MAKALAH
KEDUDUKAN,
FUNGSI HADIS, UNSUR DAN PENGERTIAN ILMU MUSTHALAH HADIS
Penyusun:
Tri
Muri - 2014
Editor:
Tim
Makalah-makalah.com
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum.Wr.Wb
Puji syukur saya (penyusun)
panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat-Nya yang berlimpah, kami dapat
menyusun makalah ini dengan baik sesuai dengan kemampuan kami. Tidak lupa pula
kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan
kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Untuk selanjutnya kami
mengharapkan semoga makalah ini dapat menambah wawasan bagi kami sendiri dan
juga mahasiswa yang sedang menempuh materi ini.
Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini
jauh dari sempurna, untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik agar makalah
ini mendekati sempurna, kami sadar bahwa kesempurnaan hanya milik NYA.
Akhir kata, semoga makalah yang kami susun ini berguna bagi kita
semua.
Amin-amin yarabbal ‘alamin.
Wassalamualaikum.Wr.Wb
Hormat kami,
Tim Makalah
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Islam sebagai agama yang sempurna
yang mengatur disegala aspek kehidupan seorang anak manusia. Selain Al-Qur’an,
umat Islam juga memiliki tuntunan lain sebagai pedoman dalam menjalani
kehidupan di dunia ini, yaitu As-Sunnah (ucapan, perbuatan dan sikap) yang
telah diteladani oleh Rasulullah SAW.
Berangkat dari penjelasan di atas,
maka sangatlah penting bagi umat Islam untuk memahami dan mempelajari hadits
(As-Sunnah) agar dapat menentukan mana hadits yang dapat menjadi landasan hukum
dalam berbagai persoalan yang dihadapi umat manusia.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ilmu hadits ?
2. Apa saja yang menjadi pokok bahasan
dalam ilmu hadits ?
3. Bagaimana pembagian ilmu hadits ?
4. Istilah-istilah dasar dalam ilmu hadits
?
5. Seperti apa klasifikasi hadits itu ?
1.3. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui apa pengertian ilmu hadits.
2. Untuk dapat mengetahui apa saja yang
menjadi pokok bahasan dalam ilmu hadits.
3. Agar mengerti pembagian ilmu hadits.
4. Agar dapat menguasai istilah-istilah
dasar dalam ilmu hadits.
5. Untuk mengetahui klasifikasi hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Ilmu hadits
Ilmu Mustholah adalah suatu ilmu
yang membahas pokok-pokok dan ketentuan-ketentuan dalam suatu Hadits, yang
diketahui dengan ilmu ini keadaan sanad dan matan diterima atau ditolaknya
hadits tersebut.
Ilmu Mustholah bisa juga disebut
Ilmu Hadits, karena dengan mempelajari ilmu ini akan bisa membedakan mana
Hadits Shohih dan mana Hadits Dloif.
Ilmu yang membahas kaidah-kaidah
untuk mengetahui kedudukan sanad dan matan, apakah diterima atau ditolak. Situs
wikipedia menyatakan bahwa makna hadits secara harfiah berarti perkataan atau
percakapan Rasulullah. Dengan demikian ilmu
Al-Hadits adalah ilmu-ilmu tentang perkataan atau percakapan Rasulullah.
Menurut Tengku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, ilmu hadits, yakni ilmu yang berpautan dengan hadits, banyak
ragam macamnya. sedangkan Al-Hadits di kalangan ulama hadits berarti “segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi dari perbuatan, perkataan, taqir, atau
sifat”. Hal ini sejalan dengan pengertian hadits yang dikemukakan dalam buku
Musthalahul hadits yang berarti segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi,
baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan), atau sifat.
