MAKALAH
KONSEP DIRI DAN
PENYESUAIAN DIRI
Penyusun:
Agus Rahmanto – UPI 2011
Editor:
Tim Makalah-makalah.com
2016
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum.Wr.Wb
Puji syukur saya (penyusun)
panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat-Nya yang berlimpah, kami dapat
menyusun makalah ini dengan baik sesuai dengan kemampuan kami. Tidak lupa pula
kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan
kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Untuk selanjutnya kami
mengharapkan semoga makalah ini dapat menambah wawasan bagi kami sendiri dan
juga mahasiswa yang sedang menempuh materi ini.
Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini
jauh dari sempurna, untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik agar makalah
ini mendekati sempurna, kami sadar bahwa kesempurnaan hanya milik NYA.
Akhir kata, semoga makalah yang kami susun ini berguna bagi kita
semua.
Amin-amin yarabbal ‘alamin.
Wassalamualaikum.Wr.Wb
Hormat kami,
Tim Makalah
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam pembuatan makalah ini kami mengangkat beberapa rumusan
masalah diantaranya:
A. Apa Definisi dan Pengertian Konsep Diri?
B. Bagaiamana perkembangan konsep diri?
C. Apa jenis-jenis konsep
diri?
D. Apa definisi dan pengertian penyesuaian diri?
E. Bagaiaman mengukur persepsi?
Tujuan penelitian
Dari rumusan masalah diatas kami memiliki beberapa tujuan diantaranya sebagai berikut:
A. Mengetahui Definisi dan Pengertian Persepsi?
Dari rumusan masalah diatas kami memiliki beberapa tujuan diantaranya sebagai berikut:
A. Mengetahui Definisi dan Pengertian Persepsi?
B. Mengetahui Ciri dan karakteristik persepsi?
C. Mengetahui proses terjadinya persepsi?
D. Mengetahui faktor yang mempengaruhi kesalahan persepsi?
E. Mengetahui ukuran persepsi?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. KONSEP DIRI
1. Definisi
Konsep Diri
Konsep diri merupakan
hal yang penting artinya
bagi kehidupan individu karena pemahaman mengenai konsep diri
akan menentukan dan mengarahkan perilaku dalam berbagai situasi (Shavelson dalam Purwanti dkk., 2000), serta dapat menentukan keberhasilan individu dalam hubungannya dengan masyarakat
(Hurlock, 1998). Menurut Burns (1993) konsep diri merupakan gambaran campuran dari apa yang dipikirkan oleh individu, pendapat orang lain mengenai diri individu dan diri individu yang diinginkan.
Selanjutnya Calhoun dan Acocella (1990) menjelaskan bahwa konsep diri adalah gambaran mental individu terhadap dirinya sendiri yang terdiri dari pengetahuan individu tentang dirinya
sendiri, pengharapan bagi diri
sendiri, dan penilaian terhadap diri sendiri. Sementara Centi (1993) mengatakan bahwa konsep diri adalah gagasan
tentang diri sendiri yang berisikan mengenai bagaimana individu melihat dirinya sendiri sebagai pribadi, bagaimana individu merasa tentang dirinya sendiri, dan bagaimana individu menginginkan
dirinya sendiri menjadi manusia sebagaimana yang diharapkan.
Penglihatan individu atas dirinya sendiri disebut gambaran diri (self image).
Perasaan individu tentang dirinya sendiri merupakan
penilaian
individu
atas dirinya
sendiri (self evaluation). Harapan individu atas dirinya
sendiri menjadi cita-cita diri (self
ideal).
Berdasarkan pendapat ahli di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
konsep diri merupakan gambaran mental
individu yang berisikan tentang bagaimana
individu melihat dirinya sendiri
sebagai pribadi yang disebut dengan pengetahuan diri, bagaimana
individu merasa tentang dirinya yang merupakan
penilaian diri sendiri, serta bagaimana individu menginginkan dirinya sendiri sebagaimana yang diharapkan.
2.
Perkembangan Konsep Diri.
Sewaktu lahir, individu tidak
memiliki pengetahuan tentang
diri sendiri dan tidak memiliki penilaian terhadap diri sendiri serta tidak memiliki harapan sendiri (Caplan, dalam Calhoun & Acocella, 1995).
