengikutnya. Selain itu ia juga menolak legislasi oleh manusia. Islam tidak memiliki kekurangan yang memerkulan penyempurnaan.
Dalam Islam tidak ada seorang
pun yang di izinkan mengatur hukum. Paham konstitusional sebagai bagian dari demokrasi, karenanya, bertentangan dengan
Islam.30
Menurut Ali Benhadj, seorang pemimpin muda FIS (Front Islamique
du salut) di Aljazair, demokrasi adalah sebuah konsep Yudeo-Kristen yang harus di ganti dengan prinsip-prinsip kepemimpinan yang inhern dalam Islam. Bagi Benhadj yang cenderung dogmatis dan militan ini, demokrasi tidak lebih dari alat Barat semata. Demokrasi hanya baik jika melahirkan
pemerintahan
yang pro Barat.31
Sedangkan menurut Thabathabai, seorang mufasir dan filosuf Iran
terkenal, Islam dan demokrasi
tidak bisa di rujukan karena prinsip mayoritasnya. Setiap agama besar, dalam kelahiranya
selalu bertentangan,
bukan menyesuaikan dengan
kehendak
mayoritas. Karena
itu, katanya, salahlah menganggap
tuntutan mayoritas selalu adil dan mengikat.32Makhluk
manusia sering tidak menyukai apa
yang
adil
dan benar seperti
yang
30 John L. Esposito, Islam dan Politik, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, hlm. 118.
31 John L. Esposito dan John. O Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim Problem dan
Prospek,Terj. Rahman Astuti, dari Islam and Democracy,
Bandung: Mizan, 1999, hlm. 214.
32Hamid Enayat,
Reaksi
Politik
Sunni dan
Syi’ah, Pemikiran Politik
Islam Modern
Menghaapi Abad 20, Bandung: Pustaka, 1988, hlm. 211.
disebutkan dalam surat Al-
mukminun ayat 70-71 yang berbunyi sebagai
berikut:
Artinya
: Atau (apakah patut) mereka berkata: "Padanya (Muhammad) ada penyakit gila." sebenarnya Dia telah membawa kebenaran kepada
mereka, dan kebanyakan mereka benci kepada kebenaran itu,
andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti
binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan
(Al
Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu .33
Kedua, sebagian pemikir Muslim berpendapat bahwa tugas Nabi Muhammad Saw, hanyalah sebagai pembawa risalah
keagamaan,
yang
bertugas mengajak manusia agar berjalan di atas kebenaran
dan
budi pekerti
yang luhur; meskipun demikian, mereka berkeyakinan bahwa Islam
menghendaki terwujudnya keserasiaan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi.
Mereka berkeyakinan
bahwa Nabi Muhammad Saw, bukanlah pemimpin
politik tetapi hanya sebagai pemimpin agama. Diantara
pemikir yang berpendapat demikian adalah Ali Abd al-Razik dan Thaha Husen.
Ali Abd al-Raziq dalam bukunya al-Islam wa Ushul al-Hukum: Bahts fi al-Khilafat wa al-Hukumat,
ia menolak kedudukan Nabi Muhammad Saw,
sebagai
kepala negara,
Ali-Abdul
al-Raziq membuat pertanyaan
sebagai
berikut: apakah Nabi Muhammad
Saw.
Itu
sebagai pemegang kekuasaan
33Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya,
Jakarta: PT.Toha
Putra, hlm. 482.
