MAKALAH
PEMBAGIAN ILMU
HADIS : RIWAYAH DAN DIRAYAH
Disusun oleh:
Ahmad Muhaimin, Ahmad Amin – IAIN Semarang
2013
Editor:
Tim Makalah-makalah.com
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum.Wr.Wb
Puji syukur saya (penyusun)
panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat-Nya yang berlimpah, kami dapat
menyusun makalah ini dengan baik sesuai dengan kemampuan kami. Tidak lupa pula
kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan
kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Untuk selanjutnya kami
mengharapkan semoga makalah ini dapat menambah wawasan bagi kami sendiri dan
juga mahasiswa yang sedang menempuh materi ini.
Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini
jauh dari sempurna, untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik agar makalah
ini mendekati sempurna, kami sadar bahwa kesempurnaan hanya milik NYA.
Akhir kata, semoga makalah yang kami susun ini berguna bagi kita
semua.
Amin-amin yarabbal ‘alamin.
Wassalamualaikum.Wr.Wb
Hormat kami,
Tim Makalah
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada masa Rasulullah masih hidup,
zaman khulafaur rasyidin dan sebagian besar zaman Umayyah sehingga akhir abad
pertama hijrah, hadits-hadits nabi tersebar melalui mulut kemulut (lisan).
Ketika itu umat Islam belum mempunyai inisiatif untuk menghimpun hadits-hadits
nabi yang bertebaran. Mereka merasa cukup dengan menyimpan dalam hafalan yang terkenal
kuat. Dan memang diakui oleh sejarah bahwa kekuatan hafalan para sahabat dan
para tabi’in benar-benar sulit tandingannya.
Hadits nabi tersebar ke berbagai
wilayah yang luas dibawa oleh para sahabat dan tabi’in ke seluruh penjuru
dunia. Para sahabat pun mulai berkurang jumlahnya karena meninggal dunia.
Sementara itu, usaha pemalsuan terhadap hadits-hadits nabi makin bertambah
banyak, baik yang dibuat oleh orang-orang zindik dan musuh-musuh Islam maupun
yang datang dari orang Islam sendiri.
Yang dimaksud dengan pemalsuan
hadits ialah menyandarkan sesuatu yang bukan dari Nabi SAW kemudian dikatakan
dari Nabi SAW. Berbagai motifasi yang dilakukan mereka dalam hal ini. Ada
kalanya kepentingan politik seperti yang dilakukan sekte-sekte tertentu setelah
adanya konflik fisik (fitnah) antara pro-Ali dan pro-Muawiyyah, karena
fanatisme golongan, madzhab, ekonomi, perdagangan dan lain sebagainya pada masa
berikutnya atau unsur kejujuran dan daya ingat para perawi hadits yang berbeda.
Oleh karena itu, para ulama bangkit mengadakan riset hadits-hadits yang beredar
dan meletakkan dasar kaidah-kaidah yang ketat bagi seorang yang meriwayatkan
hadits yang nantinya ilmu itu disebut Ilmu Hadits.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian dan Pembagian Ulumul Hadits
2. Sejarah Pertumbuhan dan Penghimpunan
Hadits
3. Cabang-Cabang Ilmu Hadits
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Pembagian Ulumul Hadits
1. Pengertian Ulumul Hadits
Para Ulama telah sepakat bahwa
Ulumul Hadits atau ilmu yang membahas
tentang perihal hadits baik dari segi periwayatannya atau dari segi materi/
matan riwayat hadits adalah suatu ilmu yang sangat penting.[1] Oleh karena itu
mendalaminya adalah suatu keharusan bagi para pemangku hadits.
Ulumul Hadits adalah istilah ilmu
hadits di dalam tradisi Ulama Hadits (arabnya : ‘Ulum al-Hadits). ‘Ulum
al-Hadits terdiri atas dua kata, yaitu ‘Ulum dan al-Hadits. Kata ‘Ulum dalam
bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berati “ilmu-ilmu”; sedangkan
al-Hadits di kalangan Ulama Hadits berarti “segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat. Dengan demikian
Ulumul Hadits adalah ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan hadits Nabi
SAW.
Menurut Ulama Mutaqaddimin Ilmu
Hadits adalah ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan
hadits sampai kepada Rasul SAW dari segala hal ihwal para perawinya,
kedhabitan, keadilan, dan dari bersambung tidaknya sanad dan sebagainya.