2.2. Pokok Bahasan Ilmu Hadits
1. Hadits, Khabar, Atsar, dan Hadits Qudsi
a. Hadits adalah segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir (persetujuan), atau sifat.
b. Khabar semakna dengan hadits,
sehingga memiliki definisi yang sama dengan hadits. Pendapat lain menyatakan
bahwa khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi dan juga kepada
selain beliau. Dengan demikian, definisi khabar lebih umum dan memiliki cakupan
yang lebih luas daripada hadits.
c. Atsar adalah segala sesuatu yang
disandarkan kepada seorang shahabat atau tabi’in. terkadang atsar juga
didefinisikan dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi. Namun
penyebutannya harus diberi taqyid (catatan) bahwa hal itu berasal dari beliau
seperti ucapan.
d. Hadits qudsi adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Nabi SAW. dari Allah SWT. Hadits qudsi disebut juga dengan
hadits Rabbani/Ilahi.
Contohnya adalah: Nabi bersabda
bahwa Allah berfirman;
Artinya; “Aku menurut persangkaan
hamba-Ku terhadap-Ku dan Aku bersamanya ketika dia mengingat-Ku. Jika dia
mengingat-Ku dalam dirinya, Aku mengingatnya dalam diri-Ku. Jika dia
mengingat-Ku di kumpulan orang banyak, Aku mengingatnya di kumpulan orang
banyak yang lebih baik dari mereka.”
Kedudukan Hadits Qudsi adalah antara
Al-Qur’an dan Hadits Nabawi (Perbedaan ketiganya dapat diketahui dari
penisbatan lafadz dan makna). Lafadz dan makna Al-Qur’an Al-Karim dinisbatkan
kepada Allah SWT. Sedangkan hadits nabawi, lafadz dan maknanya dinisbatkan
kepada Nabi. Adapun hadits qudsi, hanya
maknanya saja yang dinisbatkan kepada Allah Ta’ala, bukan lafadznya.
Oleh karena itulah, membaca hadits
qudsi tidak terhitung sebagai ibadah, tidak dapat digunakan sebagai bacaan
dalam shalat, tiada tantangan dari Allah kepada orang kafir untuk menandinginya
dan tidak dinukil secara mutawatir sebagaimana Al-Qur’an. Sehingga Hadits qudsi
ada yang berderajat shahih, dha’if, bahkan maudlu’ (palsu).
2. Isnad, Sanad, Matan, Musnad, Musnid,
Muhaddits, Hafiz, Hujjah dan Hakim
a. Isnad.
Isnad secara etimologi berarti
menyadarkan sesuatu kepada yang lain. Sedangkan menurut istilah, isnad berarti
:
“Mengangkat Hadis kepada yang mengatakannya
(sumbernya), yaitu menjelaskan jalan matan dengan meriwayatkan Hadis secara
musnad”.
Disamping itu, isnad dapat juga
diartikan dengan “menceritakan jalannya matan”.
b. Sanad dan Matan Hadits
Pengertian Sanad dan Matan Hadits
Sanad dari segi bahasa artinya
sandaran, tempat bersandar, yang menjadi sandaran. Sedangkan menurut istilah
ahli hadits, sanad berarti silsilah atau jalan yang menyampaikan kepada matan
hadits.
Contoh :
“Dikabarkan kepada kami oleh Malik yang
menerimanya dari Nafi, yang menerimanya dari Abdullah ibnu Umar bahwa
Rasulullah bersabda: “Janganlah sebagian dari antara kamu membeli barang yang
sedang dibeli oleh sebagian yang lainnya.”
Dalam hadits tersebut dinamakan
sanad adalah:
“Dikabarkan kepada kami oleh Malik
yang menerimanya dari Nafi, yang menerimanya dari Abdullah ibnu Umar bahwa
Rasulullah bersabda.”
Matan dari segi bahasa artinya
membelah, mengeluarkan, mengikat. Sedangkan menurut istilah ahli hadits, matan
yaitu; Perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi yang disebut
sesudah habis disebutkan sanadnya.
Apa yang disebut matan hadits yang
telah kami sebutkan di awal adalah:
“Janganlah sebagian dari antara kamu
membeli barang yang sedang dibeli oleh sebagian yang lainnya.”
Kedudukan Sanad dan Matan Hadits
Para ahli hadits sangat hati-hati
dalam menerima suatu hadits kecuali apabila mengenal dari siapa mereka menerima
setelah benar-benar dapat dipercaya. Pada umumnya riwayat dari golongan sahabat
tidak di syaratkan apa-apa untuk diterima periwayatannya.
c. Musnad
Menurut bahasa Musnad adalah bentuk
isim maf’ul dari kata kerja asnada, berarti sesuatu yang disandarkan kepada
yang lain.