Konsep diri terbentuk melalui sejumlah pengalaman yang tersusun secara hirarki
yang berkembang sejalan
dengan pertumbuhannya,
terutama sebagai akibat dari hubungan individu
dengan individu lainnya
(Centi, 1993). Baldwin dan Holmes (dalam Calhoun & Acocella, 1990) juga mengatakan bahwa konsep
diri adalah hasil belajar individu yang diperoleh melalui hubungannya dengan orang lain.
Menurut Cooley (dalam Calhoun
& Acocella, 1990) interaksi individu dengan orang lain merupakan sumber informasi penting bagi perkembangan
konsep diri. Individu biasanya menggunakan
orang lain untuk menunjukkan siapa
dirinya. Individu membayangkan
bagaimana pandangan
orang lain terhadap dirinya dan bagaimana orang lain menilai penampilannya.
“Orang lain” yang dianggap bisa mempengaruhi konsep diri seseorang adalah :
a. Orang
tua
Keluarga
terutama orang tua merupakan
lingkungan sosial pertama yang ditemui individu pada awal kehidupannya. Orang tua memberikan pengaruh
yang besar terhadap perkembangan konsep diri individu. Orang tua akan memberikan informasi yang
besar terhadap perkembangan konsep
diri individu. Orang tua akan memberikan informasi yang menetap
pengharapan bagi anaknya. Orang tua juga mengajar
anak bagaimana cara menilai dirinya sendiri. Anak-anak
yang tidak memiliki orang tua atau yang disia-siakan oleh orang tuanya akan mengalami kesulitan dalam memperoleh
informasi tentang
dirinya sehingga hal ini akan membentuk konsep diri yang negatif pada anak
(Calhoun & Acocella, 1990).
b. Teman sebaya
Kelompok teman
sebaya menduduki posisi kedua setelah orang tua dalam mempengaruhi konsep diri anak. Dalam hal ini masalah penerimaan dan
penolakan dari teman sebaya akan mempengaruhi
konsep diri anak.
c. Masyarakat
Masyarakat memiliki harapan tertentu seseorang
dan harapan ini masuk
ke dalam diri individu, kemudian akan berusaha melaksanakan harapan
tersebut. Masyarakat sangat mementingkan fakta-fakta yang ada pada seorang anak, seperti siapa orang tuanya,
ras dan lain-lain sehingga hal ini akan mempengaruhi
konsep diri seseorang.
Kemudian Brooks (dalam Sobur, 2005) mengatakan bahwa perkembangan konsep diri dipengaruhi oleh
empat faktor, yaitu :
1. Penilaian diri–memandang diri sendiri
sebagai objek (Self Aperaisal-viewing
Self
as Object).
Istilah ini menunjukkan
suatu pandangann yang menjadikan
diri sendiri sebagai objek dalam komunikasi atau bagaimana kesan kita
terhadap diri kita sendiri. Pertama-tama kita mengamati
perilaku fisik
secara langsung kemudian memberikan penilaian. Penilaian ini akan mempengaruhi
kesan kita terhadap diri sendiri.
Semakin besar pengalaman positif
yang dimiliki individu semakin positif konsep dirinya.
Sebaliknya semakin besar pengalaman
negatif yang dimiliki individu
semakin negatif konsep dirinya.
2. Reaksi dan respon dari orang
lain (Reaction and Response of
Others)
Konsep diri
tidak saja berkembang melalui pandangan kita terhadap diri sendir namun jufa
tidak saja berkembang melalui pandangan
kita terhadap diri sendiri
namun juga berkembang dalam rangka interaksi kita dengan masyarakat.
Dalam berinteraksi dengan masyarakat individu
akan
mendapatkan evaluasi. Oleh karena
itu konsep diri dipengaruhi oleh reaksi
serta respon orang lain terhadap
diri kita.
3. Peran yang kita mainkan–peran yang ditrerima
(Roles
you play–Role taking ) Setiap individu
memainkan peran
yang berbeda-beda dan pada setiap
peran tersebut individu diharapkan akan melakukan
tindakan dengan cara tertentu
pula. Harapan-harapan dan pengalaman yang berkaitan
dengan peran yang berbeda berpengaruh terhadap konsep
diri seseorang. Semakin banyak peran
yang kita
mainkan dan dianggap positif oleh
orang
lain,
semakin positif konsep diri kita.