politik dan kepala pemerintahan yang sekaligus juga seoarang rosul
yang
membawa risalah keagamaan atau bukan.34
Ali abd al-Raziq tidak menolak tesis yang menyatakan bahwa Nabi
Muhammmad Saw. Adalah pemimpin secara sosiologis dan agama. Akan
tetapi yang
ia tolak adalah tesis yang
menyatakan bahwa Nabi Muhammad
adalah kepala negara. Tesis ini ditolak karena kepala negara adalah
kepemimpinan duniawi yang disatukan oleh ikatan politik, sedangkan kepemimpinan
Nabi Saw. Adalah ikatan agama yang berdimensi duniawi dan
ukhrawi. Ketika Nabi Saw. Bertindak duniawi melakukan perang, damai,
memperlakukan tawanan, menumpas pemberontak adalah tindkan yang merupakan media dakwah untuk menyukseskan misi risalahnya, bukan karena
kedudukan sebagai pemimpin politik.35
Kelompok kedua ini menyetujui adanya prinsip-prinsip
demokrasi dalam Islam tetapi di lain pihak mengakui adanya perbedaan di antara
keduanya,
berangkat dari doktrin kedaulatan Tuhan dalam bentuk syari’ah (hukum Tuhan) yang membatasi kedaulatan rakyat. Al-Maududi
sebagai salah satu pelopornya menyatakan
bahwa ada kemiripan
wawasan yang hampir
sama, seperti konsep-konsep yang ada di Dalam Islam sebagaimana dijelaskan
sebagai berikut:
1. Keadilan yang diterangkan dalam surat Asy-Syura ayat ke 15,
34Jaih Mubarok, Op. cit, hlm. 52.
35Ali ‘Abd. Al-Raziq dengan
gagasannya
yang
menolak bahwa
Nabi saw.
sebagai pemimpin politik, akhirnya dikucilkan oleh dewan ulama al-azhar dan tidak boleh memangku
jabatan apapun dalam pemerintahan. Lihat: Ali ‘Abd. Al-Raziq, “Kekhilafahan dan Dasar-Dasar
Kekuasaan”, dalam John J. Donohue dan
John L.
Esposito
(Ed.), Islam
dan
Pembaharuan:
Ensiklopedi Masalah-Masalah, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 1994, hlm. 39.
Artinya : Maka karena itu
serulah (mereka
kepada agama
ini) dan tetaplah sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan Katakanlah: "Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya
Berlaku
adil
diantara kamu. Allah-lah
Tuhan Kami dan Tuhan kamu. Bagi Kami amal-amal Kami dan
bagi
kamu
amal-amal
kamu.
tidak
ada pertengkaran antara Kami dan kamu, Allah mengumpulkan
antara kita dan kepada-
Nyalah kembali (kita)". .36
2. Persamaan dalam Al-qur’an surat Al-Hujarat ayat ke 13
Artinya
: Hai
manusia,
Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa
-
bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi
Maha Mengenal. .37
3.
Akuntabilitas pemerintahan diterangkan dalam Al-qu’ran surat An-Nisa’
ayat 58.
36 Departeman Agama, loc.cit, hlm. 695.
37 Ibid, hlm.745.
Artinya
: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya
kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
.38
4. Musyawarah diterangkan dalam surat Asy Syura ayat 38
Artinya : Dan
(bagi)
orang-orang
yang menerima (mematuhi)
seruan Tuhannya
dan mendirikan
shalat, sedang
urusan
mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. .39
5. Tujuan negara yang diterangkan dalam Al-qu’ran surat Al-Hajj ayat ke 4
Artinya: Yang telah ditetapkan terhadap syaitan itu, bahwa Barangsiapa
yang berkawan dengan Dia, tentu Dia akan menyesatkannya, dan membawanya ke azab neraka. .40
6. Hak-hak oposisi diterangkan dalam surat Al- Ahzab ayat ke 70
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar,
.41
38Ibid, hlm. 113.
39Ibid, hlm. 699
40Ibid, hlm. 462.