Secara terminologi, musnad
mengandung tiga pengertian:
“Hadis yang bersambung sanad-nya dari perawinya
(dalam contoh sanad di atas adalah Bukhari) sampai kepada akhir sanadnya yang
biasanya adalah Sahabat, dan dalam contoh diatas adalah Anas r.a”.
“Kitab yang menghimpun Hadis-hadis
Nabi SAW. yang diriwayatkan oleh shahabat, seperti Hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Bakar r.a dan lainnya. Contohnya, adalah kitab Musnad
Imam Ahmad”.
“Sebagai mashdar (Mashdar mimi)
mempunyai arti sama dengan sanad”.
d. Musnid
Kata musnid adalah isim fa’il dari
asnada-yusnidu, yang berarti “orang yang menyadarkan sesuatu kepada yang
lainnya”. Sedangkan pengertiannya dalam istilah Ilmu Hadis yaitu:
“Musnid adalah setiap perawi hadis
yang meriwayatkan Hadis dengan menyebutkan sanadnya, apakah ia mempunyai
pengetahuan tentang sanad tersebut, atau tidak mempunyai pengetahuan tentang
sanad tersebut, tetapi hanya sekadar meriwayatkan saja”
Kedudukan sanad dalam hadits sangat
penting, hal ini dikarenakan hadits yang diperoleh/diriwayatkan akan mengikuti
siapa yang meriwayatkannya. Dengan sanad suatu periwayatan hadits dapat
diketahui mana yang dapat diterima atau ditolak dan mana hadits yang sahih atau
tidak, untuk diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukum
Islam.
e. Muhaddits
Yaitu orang yang banyak menghafal
hadits serta mengetahui sifat-sifat orang yang meriwayatkan tentang 'adil dan
kecacatannya.
f. Hafiz
Yaitu orang yang menghafal sebanyak
100,000 hadits dengan isnadnya.
g. Hujjah
Yaitu orang yang menghafal sebanyak
300,000 hadits dengan isnadnya.
h. Hakim
Yaitu orang yang meliputi 'ilmunya
dengan urusannya hadits.
2.3. Pembagian Ilmu hadits
Secara garis besar ilmu-ilmu hadits
dapat dibagi menjadi dua, yaitu ilmu hadits riwayat (riwayah) dan ilmu hadits
dirayat (dirayah).
a. Ilmu hadits riwayah ialah ilmu
yang membahas perkembangan hadis kepada Sahiburillah, Nabi Muhammad dari segi
kelakuan para perawinya, mengenai kekuatan hapalan dan keadilan mereka dan dari
segi keadaan sanad. Ilmu hadits riwayah ini berkisar pada bagaimana cara-cara
penukilan hadis yang dilakukan oleh para ahli hadits, bagaimana cara
menyampaikan kepada orang lain dan membukukan hadis dalam suatu kitab.
b. Ilmu Hadits dirayat ialah
pembahasan masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan yang diriwayatkan, untuk
mengetahui apakah bisa diterima atau ditolak. Atau Ilmu Ushulur Riwayah dan
disebut juga dengan Ilmu Musthalah Hadits.
2.4. Istilah-Istilah Dasar Dalam
Ilmu Hadits
a. Al jarhu wa ta’dil: Pernyataan
adanya cela dan cacat, dan per-nyataan adanya “al-Adalah” dan “hafalan yang
bagus” pada seorang rawi hadits.
b. At Ta’dil: Pernyataan adanya
“al-Adalah” pada diri seorang rawi.
c. Al Jarhu: Celaan yang dialamatkan
pada rawi hadits yang dapat mengganggu (atau bahkan meng-hilangkan) bobot
predikat “al-Adalah” dan “hafalan yang bagus”, dari dirinya.
d. Tsiqah: Kredibel, di mana pada
diri seorang rawi ter-kumpul sifat al-Adalah dan adh-Dhabt (hafalan yang
bagus).