4. Kelompok rujukan (Reference Groups)
Kelompok
rujukan adalah kelompok
dimana kita
menjadi anggota
di dalamnya. Setiap kelompok rujukan memiliki norma tertentu yang mengatur tingkah laku seseorang. Jika kita menganggap penilaian dan reaksi dari kelompok rujukan itu penting maka
hal ini akan menjadi kekuatan untuk menentukan konsep diri kita. Semakin banyak kelompok rujukan yang menganggap
diri kita positif, semakin
positif pula konsep diri kita.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diartikan kesimpulan bahwa individu dilahirkan dengan belum memiliki
konsep diri. Konsep diri terbentuk melalui
sejumlah pengalaman dan prsoes
belajar. Adapun yang menjadi sumber informasi bagi perkembangan konsep diri adalah
interaksi individu dengan orang lain
yaitu orang tua, teman sebaya,
serta masyarakat. Proses
belajar yang dilakukan individu dalam pembentukan konsep dirinya diperoleh melalui penilaian yang dilakukan
terhadap dirinya sendiri,
bagaimana reaksi danrespon
orang lain terhadap
apa yang sudah dilakukan, tuntutan peran yang dimainkan serta penilaian
dan reaksi yang diterima dari kelompok
rujukan.
3.
Jenis-Jenis Konsep Diri
Hasil penilaian seseorang
terhadap diri dapat berupa konsep diri yang
negatif maupun konsep diri yang positif. Menurut
Calhoun & Acocella ( 1990) konsep diri terbagi dua, yaitu konsep diri
positif dan konsep diri negatif.
1.
Konsep Diri Positif
Dasar dari
konsep dari yang
positif bukanlah kebanggan
yang besar tentang dirinya
tetapi lebih kepada
penerimaan diri.
Individu yang memiliki konsep diri yang positif adalah individu
yang mengenai dirinya
dengan baik dan menerima diri apa adanya, bersifat stabil dan bervariasi
sehingga mampu menyimpan informasi yang positif atau negatif tentang dirinya, mampu memahami dan menerima
sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam
tentang dirinya tanpa menganggapnya sebagai suatu ancaman, merancang tujuan yang realistik, menganggap hidup sebagai sesuatu yang meyenangkan dan penuh kejutan, menganggap hidup sebagai suatu proses penemuan sehingga mampu bertindak dengan
berani dan memperlakukan orang lain dengan hangat dan hormat.
2. Konsep Diri Negatif
Individu yang memiliki konsep diri yang negatif
adalah individu yang memiliki pandangan
yang tidak teratur tentang dirinya, tidak mengenal siapa dirinya baik kelebihan maupun kekurangannya, berusaha untuk mengubah konsep dirinya secara terus menerus
atau melindungi konsep dirinya yang kuat
dengan cara mengubah atau menolak informasi baru, menganggap apa yang diperolehnya tidak
sebanding dengan apa yang diperoleh orang lain, membuat tujuan yang sangat tinggi dan tidak realistik
sehingga sering mengalami kegagalan dalam mencapainya,
percaya bahwa dirinya
tidak dapat mencapai sesuatu
apapun yang berharga. Selain itu individu yang memiliki konsep diri negatif adalah individu yang memiliki pandangan yang terlalu stabil dan kaku terhadap dirinya
sendiri akibat dari
didikan yang terlalu keras sehingga
mereka menciptakan citra diri yang
tidak menghendaki terjadinya
penyimpangan dari seperangkat aturan yang
ada.
Selanjutnya Hurlock (1996) juga membagi konsep diri menjadi dua tingkatan yaitu konsep diri positif
dan konsep diri negatif. Individu dengan konsep diri positif mengembangkan sifat percaya diri, harga diri dan kemampuan untuk melihat
dirinya sendiri secara realistis. Individidu
juga mampu menilai
hubungannya dengan orang lain secara tepat
dan menumbuhkan
penyesuaian pribadi dan sosial yang baik. Sebaliknya
individu
yang
memiliki konsep diri negatif mengembangkan
perasaan tidak mampu dan rendah diri, individu
masih ragu dan kurang percaya
diri sehingga menumbuhkan penyesuaian
pribadi dan sosial yang buruk.