Pembukaan hadits di sekitar abad ke
dua hijriyah yang dilakukan para pemuka hadits dalam rangka menghimpun dan
membukukannya semata-mata di dorong oleh kemauan yang kuat agar hadits nabi itu
tidak hilang begitu saja bersama wafatnya para penghafalnya. Mereka menghimpun
dan membukukan semua hadits yang mereka dapatkan beserta riwayat dan sanadnya
masing-masing tanpa mengadakan penelitian terlebih dahulu terhadap pembawanya
(para rawi) begitu pula terhadap keadaan riwayat dan marwinya. Barulah di
sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah sebagian Muhadditsin merintis ilmu ini
dalam garis-garis besarnya saja dan masih berserakan dalam beberapa mushafnya.
Diantara mereka adalah Ali bin Almadani (238 H), Imam Al-Bukhari, Imam Muslim,
Imam At-Turmudzi dan lain-lain.
Adapun perintis pertama yang
menyusun ilmu ini secara fak(spealis) dalam satu kitab khusus ialah Al-Qandi
Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzy(360 H) yang di beri nama dengan Al-Muhaddisul Fasil
Bainar Wari Was Sami’. Kemudian bangkitlah Al-Hakim Abu Abdilah an-Naisaburi
(321-405 H) menyusun kitabnya yang bernama Makrifatu Ulumil Hadits. Usaha
beliau ini diikuti oleh Abu Nadim al-Asfahani (336-430 H) yang menyusun kitab
kaidah periwayatan hadits yang diberi nama Al-Kifayah dan Al-Jam’u Liadabis
Syaikhi Was Sami’ yang berisi tentang tata cara meriwayatkan hadits.
2. Pembagian Ulumul Hadits
Ilmu hadits yakni ilmu yang
berpautan dengan hadits. Apabila dilihat kepada garis besarnya, Ilmu Hadits
terbagi menjadi dua macam. Pertama, Ilmu Hadits Riwayat (riwayah). Kedua, Ilmu
Hadits Dirayat (dirayah).
a. Ilmu Hadits Riwayah
Ilmu Hadits Riwayah ialah ilmu yang
menukilkan segala apa yang disandarkan kepada Nabi SAW baik perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun sifat
tubuh anggota ataupun sifat Perangai.
Maudhu’nya (obyeknya) adalah pribadi
Nabi SAW yakni perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat Beliau, karena hal-hal
inilah yang dibahas didalamnya. [2]
b. Ilmu Hadits Dirayah
Ilmu Hadits Dirayah ialah ilmu
hadits dirayah adalah ilmu untuk mengetahui keadaan sanad dan matan dari
jurusan diterima atau ditolak dan yang bersangkut paut dengan itu.
Maudhu’nya (objeknya) adalah
mengetahui segala yang berpautan dengan pribadi Nabi SAW, agar kita dapat
mengetahuinya dan memperoleh kemenangan dunia akhirat. [3] Dengan mempelajari
Hadits Dirayah ini, banyak sekali faedah yang diperoleh antara lain:
1. Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan
hadits dan ilmu hadits dari masa ke masa sejak masa Rasul SAW sampai sekarang.
2. Dapat mengetahui tokoh-tokoh serta
usaha-usaha yang telah mereka lakukan dalam
mengumpulkan, memelihara dan meriwayatkan hadits.
3. Mengetahui kaidah-kaidah yang
dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasikan hadits lebih lanjut.
4.
Dapat mengetahui
istilah-istilah, nilai-nilai dan kriteria-kriteria hadits sebagai pedoman dalam
beristimbat.
5. Dari beberapa faedah diatas apabila
diambil intisarinya, maka faedah mempelajari Ilmu Hadits Dirayah adalah untuk
mengetahui kualitas sebuah hadits, apakah ia maqbul (diterima) dan mardud
(ditolak), baik dilihat dari sudut sanad maupun matannya.
6. Dengan melihat uraian Ilmu Hadits Riwayah
dan Ilmu Hadits Dirayah diatas, tergambar adanya kaitan yang sangat erat antara
yang satu dengan yang lainnya. Hal ini karena setiap ada periwayatan hadits
tentu ada kaidah-kaidah yang dipakai dan diperlukan baik dalam penerimaannya
maupun penyamapaiannya kepada pihak lain. Sejalan dengan perjalanan Ilmu Hadits
Riwayah, Ilmu Hadits Dirayah juga terus berkembang menuju kesempurnaanya,
sesuai dengan kebutuhan yang berkaitan langsung dengan perjalanan Hadits
Riwayah. Oleh karena itu, tidak mungkin Ilmu Hadits Riwayah berdiri tanpa Ilmu
Hadits Dirayah, begitu juga sebaliknya.