e. Rawi La Ba`sa Bihi: Rawi yang
masuk dalam kategori tsiqah.
f. Jayyid: Baik
g. Layyin: Lemah.
h. Majhul: Rawi yang tidak
diriwayatkan darinya kecuali oleh seorang.
i. Mubham: Rawi yang tidak diketahui
nama (identitas)nya.
j. Mudallis: Rawi yangi melakukan
tadlis.
k. Rawi Mastur: Sama dengan Majhul
al-Hal (Rawi yang tidak diketahui jati dirinya).
l. Perawi Matruk: Perawi yang
dituduh berdusta, atau perawi yang banyak melakukan kekeliruan, sehingga
periwayatanya bertentangan dengan periwayatan perawi yang tsiqah. Atau perawi
yang sering meriwayatkan hadits-hadits yang tidak dikenal (gharib) dari perawi
yang terkenal tsiqah.
m. Rawi Mudhtharib: Rawi yang
menyampaikan riwayat secara tidak akurat, di mana riwayat yang disam-paikannya
kepada rawi-rawi di bawahnya berbeda antara yang satu dengan lainnya, yang
menyebabkan tidak dapat ditarjih; riwayat siapa yang mahfuzh (terjaga).
n. Rawi Mukhtalith: Rawi yang
akalnya terganggu, yang menye-babkan hafalannya menjadi campur aduk dan ucapannya
menjadi tidak teratur.
o. Rawi yang tidak dijadikan sebagai
hujjah : Rawi yang haditsnya diriwayatkan dan ditulis tapi haditsnya tersebut
tidak bisa dijadikan sebagai dalil dan hujjah.
p. Saqith: Tidak berharga karena
terlalu lemah (parahnya illat yang ada di dalamnya).
q. Tadh’if: Pernyataan bahwa hadits
atau rawi bersangkutan dha’if (lemah).
r. Tahqiq: Penelitian ilmiah secara
seksama tentang suatu hadits, sehingga mencapai kebenaran yang paling tepat.
s. Tahsin: Pernyataan bahwa hadits
bersangkutan ada-lah hasan.
t. Ta’liq: Komentar, atau penjelasan
terhadap suatu potongan kalimat, derajat hadits dan sebagainya yang biasanya
berbentuk catatan kaki.
u. Takhrij: Mengeluarkan suatu
hadits dari sumber-sum-bernya, berikut memberikan hukum atasnya; shahih atau
dhaif.
v. Syahid: Hadits yang para rawinya
ikut serta meriwa-yatkannya bersama para rawi suatu hadits, dari segi lafazh
dan makna, atau makna saja; dari sahabat yang berbeda.
w. Syawahid: Hadits-hadits
pendukung, jamak dari kata syahid. Haditsnya layak dalam kapasitas syawahid,
artinya, dapat diterima apabila ada hadits lain yang memperkuatnya, atau
sebagai yang me-nguatkan hadits lain yang sederajat dengannya.
x. Mutaba’ah: Hadits yang para
rawinya ikut serta meriwayatkannya bersama para rawi suatu hadits gharib, dari
segi lafazh dan makna, atau makna saja; dari seorang sahabat yang sama.
2.5. Klasifikasi Hadits
1. Hadits Qudsi
a. Pengertian Hadis Qudsi
Secara terminologi hadis qudsi
adalah hadits yang diriwayatkan kepada kita dari Nabi SAW yang disandarkan oleh
beliau kepada Allah SWT. Atau setiap hadits yang disandarkan Rasulullah SAW.
perkataannya kepada Allah Azza wa Jalla
Definisi tersebut menjelaskan bahwa
hadits Qudsi itu adalah perkataan yang bersumber dari Rasulullah SAW, namun
disandarkan beliau kepada Allah SWT. tetapi bukanlah Al-Quran.
b. Perbedaan antara Hadits Qudsi dan
al-Quran
Antara al-Quran dan Hadits Qudsi
terdapat beberapa perbedaan, yaitu :
Al-Quran lafaz dan maknanya
berasal dari Allah SWT. Sedangkan hadis Qudsi maknanya berasal dari Allah SWT,
sementara lafaznya dari Rasulullah SAW.