41Ibid, hlm. 604
Tetapi perbedaanya terletak pada kenyataan bahwa kalau dalam sistem
Barat, suatu negara demokratis
menikmati hak-hak
kedaulatan mutlak, maka
dalam demokrasi Islam, kekhalifahan
di tetapkan untuk dibatasi oleh batas-
batas yang telah di gariskan hukum
illahi.42
Rasyid Al-Ghanoushi
dan Abdul Fattah Morou, kedua tokoh Gerakan
Kecenderungan Islam (Movement
de Tendence Islamique/ MTI), mereka mengkombinasikan
ajaran
Islam dengan demokrasi. Bagi Ganaoshi, demokrasi , kedaulatan
rakyat, dan peran negara (“negara
bukan berasal dari
Tuhan melainkan dari rakyat . . . negara harus melayani kepentingan
kaum Muslim”), pemilihan umum, multi partai, dan undang-undang adalah bagian pemikiran
baru Islam yang akar dan legitimasinya di dapatkan dari interprestasi atau reinterpretasi yang segar dari sumber-sumber Islam.
Sedangkan
bagi Morou, “hukum berasal dari Tuhan tetapi kedaulatan adalah
dari rakyat”. Ia membedakan antara prinsip-prinsip umum Al-Qur’an yang mampu bertahan dan legislasi manusia dalam batasan prinsip-prinsip tersebut
yang menjadi tanggung jawab rakyat.43
Ketiga, kelompok yang mencoba mencari jalan tengah (sintesis)
antara
dua kubu pemikiran sebelumnya.
Mereka menolak pendapat
pertama yang
mengatakan bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang
telah mengatur segala hal. Juga mereka menolak pendapat yang kedua
mengenai peran Nabi Muhammad SAW, yang hanya memiliki tugas risalah (tanpa tugas politik).
42 Sukron Kamil, loc. cit, hlm. 49.
43 Ibid.
Menurut
Muh. Zuhri, diantara pemikir Muslim yang moderat ini adalah
Muhammad Husin Haikal dan Fazlur Rahman. Muslim yang
memiliki
pandangan sintesis mengenai agama, memiliki sikap akomodatif-kritis terhadap demokrasi
yang berasal dari dan dipraktekkan di Barat.44
Menurut Huwaydi, salah
satu
tokoh yang
melakukan sintesa
yang
viable antra Islam dan demokrasi yang yaris sempurna.
Bagi dia, esensi demokrasi adalah pemilu yang jujur, adil, dan kompetitif, serta akuntabilitas penguasa karena jika tidak akan diturunkan
dari jabatanya, dengan kelembagaan seperti penerapan metode mayoritas, multi partai, penghormatan hak-hak minoritas, kebebasan oposisi dan pres, independensi kehakiman, dan lain-lain. Beberapa alasan
yang dikemukakannya, yaitu:
Pertama, beberapa Hadits menunjukkan bahwa Islam menghendaki
pemerintahan yang disetujui rakyatnya.45 Dalam Hadits Riwayat Ibnu Majah
disebutkan:
Artinya : Dari Abdulloh bin Amr, bahwa Rosululloh saw pernah berkata, “ Ada tiga golongan yang
allah tidak bakal menerima shalat mereka, yaitu: orang yang mengimami suatu kaum, sedangkan
kaum itu
tidak menyukainya, orang yang mendatangi shalat dengan
44 Lihat: Jaih Mubarok, loc.cit, hlm. 56.
45Fahmi Huwaidi, Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat Madani, Terj. M. Abd. Ghofar dalam Al-Islam wa Al-Dimuqratiyah,
Bandung: Mizan, 1996, hlm. 193-198.
terlambat yaitu, ia mendatangi shalat sesudah habis waktunya dan
orang yang memperhamba budak yang sudah dimserdekakan46
Kedua, penolakan Islam terhadap kediktatoran. Banyak ayat Al-Qur’an yang menunjukkan hal itu. Diantaranya dalam QS. Al-Baqarah: 258 yaitu:
Artinya : Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan).
ketika Ibrahim mengatakan:
"Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan," orang itu berkata: "Saya
dapat menghidupkan dan
mematikan".