B. Sejarah Pertumbuhan dan Penghimpunan
Ilmu Hadits
Sunnah atau hadits sebagai dasar
tasyri’ yang kedua setelah al-Qur’an dalam sejarahnya telah melalui beberapa
tahapan perkembangan yang cukup panjang. Para ahli berbeda pendapat di dalam
menentukan periodisasi pertumbuhan dan penghimpunannya.[4] Dalam makalah ini
dijelaskan dalam empat periodisasi, yakni masa Rasulullah SAW, sahabat,
tabi’in, dan masa kodifikasi (tadwin hadits).
1. Hadits pada masa Rasulullah SAW
Seluruh perbuatan, ucapan serta
gerak- gerik Nabi dijadikan pedoman hidup bagi umatnya.
Ada suatu keistimewaan pada masa ini
yang membedakannya dengan masa lainnya, yaitu umat Islam dapat secara langsung
memperoleh hadits dari Rasulullah SAW sebagai sumber hadits. Pada masa ini
tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuan
mereka.[5]
Ada beberapa cara yang digunakan
Rasulullah SAW dalam menyampaikan hadits kepada para sahabatnya, yaitu:
1. Melalui para jamaah yang berada dipusat
pembinaan atau majelis al- ilmi.
2. Dalambanyak kesempatan, Rasulullah SAW
juga menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu, kemudian mereka
menyampaikannya kepada orang lain.
3. Cara lain yang dilakukan Rasulullah SAW
adalah melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti haji wada’ dan
futuh makkah[6]
Para sahabat dalam menerima hadits
Nabi berpegang teguh pada hafalannya, yakni menerima dengan jalan hafalan bukan
jalan menulis. Mereka mendengar dengan hati-hati apa yang Nabi sabdakan
kemudian makna atau lafadz tergambar dalam dzin (benak) mereka. Pun juga mereka
menyampaikan kepada orang lain lewat hafalan pula.
2. Hadits pada masa Sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan
hadits adalah masa sahabat, khususnya Khulafa
Ar-Rasyidin yaitu sekitar tahun 11 H sampai 40 H. Masa ini juga disebut
masa sahabat besar. Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus
pada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an. Periwayatan hadits belum begitu
berkembang dan masih dibatasi. Oleh karena itu para ulama menganggap masalah ini
sebagai masa yang menunjukan adanya masa pembatasan periwayatan ( At-Tasabbut
wa al-Iqlal min ar-Riwayah ).[7]
Meskipun begitu Rasul sangat
memerintahkan sahabat untuk mentablighkan
hadits seperti dibawah ini:
نَضَّرَاللهُ امْرَاءً
سَمِعَ مِنِّيْ مَقَالَتِيْ
مَحَفِظَهَا وَوَعَاهَا فَاَدَّاهَا
كَمَا سَمِعَ فَرُبَّ مُبَلَّغِ اَوْعَى مِنْ سَامِعٍ.
“mudah-mudahan Allah mengindahkan
seseorang yang mendengar ucapanku, lalu dihafalkan dan dipahamkan dan
disampaikan kepada orang lain persis sebagaimana yang dia dengar karena banyak
sekali orang yang disampaikan berita kepadanya, lebih paham dari pada yang
mendegarkan sendiri“. (HR. Tirmidzi ).[8]
Hadits pada masa Abu Bakar dan Umar hanya
disampaikan kepada yang memerlukan saja dan apabila perlu saja, belum bersifat
pelajaran. Pada masa ini hadits belum diluaskan karena beliau mengerahkan minat
umat untuk menyebarkan al-Qur’an dan memerintahkan para sahabat untuk
berhati-hati dalam menerima riwayat-riwayat itu. Perkembangan hadits dan
riwayatnya terjadi pada masa Utsman dan Ali.
Pada masa Utsman dan Ali hadits
lebih diaplikasikan dalam kehidupan untuk menjawab semua permasalahan dalam
masyarakat dikala itu.[9]
3. Hadits pada masa Tabi’in
Sesudah masa Utsman dan Ali,
timbulah usaha yang lebih serius untuk mencari dan menghfal hadits serta
menyebarkannya ke masyarakat luas dengan mengadakan perlawatan-perlawatan untuk
mencari hadits.