Al-Quran hukum membacanya adalah
ibadah, sedangkan hadis Qudsi membacanya tidak dihukumi ibadah.
Periwayatan dan keberadaan
al-Quran disyaratkan harus mutawatir, sementra hadis Qudsi periwayatannya tidak
disyaratkan mutawatir.
Al-Quran adalah mukjizat dan
terpelihara dari terjadinya perubahan dan pertukaran serta tidak boleh
diriwayatkan secara makna. Sedangkan hadits Qudsi bukanlah mukjizat, dan lafaz
serta susunan kalimatnya bisa saja berubah, karena dimungkinkan untuk diriwayatkan
secara makna.
Al-Quran dibaca di dalam shalat
sedangkan hadits qudsi tidak.
c. Perbedaan antara Hadits Qudsi dengan
Hadits Nabawi.
Berdasarkan pengertian dan kriteria
yang dimiliki hadits Qudsi, terdapat perbedaan antara hadis Qudsi dan hadits
Nabawi, yaitu; bahwa Hadits Qudsi, nisbah atau pebangsaannya adalah kepada
Allah SWT, dan Rasulullah berfungsi sebagai yang menceritakan atau
meriwayatkannya dari Allah SWT. Sedangkan Hadis Nabawi, nisbah atau
pebangsaannya adalah kepada Nabi SAW dan sekaligus peiwayatannya adalah dari
beliau.
2. Hadits Marfu'
a. Pengertian Hadis Marfu'
Hadis Marfu' adalah segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi SAW berupa perkataan, perbuatan, ketetapan atau
sifat.
Dari definisi di atas dapat difahami
bahwa segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik perkataan,
perbuatan, taqrir, ataupun sifat beliau disebut dengan hadis Marfu'. Orang yang
menyandarkan itu boleh jadi Sahabat, atau selain sahabat. Dengan demikian,
sanad dari hadis Marfu' ini bisa Muthasil, bisa pula Munqathi, Mursal, atau
Mu'dhal dan Mu'allaq.
b. Hukum Hadits Marfu'
Hukum hadits marfu' tergantung pada
kwalitas dan bersambung atau tidaknya sanad, sehingga memungkinkan suatu hadits
Marfu' itu berstatus shahih, hasan atau dhaif.
3. Hadits Mauquf
a. Pengertian Hadis Mauquf
Beberapa ulama hadits memberikan
terminologi hadits mauquf yaitu segala sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat
dalam bentuk perkataan, perbuatan, atau taqrir beliau, baik sanadnya muttashil
atau munqathi. Sesuatu yang disandarkan kepada sahabat berupa perkataan,
perbuatan, ataupun taqrir beliau.
b. Hadis Mauquf yang berstatus Marfu'.
Diantara hadits mauquf terdapat
hadits yang lafadz dan bentuknya mauquf, namun setelah dicermati hakikatnya
bermakna marfu', yaitu berhubungan dengan Rasul SAW. Hadits yang demikian
dinamai oleh para ulama hadits dengan al-mauquf lafdzhan al-marfu' ma'nan,
yaitu secara lafaz berstatus mauquf, namun secara mkana bersifat marfu'
c. Hukum hadis Mauquf.
Apabila suatu hadis mauquf berstatus
hukum marfu sebagaimana yang dijelaskan diatas, dan berkwalitas shahih atau
hasan, maka status hukumnya pun sama dengan hadis marfu itu.
Akan tetapi jika tidak berstatus
marfu, maka para ulama hadis berbeda pendapat tentang kehujjahannya.
4. Hadis Maqthu'
a. Pengertian Hadis Mqthu'
Secara terminology hadis maqthu'
yaitu sesuatu yang terhenti (sampai) pada Tabi’i baik perkataan maupun
perbuatan.
Sesuatu yang disandarkan kepada
tabi'i atau generasi yang datang sesudahnya berupa perkataan atau perbuatan.
Hadis Maqthu tidak sama dengan
munqhati, karena maqthu adalah sifat dari matan, yaitu berupa perkataan Tabi'in
atau Tabi at-Tabi'in, sementara munqathi adalah sifat dari sanad, yaitu
terjadinya keterputusan sanad.
b. Status Hukum Hadis Maqthu'.