Berdasarkan penjelasan diatas,
maka individu yang memiliki konsep diri positif adalah individu yang
mengenal dirinya dengan baik sehingga mampu menerima
segala kelebihan dan kekurangan yang
ada pada dirinya, mampu
merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas serta mampu
menyesuaikan diri dengan baik. Sedangkan individu yang memiliki
konsep diri negatif adalah individu yang tidak memandang dirinya dengan sangat teratur atau terlalu stabil
serta tidak mampu menyesuaikan
diri dengan baik.
4. Dimensi Konsep Diri
Konsep diri merupakan gambaran mental yang dimiliki oleh individu. Menurut Calhoun dan Acocella (1990),
gambaran mental yang dimiliki
individu memiliki tiga dimensi yaitu pengetahuan tentang diri sendiri,
pengharapan tentang diri sendiri dan penilaian tentang diri
sendiri.
a. Pengetahuan
Dimensi
pertama dari konsep diri adalah
pengetahuan. Pengetahuan berkaitan dengan apa yang kita ketahui
tentang diri kita, termasuk dalam
hal ini jenis kelamin, suku bangsa,
pekerjaan, usia dan sebagainya.
Pengetahuan ini diperoleh individu dengan
cara membandingkan dirinya
dengan kelompok pembandingnya.
Pengetahuan ini bisa dirubah dengan cara merubah
tingkat laku individu tersebut atau dengan cara mengubah kelompok pembandingnya.
b. Pengharapan
Dimensi
kedua dari konsep diri adalah pengharapan berkaitan dengan kemungkinan
menjadi apa kita dimasa
mendatang dan sering disebut sebagai diri idela (ideal self). Setiap individu memiliki harapan yang
berbeda-beda bagi dirinya
sendiri. Harapan
dapat membangkitkan kekuatan
yang akan mendorong seseorang
untuk mencapai harapan tersebut dimasa
depan.
c. Penilaian
Dimensi
terakhir dari konsep diri adalah penilaian. Penilaian
menyangkut unsure evalusia, seberapa
besar kita menyukai
diri kita sendiri.
Semakin besar ketidak-sesuaian antara gambaran kita tentang diri kita yang
ideal (ideal self) dan yang
actual maka akan semakin terendah harga diri kita. Sebaliknya orang
yang memiliki harga diri yang tinggi akan menyukai siapa dirinya dan apa yang
dikerjakannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dimensi penilaian merupakan komponen pembentukan konsep diri yang cukup
signifikan.
Deaux
(1993)
mengatakan bahwa
kesenjangan
antara diri kita yang aktual dan diri kita yang
ideal akan menimbulkan depresi, sementara bila kesenjangan antara diri kita yang aktual
dengan diri kita yang ideal semakin
kecil maka kita akan memperoleh
kepuasan.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa konsep diri yang
dimiliki setiap individu
terdiri dari 3 dimensi, yaitu
pengetahuan mengenai diri sendiri, penilaian mengenai diri sendiri, dan harapan mengenai diri sendiri. Pngetahuan adalah apa yang
diketahui individu tentang dirinya
sendiri yang diperoleh dengan cara membandingkan
dirinya dengan kelompok pembanding. Pengharapan adalah apa yang diinginkan individu dimasa yang akan datang Penilaian adalah pengukuran
yang dilakukan individu terhadap dirinya saat ini
dengan apa yang menurutnya dapat
terjadi dan bagaimana perasaaan
individu terhadap dirinya sendiri.
5. Perubahan Konsep Diri
Fitts & Hurlock (dalam
Eliana, 2003) mengatakan bahwa konsep diri individu secara kontinu akan berkembang dan mengalami perubahan
sepanjang kehidupan hingga mencapai perkembangan
tertentu yang relatif konsisten. Sulit bagi seseorang untuk menilai keadaan
dirinya belum stabil.