Pada tahun 17 H tentara islam
mengalahkan Syiria dan Iraq. Pada tahun 20 H mengalahkan Mesir. Pada tahun 21 H
mengalahkan Persia. Pada tahun 56 H tentara islam sampai disamarkand. Pada
tahun 93 H tentara islam menaklukan Spanyol. Para sahabat berpindah ketempat-tempat
itu. Kota itu menjadi “perguruan“ tempat mengajarkan al-Qur’an dan hadits yang
menghasilkan sarjana-sarjana tabi’in dalam bidang hadits.[10]
Tercatat beberapa kota sebagai pusat
pembinaan dalam periwayatan hadits, sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam
mencari hadits, ialah Madinah al-Munawarah, Makkah Al-Mukaramah, Kufah, Basrah,
Syam, Mesir, Maghribi dan Andalus.[11]
Intinya pada masa ini periwayatan
hadits masih bersifat dari mulut ke mulut (al-Musyafahat ), seperti seorang
murid langsung memperoleh hadits dari guru dan mendengarkan langsung dari
penuturan mereka, dan selanjutnya disimpan melalui hafalan mereka. Perbedaannya
dengan periode sebelumnya adalah bahwa
pada masa ini periwayatan hadits sudah semakin meluas dan banyak
sehingga dikenal dengan Iktsar al-Riwayah (pembanyakan riwayat).[12]
4. Masa kodifikasi (Tadwin Hadits)
yang dimaksud dengan kodifikasi
Hadits atau Tadwin pada periode ini adalah kodifikasi secara resmi berdasarkan
perintah kepala negara, dengan melibatkan beberapa sahabat yang ahli
dibidangnya. Tidak seperti kodifikasi yang dilakukan secara perseorangan atau
untuk kepentingan pribadi, sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah SAW.
Usaha ini dimulai ketika
pemerintahan Islam dipimpin oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz (khalifah ke-8
dari kekhalifahan Bani Umayah), melalui intruksinya kepada para pejabat daerah
agar memperhatikan dan mengumpulkan hadits dari para penghafalnya. Ia
mengintruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad ibn Amr ibn Hazm (Gubernur
Madinah). Beliau mengintruksikan kepada Abu Bakar ibn Hazm agar mengumpulkan
hadits yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al-Anshari (murid kepercayaan Siti
Aisyah) dan al-Qasin bin Muhammad bin Abi Bakar. Intruksi yang sama juga
diberikan kepada Muhammad bin Syihab az-Zuhri yang dinilainya sebagai seorang
yang lebih banyak mengetahui hadits dari pada yang lainnya.[13]
Alasan mengapa hadits
dibukukan/dikodifikasikan karena:
1. Hilangnya sejumlah hadits besar.
2. Penyebaran kebohongan.
3. Periwayatan makna.
4. Perbedaan diantara sesama muslim.
5. Penyebarluasan ra’yu (penilaian
subyektif).[14]
C. Cabang-Cabang Ilmu Hadits
1. Ilmu dan Kaidah Hadis Tentang Rawi dan
Sanad[15]
a.
Ilmu Rijal Al-Hadist
Adalah ilmu yang membahas tentang
hal ihwal dan sejarah para rawi dari kalangan sahabat, tabi’in, dan atba’
al-tabi’in. Sedangkan muhadditsin, sebagaimana dikutip dalam buku Endang
Soetari mentarifkan Ilmu Rijal Al-Hadist meliputi Ilmu Thabaqah dan Ilmu Tarikh
Ar-Ruwah. Ilmu Thabaqah adalah ilmu yang membahas tentang kelompok orang orang
yang berserikat dalam satu alat pengikat yang sama. Sedangkan Ilmu Tarikh
Ar-Ruwah adalah ilmu yang membahas tentang biografi para perawi hadist. Adapun
materi dari ilmu ini adalah :
1) Konsep tentang rawi dan thabaqah
2) Rincian thabaqah rawi
3) Biografi yang telah terbagi pada
tiap thabaqah
b. Ilmu Jarh Wa At-Ta’dil
Adalah ilmu tentang hal ihwal para
rawi dalam hal mencatat keaibannya dan menguji keadilannya.