Hadits Maqthu' tidak dapat dijadikan
sebagai hujjah atau dalil untuk menetapkan suatu hukum, karena status dari
perkataan Tabi'in sama dengan perkataan Ulama lainnya.
Hadits ditinjau dari segi jumlah
rawi atau banyak sedikitnya perawi yang menjadi sumber berita, maka dalam hal
ini pada garis besarnya hadits dibagi menjadi dua macam, yakni hadits mutawatir
dan hadits ahad.
1. Hadits Mutawatir.
a. Ta'rif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah
mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan
yang lain.
Sedangkan menurut istilah ialah:
"Suatu hasil hadis tanggapan
pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan
mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.”
Artinya: "Hadits mutawatir
ialah hadits yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka
bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga
akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan."
b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan
mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
Hadits (khabar) yang diberitakan
oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera.
Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran
semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya,
dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau
dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir
walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
Bilangan para perawi mencapai
suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini
para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan
bersepakat dusta.
Seimbang jumlah para perawi, sejak
dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits
mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya,
bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak
mungkin terdapat karena persyaratan yang sedemikian ketatnya.
c. Pembagian Hadits Mutawatir
Para ulama membagi hadits mutawatir
menjadi tiga, yaitu:
Hadits Mutawatir Lafzi
Muhadditsin memberi pengertian
Hadits Mutawatir Lafzi antara lain :
1) "Suatu (hadits) yang sama
(mufakat) bunyi lafaz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan
maknanya."
2) "Suatu yang diriwayatkan dengan
bunyi lafaznya oleh sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari sejumlah
rawi."Silsilah/urutan rawi hadits di atas ialah sebagai berikut:
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits
tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam
kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.
Hadits mutawatir maknawi
Hadits mutawatir maknawi adalah;
"Hadis yang berlainan bunyi
lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna
yang umum."
Jadi, hadits mutawatir maknawi
adalah hadits mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi
hadits tersebut, namun terdapat kesamaan dalam maknanya.
Hadis Mutawatir Amali
Yaitu: "Sesuatu yang mudah
dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di antara
kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya
atau serupa dengan itu."
2 Hadits Ahad
1) Pengertian hadis ahad
Menurut Istilah ahli hadits, ta’rif
hadits ahad antara lain:
"Suatu hadis (khabar) yang
jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik
pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan
seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut
masuk ke dalam hadis mutawatir: "
"Suatu hadits yang padanya
tidak terkumpul syarat mutawatir."
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan
suatu hadits bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas)
rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan tinggi-rendahnya suatu
hadits. Bila dua buah hadits menentukan keadaan rawi dan keadaan matan yang
sama, maka hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi
tingkatannya dari hadits yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadits
yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadis
yang diriwayatkan oleh dua orang rawi; hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang
kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadits yang diriwayatkan
oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang
jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadits yang diriwayatkan oleh rawi
pendusta.
Tinggi rendahnya tingkatan suatu
hadis menentukan tinggi rendahnya kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam.
Para ulama membagi hadits ahad dalam tiga tingkatan, yaitu hadits sahih, hadits
hasan dan hadits dhaif.
1. Hadits Sahih.
Hadis sahih menurut bahasa berarti
hadits yng bersih dari cacat, hadits yang benar berasal dari Rasulullah SAW.
Batasan hadits sahih, yang diberikan oleh ulama, yaitu "Hadis shahih
adalah hadits yang susunan lafadznya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi
ayat (al-Quran), hadits mutawatir atau ijimak serta para rawinya adil dan
dabit."
Imam an-Nawawi, membagi yang shahih
menjadi tujuh bagian:
a. Yang paling tinggi, ialah yang
disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim (Muttafaq ‘alaih aw ‘ala sihhatihi).
b. Yang diriwayatkan sendiri oleh
Imam al-Bukhari.Yang diriwayatkan sendiri oleh Muslim.
c. Hadits yang memenuhi kualifikasi
shahih Bukhari dan Muslim.
d. Hadits yang memenuhi kualifikasi
shahih dari Imam al-Bukhari.
e. Hadits yang memenuhi kualifikasi
shahih dari Muslim.
f. Yang dianggap shahih oleh
imam-imam yang lain selain Bukhari dan Muslim.