Ibrahim
berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur,
Maka terbitkanlah Dia dari barat," lalu terdiamlah orang kafir itu;
dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
47
Ketiga, dalam Islam, pemilu merupakan
kesaksian
rakyat dewasa bagi
kelayakan seorang kandidat dan mereka tentu saja, seperti yang diperintahkan
al-Qur’an, mesti tidak menyembunyikan persaksiannya, mesti bersikap adil
dan
jujur serta tidak menjadi saksi-saksi palsu. Jika tidak, mereka akan
diperintah oleh seorang yang tidak memiliki kompetensi. Dan, jika pemilu
sebagai lembaga kontrol rakyat terhadap penguasa, dimana kelembagaan itu
46Imam Muhamad Asy Syaukani, Nailul Autar Syarh Muntaqa Al-Akhbar min
Ahadits Sayyid Al-Akhyar,
Trj. Hadi Mulyo, Katur Suhardi, “Terjemah Nailul Autar “, Semarang : Asy Syifa, 1994, hlm. 408.
47Departemen Agama, loc.cit hlm. 53
berfungsi sebagai
mekanisme untuk menurunkan penguasa
yang tidak
kredibel dan tidak bertanggungjawab.
Keempat, demokrasi merupakan
sebuah upaya mengembalikan sistem
kekhilafahan Khulafa’urrasyidin
yang memberikan hak kebebasan kepada
rakyat yang hilang ketika beralihnya sistem kekuasaan Islam kepada sistem
kerajaan di tangan Mu’awiyah, pendiri Umayyah, sesuatu yang pertama
menimpa kaum muslimin dalam sejarah.
Kelima, negara Islam adalah negara keadilan dan persamaan manusia
di depan hukum. Ada banyak cerita yang memperlihatkan hal itu.
Keenam, seperti dirumuskan oleh teoritis-teoritis politik islam. Semisal al-Mawardi,
imamah
(kepemimpinan politik) adalah kontrak sosial yang riil,
yang karenanya, kata Ibn Hazm, jika seorang
penguasa tidak mau nemerima teguran boleh diturunkan dari kekuasaannya dan diganti dengan yang lain. .48
B. Demokrasi Menurut Pandangan Intelektul Islam Indonesia
Para pemikir dan intelektual muslim Indonesia
melihat demokrasi
sebagai sesuatu sistem yang harus dijalankan dalam kehidupan sosial dan politik. Muhammad Natsir misalnya mendukung
demokrasi secara sebagaian.
Menurutnya Islam adalah sistem demokratis,
dalam pengertian Islam menolak nepotisme, absolutisme dan otoritarianisme.
Namun bukan berarti bahwa semua hal dalam
pemerintahan Islam
diputuskan melalui Majlis Syura. Keputusan demokratis diimplementasikan
48Fahmi Huwaidi, Op.cit, hlm. 201.
hanya
pada masalah-masalah
yang tidak
disebutkan secara
spesifik dalam
syariah, sehingga tidak ada keputusan demokratis, misalnya pada larangan judi
dan
zina menurut Natsir, Islam tidak harus 100 % demokrasi dan tidak harus
100 % otokrasi. Islam
adalah
sintesis
antara
demokrasi
dan otokrasi.
Meskipun Natsir dikenal sebagai seorang demokrat sejati dan pendukung demokrasi, dia tetap mendukung kedaulatan Tuhan. Artinya Natsir menerima prinsip-prinsip
demokrasi secara sebagian. Ia mendukung prinsip-prinsip demokrasi, selagi tidak bertentangan dengan hukum Tuhan.49
Ismail
Suny
adalah salah
satu
dari mereka yang mendukung
ide
kedaulatan Tuhan. Menurutnya, kedaulatan yang hakiki berada pada Tuhan, sementara otoritas rakyat adalah kepercayaan suci yang
harus berada dalam
batas-batas kehendak Tuhan. Sejalan dengan Suny, Abdoerroef, juga memperkenalkan ide kedaulatan Tuhan,
dan kedaulatan rakyat hanya berfungsi sebagai implementasi, dari kedaulatan Tuhan.