Ta’dil artinya menganggap adil seorang
rawi yakni memuji rawi dengan sifat-sifatyang membawa maqbulnya riwayat. Adapun
Al-Jarh atau Tajrih artinya mencacatkan, yakni menuturkan sebab-sebab keaiban
rawi. Ilmu ini berkaitan dengan hal-hal seperti bid’ah (i’tikad
berlawanandengan dasar syariat), mukhalafah (perlawanan sifat adil dan
dhabith), gholath (kesalahan), jahalah al-hal (tidak diketahui identitasnya),
da’wa al-inqitha’ (mendakwa terputusnya sanad).
Kaidah Tajrih dan Ta’dil ada dua
macam:
a. Naqd Khariji, yaitu kritik eksternal,
yakni tentang cara dan sahnya riwayat dan tentang kapasitas rawi.
b. Naqd Dakhili, yaitu kritik internal,
yaitu tentang makna hadits dan syarat keshahihannya.
Adapun syarat-ayarat pentajrih dan
penta’dil adalah: berilmu, taqwa, wara’, jujur, menjauhi fanatik golongan,
mengetahuisebab-sebab ta’dil dan tajrih (mufassar).
2. Ilmu dan Kaidah Tentang Matan
a. Gharib Al-Hadits
Ilmu Gharib al-Hadist adalah:
“Ilmu yang menerangkan makna kalimat
yang terdapat dalam matan Hadist yang sukar diketahui maknanyadan yang kurang
terpakai oleh umum’.
Yang dibahas oleh ilmu ini adalah
lafadh yang musykil dan susunan kalimat yang sukar dipahami, tujuannya untuk
menghindarkan penafsiran menduga-duga. Pada masa tabi’in dan abad pertama
hijriyah, bahasa arab yang tinggi mulai tidak dipahami oleh umum, hanya
diketahui secara terbatas. Maka orang yang ahli mengumpulkan kata-kata yang
tidak dapat dipahami oleh umumtersebut dan kata-kata yang kurang terpakai dalam
pergaulan sehari-hari. Endang Soetari juga menyebutkan beberapa upaya para
ulama Muhaditsin untuk menafsirkan keghariban matan Hadits, antara lain:
1.
Mencari dan menelaah hadits yang sanadnya berlainan dengan yang bermatan
gharib
2.
Memperhatikan penjelasan dari sahabat yang meriwayatkan Hadits atau
shahabat lain yang tidak meriwayatkan,
3.
Memperhatikan penjelasan dari rawi selain shahabat.
b. Ilmu Asbab Wurud al-Hadits dan
Tawarikh al-Mutun
Ta’rif ilmu Asbab Wurud al-Hadist “Ilmu yang
menerangkan sebab-sebab Nabi SAW menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi
menuturkan”. Ilmu ini titik berat
pembahasannya pada latar belakang dan sebab lahirnya Hadist. Manfaat mengetahui
asbab al-wurud Hadist antara lain untuk membantu memahami dan menafsirkan
Hadits serta mengetahui hikmah-hikmah yang berkaitan dengan wurudnya hadist
tersebut, atau mengetahui kekhususan konteks makna hadist. Perintis ilmu asbab
Wurud al-Hadits adalah Abu Hamid ibn Kaznah al-Jubairi, dan Abu Hafash ‘Umar
ibn Muhammad ibn Raja’ al-‘Ukbari (339 H). Kitab yang terkenal adalah kitab
al-nayan wa al-Ta’rif, susunan Ibrahim Ibn Muhammad al-Husaini (1120 H).
c. Ilmu Nasikh wa al-Mansukh
Ta’rif ilmu Nasikh wa al-Mansukh:
adalah:“Ilmu yang menerangkan Hadits-hadits yang sudah dimansukhkan dan yang
menasikhkannya.”
Beliau menyatakan bahwa ilmu ini
bermanfaat untuk pengamalan Hadis bila ada dua Hadis Maqbul yang tanakud yang
tidak dapat dikompromikan atau dijama’. Bila dapat dikompromikan, hanya sampai
pada tingkat mukhtalif al-hadis, kedua hadis maqbul tersebut dapat diamalkan.
Bila tidak bisa dijama’ (dikompromikan, maka Hadist yang tanakud tadi ditarjih
atau dinasakh. Bila diketahui mana diantara kedua Hadist yang diwurudkan duluan
dan yang diwurudkan kemudian, maka yang wurud kemudian (terakhir) itulah yang
diamalkan. Sedangkan yang duluan tidak diamalkan. Yang belakangan disebut
nasikh, yang duluan disebut mansukh. Kaidah yang berkaitan dengan nasakh,
antara lain berupa cara mengetaui nasakh, yakni penjelasan dari Rasulullah SAW
sendiri, keterangan sahabat dan tarikh datangnya matan yang dimaksud.