2. Hadis Hasan
Menurut bahasa, hasan berarti bagus
atau baik. Menurut Imam Turmuzi hadits hasan adalah : "Yang kami sebut
hadits hasan dalam kitab kami adalah hadits yang sanadnya baik menurut kami,
yaitu setiap hadits yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat
rawi yang dicurigai berdusta, matan haditsnya, tidak janggal diriwayatkan
melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadits yang demikian kami sebut
hadits hasan."
3. Hadist Dhaif
Hadits dhaif menurut bahasa berarti
hadis yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (kecil atau
rendah) tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama
memberi batasan bagi hadits daif yaitu; "Hadits dhaif adalah hadits yang
tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih, dan juga tidak menghimpun
sifat-sifat hadits hasan.". Pada hadits dhaif itu terdapat hal-hal yang
menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadits tersebut bukan
berasal dari Rasulullah SAW.
Berdasarkan siapa yang meriwayatkan,
terdapat beberapa istilah yang dijumpai pada ilmu hadits antara lain:
1. Muttafaq Alaih (disepakati
atasnya) yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari
sumber sahabat yang sama, dikenal dengan Hadits Bukhari dan Muslim.
2. As Sab'ah berarti tujuh perawi
yaitu: Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Tirmidzi,
Imam Nasa'i dan Imam Ibnu Majah.
3. As Sittah maksudnya enam perawi
yakni mereka yang tersebut diatas selain Ahmad bin Hanbal (Imam Ibnu Majah).
4. Al Khamsah maksudnya lima perawi
yaitu mereka yang tersebut diatas selain Imam Bukhari dan Imam Muslim.
5. Al Arba'ah maksudnya empat perawi
yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim.
6. Ats Tsalatsah maksudnya tiga perawi
yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan
Ibnu Majah
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik
kesimpulan yaitu, bahwa hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi SAW., baik itu berupa perkataan, perbuatan, ketetapan maupun
persetujuannya. Para ulama membagi tingkatan hadits ke dalam beberapa golongan,
seperti hadits qudsi, hadits mutawatir, hadits shahih, hadits hasan, hadits
dhaif dan lain sebagainya.
Selain hal yang kami sebut di atas,
ada hal lain yang harus dipahami dalam mempelajari ilmu hadist, yaitu
istilah-istilah yang ditetapkan para ulama dalam ilmu hadits, seperti; At
Ta’dil, Tsiqah, Rawi La Ba`sa Bihi dan lain sebagainya.
3.2. Saran
Dari runtutan pembahasan mengenai
dasar-dasar ilmu hadits ini kami merekomendaikan beberapa saran yaitu:
1. Kepada seluruh kaum muslimin
untuk terus mendalami sumber hukum umat islam yaitu Al-Qur`an dan As-Sunnah.
2. Mempelajari ilmu hadits dapat
dilakukan dengan mncari referensi-referensi yang terkait ataupun bertalaqqie
kepada seorang ahli ilmu (‘ulama atau Ustadz).
DAFTAR PUSTAKA
Shalih Al-Utsaimin. Syeikh Muhammad,
2008. Musthalahul Hadits. Jogjakarta: Media Hidayah.
As-Shalih, Dr. Subhi. 2002. Membahas
Ilmu-ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
An-Nawawi, Imam. 2001. Dasar-dasar
Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ahmad, H. Muhammad. 1998. Ulumul
hadits. Bandung: Pustaka Setia.
Ismail, M. S. 1994. Pengantar Ilmu
Hadis. Bandung: Angkasa.
Sumber:
http://trimuerisandes.blogspot.co.id/2014/11/makalah-mustholah-hadist_2.html
Tag #Ilmu Hadits.pdf #Ilmu Mustholah
Hadits.doc #Kedudukan dan fungsi hadits.pdf
0 komentar:
Posting Komentar