Namun demikian Abdoerraoef
tidak sependapat dengan Suny bahwa kedaulatan Tuhan, kedaulatan rakyat, dan kedaulatan negara dapat
dikumpulkan bersama-sama
dan mempuyai status
sama. Dia
juga
tidak sepakat bahwa kekuasaan di pegang oleh Tuhan, sebab hal ini menjadi sulit
ketika dua negara Islam yang berlandaskan teokrasi saling bertentangan, maka tidak mungkin memutuskan mana
yang harus didukung, karena keduanya
berasal dari Tuhan. Berdasrkan hal ini, ia mendukung bahwa sistem politik
Islam adalah sistem
yang
sekarang
disebut
demokrasi,
yang
mencakup
49Muhammad Natsir,
Islam dan
Demokrasi,
dalam
Mencari Demokrasi, Gagasan
dan
Pemikiran, Kholid O. Santosa(Ed) Bandung: Sega Arsy, Cet. 2, 2009, hlm. 120-121.
pemerintahan itu sendiri, partisipasi politik anggotanya, kebebasan spiritual,
dan
persamaan di muka hukum.50
Z. A. Ahmad berpendapat lebih progresif
ketimbang Natsir. Ketika Natsir mengajukan
kedaulatan Tuhan, maka Ahmad menerima kedaulatan
rakyat. Di negara Islam, rakyat mempuyai dua hak, hak untuk
menyusun undang-undang dan hak
untuk memilih kepala negara. 51
Pemikiran ini
di
dasarkan
pada ayat
al-Quran (Q.
S. 3:159)
yang
Artinya berbunyi:
Maka disebabkan rahmat dari
Allah-lah kamu Berlaku
lemah lembut
terhadap
mereka.
Sekiranya
kamu bersikap keras
lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu.
karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, Maka bertawakkallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.
Sedangkan Jalaludin Rahmat memandang demokrasi sebagai istilah
yang mempuyai pengertian yang berbeda-beda, dia mendukung
demokrasi
sebagai
konsep
bagi sistem politik
dan hak
asasi
manusia,
yakni
hak kebebasan berbicara, hak mengontrol kekuasaan, dan hak persamaan dimuka
hukum. Namun begitu, sistem politik Islam tidak dapat dibandingkan dengan
50 Aden Widjan SZ, dkk, Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Safaria, Insania
Press, 2007, hlm.200.
51Z. A. Ahmad, Republik Islam Demokratis, Deli: Pustaka Maju, 1951, hlm. 36
sistem demokrasi dalam pengertian berikut; pertama,
demokrasi adalah sistim
politik sekuler, yang kedudukannya berada di tangan rakyat, sedangkan
dalam Islam, kedaulatan
berada di tangan Tuhan. Kedua, dalam praktik suara rakyat dapat dimanipulasi. Islam adalah sistem yang unik, yang
mengembangkan prinsip-prinsip syura dan
hak
asasi manusia.52
Sebagian besar intelektual muslim Indonesia tidak mempuyai
persoalan
dengan gagasan kedaulatan Tuhan, tetapi konsep
kedaulatan rakyat tidak pernah
di artikan untuk
menolak kedaulatan Tuhan. Secara historis kedaulatan rakyat untuk menolak kedaulatan monarki, yang
ketika itu mempuyai kekuasaan absolut.
Ahmad Syafii Maariif mengktitik
pendapat- pendapat Maududi tentang kedaulatan Tuhan yang membingungkan.
Menurut Maarif, ide tentang kedaulatan Tuhan sangat mengkawatirkan. Artinya, jika
Tuhan kepala negara bagi umat Islam, maka apa yang
akan terjadi jika
negaranya runtuh dan jatuh ditangan kekuasaan asing, siapa yang akan bertanggung jawab?.53
Sementara itu Nurcholish Madjid menyadari bahwa nilai-nilai Islam dan nilai-nilai demokrasi adalah bertentangan,
tetapi dia melihat kesesuaian antara Islam dan demokrasi. Madjid juga mendasarkan
pendapatnya pada praktik-praktik
al-Khulafâ al-Rasyidûn.