Konsep diri yang stabil sangat penting bagi remaja sebagai
bukti keberhasilan remaja (dalam
Eliana,
2003) ada beberapa faktor yang menyebabkan
konsep diri menjadi tidak stabil
yaitu faktor perubahan fisik,
lingkungan, dan peran (role).
Pada masa pubertas, remaja mengalami
beberapa perubahan fisik yang mendadak disertai
dengan perubahan mental. Pada masa pubertas, konsep diri
akan berubah dan hal ini merupakan hal yang biasa terjadi dalam
kehidupan seseorang. Perubahan lingkungan juga bisa mempengaruhi
perubahan konsep diri. Misalnya anak yang harus berpisah dengan keluarganya
karena kuliah di tempat lain. Pengalaman ditempat yang baru, tentu berbeda
dengan pengalaman ketika tinggal
dengan keluarga.
Perubahan peran juga dapat merubah
konsep diri. Hal ini terjadi apabila
individu terpaksa menjalani peran itu atau karena individu tidak siap menjalani peran baru
tersebut. Perubahan peran akan menyebabkan individu mempertanyakan siapa dirinya, selain itu perubahan
peran akan menimbulkan
masalah yang berkaitan dengan hubungan interpersonal sehingga
pada akhirnya akan meningkatkan
identitas diri yang negatif (Shereran & Abraham dalam Baron,
1997). Adanya
perbedaan tuntutan peran antara
laki-laki dengan perempuan
oleh keluarga, sekolah dan masyarakat juga dapat
mempengaruhi konsep
diri seseorang. Pria sering diharapkan
untuk menjadi kuat, tidak cengeng dan tahan menghadapi kehidupan sedangkan
wanita dibenarkan untuk bersikap lembut atau menangis.
Dengan kata lain peran jenis kelamin
turut mempengaruhi konsep diri individu.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat
disimpulkan bahwa konsep diri yang dimiliki setiap individu akan terus berkembang
dan mengalami perubahan hingga mencapai perkembangan tertentu yang relatif konsisten. Beberapa faktor yang
dapat menyebabkan
konsep
diri
menjadi
tidak stabil atau
berubah
yaitu : perubahan fisik,
perubahan lingkungan dan perubahan peran.
B. PENYESUAIAN DIRI
II..
1. Defenisi Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri dalam bahasa aslinya dikenal
dengan istilah adjustment atau personal adjustment. Menurut Schneiders (dalam Ali & Asrori,
2004) penyesuai diri dapat ditinjau dari
3 sudut pandang, yaitu :
1. Penyesuaian diri sebagai
adaptasi (Adaptation)
Dilihat dari sudut pandang ini, penyesuaian diri
cenderung diartikan sebagai usaha untuk mempertahankan diri secara fisik, fisiologis, atau
biologis.
2. Penyesuaian diri sebagai
konformitas (Conformity)
Dalam sudut pandang ini, setiap individu
selalu diarahkan untuk menghindari
penyimpangan perilaku, baik secara moral, sosial, maupun emosional agar mereka tidak ditolak oleh lingkungannya dengan cara mengikuti norma-norma
yang berlaku.
3. Penyesuaian diri sebagai
penguasaan (Mastery)
Dalam sudut
pandang ini, penyesuaian diri diartikan sebagai kemampuan untuk merencanakan dan mengorganisasikan respon dalam cara
tertentu sehingga konflik-konflik, kesulitan
dan frustasi tidak terjadi. Dengan kata lain, penyesuaian diri diartikan sebagai kemampuan individu menghadapi
realitas hidup dengan
cara yang baik,
akurat sehat dan mampu
bekerjasama dengan orang lain secara
efektif dan efisien, serta mampu
memanipulasi faktor lingkungan sehingga dorongan emosi, dan kebiasaan menjadi lebih terkendali dan terarah.
Berdasarkan tiga sudut pandang
diatas, penyesuaian diri dapat diartikan sebagai suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan tingkah laku dapat diartikan
sebagai suatu proses yang mencakup
respon-respon mental dan tingkah laku yang diperjuangkan individu
agar dapat menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan,
frustasi,
konflik, serta
untuk menghasilkan keselarasan
antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dari lingkungan tempat
individu berada.