3. Ilmu dan Kaidah Tentang Sanad dan
Matan[16]
a. Ilmu ‘Ilal al-Hadits
Adalah ilmu yang menerangkan
sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata yang dapat merusakkan hadits. Jadi
Ilmu Ilal Al-Hadist adalah ilmu yang membahas tentang suatu illat yang dapat
mencacatkan kesahihan hadist.
b. Ilmu Fan al-Mubhamat
Adalah ilmu untuk mengetahui nama
orang-orang yang tidak disebut di dalam atan atau di dalam sanad.
c. Ilmu At-Tashif Wa At-Tahrif
Ilmu Tashhif wa al-Tahrif adalah:
“Ilmu yang menerangkan Hadis-hadis yang sudah diubah titiknya (musahhaf) dan
bentuknya (muharraf)”. Diantara kitab ilmu ini adalah kitab: al-Tashhif wa al-Tahrif,
susunan al-Daruquthni (358 H) dan Abu Ahmad al-Askari (283 H).
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ilmu Hadits adalah ilmu yang
membahas atau berkaitan dengan Nabi SAW. Perintis pertama Ilmu Hadits adalah Al
Qadi Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzy. Pada mulanya, Ilmu Hadits merupakan beberapa
ilmu yang masing-masing berdiri sendiri, ilmu-ilmu yang terpisah dan bersifat
parsial tersebut disebut dengan Ulumul Hadits, karena masing-masing
membicarakan tentang hadits dan para perawinya. Akan tetapi pada masa
berikutnya ilmu-ilmu itu digabungkan dan dijadikan satu serta tetap menggunakan
nama Ulumul Hadits.
B. SARAN
Demikianlah makalah yang dapat
pemakalah susun , tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari
itu pemakalah sangat mengharapkan kritik dan saran untuk membangun dan
memperbaiki makalah ini. Penulis juga meminta maaf apabila ada penulisan dan
ulasan yang salah atau kurang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. Amien.
DAFTAR PUSTAKA
Al Katib, Ajaj, Hadits Nabi
Sebelum Dibukukan, 1999, Jakarta: Gema
Insani Press
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad
Hasbi, 2010, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra
Hadi, Saeful, Ulumul Hadits,
Yogyakarta: Sabda Media
Ja’fariyah, Rasul, Penulisan
Penghimpunan Hadits, 1992, Jakarta: Lentera
Mudasir, Ilmu Hadis, 2005, Bandung:
Pustaka Setia
Nor, Ichwan Mohammad, Membahas
Ilmu-Ilmu Hadis, 2013, Semarang: Rasail Media Group
Soetari, Endang, Ilmu Hadits Kajian
Riwayah dan Dirayah, 2005, Yogyakarta: CV Qalam Suparta, Munzier, 2003 Ilmu
Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo
[1] Saeful Hadi. Ulumul Hadits,
Yogyakarta: Sabda Media, hlm.1.
[2] Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2012, hlm. 112.
[3] Ibid
[4] Mohammad Nor Ichwan, Membahas
Ilmu-Ilmu Hadis, Semarang: Rasail Media Group, 2013, hlm. 109.
[5] Mudasir, Ilmu Hadits,
Bandung: CV Pustaka Setia, 1999, hlm. 88
[6] Ibid, hlm. 89.
[7] Ibid, hlm. 95.
[8] Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Op.Cit, hlm. 36.
[9] Ajaj al-Khatib, Hadits Nabi
sebelum dibukukan, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, hlm. 116.
[10] Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Op.Cit, hlm. 45.
[11] Ibid, hlm. 48.
[12] Munzier Suparta, Ilmu Hadits,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 85.
[13] Mudasir, Op.Cit, hlm. 106
[14] Rasul Ja’fariyah, Penulisan
Penghimpunan Hadits, Jakarta: Lentera, 1992, hlm. 88.
[15] Prof. Dr. H. Endang Soetari,
Ilmu Hadits Kajian Riwayah dan Dirayah, Yogyakarta: CV Qalam, 2005, hlm.
201-213.
[16] Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2012, hlm.118- 119.
Sumber:
http://sidulemen.blogspot.co.id/2013/04/ulumul-hadits-pengertian-dan-pembagian.html
Tag #pembagian ilmu hadits.pdf .doc
0 komentar:
Posting Komentar