Mengutip Robert Bellah, dia mengatakan bahwa selama periode
al-Khulafâ
al-Rasyidûn, Islam
menampilkan suatu bentuk pemerintahan yang yang modern, dalam arti bahwa
52 Jalaludin Rahamat, “Islam dan Demokrasi”, dalam Magnis-Suseno dkk, Agama dan
Demokrasi, Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, 1992, hlm. 40.
53 Ahmad Syafii Maarif, Islam Politik dan Demokrasi di Indonesia, dalam Aspirasi Umat
Islam Indonesia, Jakarta: Leppenas, 1983, hlm. 54.
ada partisipasi politik yang
universal, dan sistem rekrutmen kepemimpinan didasarkan pada bakat dan kecakapan pribadi, tidak didasarkan
pada
keistimewaan yang diperoleh melalui hubungan
keluarga. Hal ini dianggap sebagai gagasan yang sangat modern untuk saat itu, yang kegagalannya
dapat dijelaskan dengan penggantian sistem monarki Umayyah.54
Sementara
Abdurrahman Wahid, adalah satu-satunya intelektual
muslim yang menerima dan mendukung demokrasi serta sepenuhnya
mengakui kedaulatan rakyat dalam kontek kehidupan berbangsa. Menurutnya
kehendak rakyat harus dikontrol
oleh konstitusi negara. Sementara Islam (syariah)
harus difungsikan
sebagai faktor
komplementer, terhadap komponen-komponen
lain dalam kehidupan berbangsa. Implementasi Islam adalah urusan pribadi, yag dapat secara optimal berfungsi
sebagai etika sosial dan kekuatan moral.55
Dari paparan diatas, maka dapat ditegaskan
bahwa secara subtansial,
para intelektual muslim di Indonesia,
tidak mempermasalahkan antara Islam
dan demokrasi, tampaknya menerima
unsur-unsur demokrasi, hannya
saja
porsi dukungannya
yang berbeda-beda.
Ada
yang
mendukung demokrasi tanpa syarat, dan ada yang dengan syarat, yaitu tidak bertentangan denagn
kehendak Tuhan.
Problem
utama dalam membandingkan demokrasi Islam dengan demokrasi liberal, adalah bahwa kehendak rakyat dapat
diimplementasikan sepenuhnya, sementara dalam demokrasi Islam, kehendak
54 Nurcholis Madjid, Iman dan Tatanilai
Rabbaniyah dalam Islam Doktrin dan Peradaban,
Jakarta: Paramadina, 2008, hlm. 13.
55 Aden Widjan SZ, dkk, Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Safaria, Insania
Press, 2007, hlm.203.
rakyat hanya dapat diimplementasikan
selama tidak bertentangan
dengan printah-printah Tuhan
Secara
teologis, penerimaan para intelektual muslim terhadap
demokrasi di dasarkan pada ajaran-ajaran Al-Qur’an dan praktik historis masa
Nabi
dan Khulafa Al- Rasyidun. Seperti intelektual lain yang mendukung
demokrasi, mereka juga mendasarkan pendapatnya pada Al-Qur’an
(3:159)
“dan musyawarahkan dengan mereka dalam persoalan itu” dan Al-Qur’an
(42:38), “yang memutuskan perkara mereka dengan musyawarah”56
BAB IV
PENUTUP
Demikian makalah ini kami tulis, semoga bisa
memberi manfaat dan dorongan untuk kita dalam mengembangkan rasa demokrasi. Mohon
maaf jika
banyak kesalahan dalam penulisan. Terimakasih.
0 komentar:
Posting Komentar