Menurut Mu’tadin (2005) penyesuai diri merupakan salah satu persyaratan bagi terciptanya kesehatan
jiwa atau mental individu. Dalam proses penyesuaian
diri, individu mengadakan interaksi dengan lingkungannya. Interaksi ini dapat berupa individu mengubah dirinya sesuai dengan
keadaan lingkungan (penyesuaian pasif) atau mengubah lingkungan
sesuai dengan keadaan dirinya sendiri (penyesuaian aktif) (Gerungan dalam Sobur, 2005).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu
proses dinamis yang
bertujuan untuk mengubah perilaku individu agar
dapat menghadapi kebutuhan
dari dalam dirinya,
ketegangan, frustasi serta konflik sehingga hubungan individu dengan lingkungannya menjadi
lebih harmonis.
2. Karakteristik Penyesuaian Diri
Tidak selamanya individu berhasil
dalam melakukan penyesuaian diri, karena kadang-kadang ada rintangan tertentu
yang menyebabkan individu tidak berhasil melakukan penyesuaian diri. Rintangan-rintangan tersebut bisa berasal
dari dalam diri individu atau bisa juga berasal dari luar diri individu. Menurut
Hartono dan Sunarto (2006),
penyesuaian diri dapat
dilakukan secara
baik dan buruk.
a.
Penyesuaian Diri yang Baik
Menurut Hartono & Sunarto
(2006) individu yang mampu
melakukan penyesuaian diri dengan
baik ditandai dengan hal-hal sebagai
berikut :
1. Tindak menunjukkan adanya ketegangan emosional
2. Tidak menunjukkan mekanisme–mekanisme
psikologis
3. Tidak menunjukkan adanya frustasi pribadi
4. Memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri
5. Memiliki kemampuan
untuk belajar
6. Menghargai pengalaman
7. Bersikap
realistik dan obyektif
Hal yang sama juga
diungkapkan oleh Schneiders (1964)
yang mengatakan bahwa penyesuaian diri yang baik memiliki 7
karakteristik. Adapun 7
karakteristik penyesuaian diri yang normal
menurut scneiders (1964), antara
lain:
1. Tidak menunjukkan emosi yang
berlebihan (absence of
ecessive
emotionality)
Penyesuaian diri yang normal ditandai dengan tidak adanya emosi yang berlebihan atau emosi yang merusak.
Individu mampu menanggapi berbagai situasi atau masalah
dengan emosi yang tenang dan
terkontrol.
2. Tidak menunjukkan mekanisme
psikologis
(absence of psychological mechanisms)
Dalam menghadapi
masalah ataupun konflik,
individu yang memiliki penyesuaian diri yang normal akan menunjukkan reaksi berterus
terang
daripada
reaksi yang disertai dengan mekanisme-mekanisme psikologis seperti rasionalisasi, proyeksi, sour-grape, atau kompensasi.
3. Tidak menunjukkan perasaan frustasi pribadi
(absence
of
the
sense
of
personal frustration)
Penyesuaian diri
yang normal sebagian besar
ditandai dengan perasaan bebas dari frustasi pribadi.
Perasaan frustasi hanya akan membuat individu
mengalami kesulitan
dan kadangkala tidak memungkinkan individu
untuk beraksi secara normal
terhadap situasi atau masalah.
4. Adanya pertimbangan rasional dan pengarahan diri (rational deliberation and self direction)
Individu yang melakukan penyesuaian diri yang normal biasanya
mampu
mempertimbangkan masalah, konflik dan frustasi secara rasional
serta mampu mengarahkan dirinya
untuk menyelesaikan masalah yang muncul.
5. Kemampuan
untuk belajar (ability to learn)
Proses
penyesuaian diri yang normal ditandai
dengan sejumlah pertumbuhan atau
perkembangan yang berhubungan dengan
cara menyelesaikan situasi- situasi
yang penuh konflik, frustasi dan ketegangan.
6. Memanfaatkan pengalaman (utilization of past experience)
Penyesuian
diri yang normal ditandai dengan kemampuan
individu untuk belajar dan memanfaatkan
pengalaman masa lalu
dalam menghadapi tuntutan
situasi yang ada.
7. Sikap realistik dan
objektif (realistic and objective atitude)
Karakteristik ini berhubungan dengan orientasi individu dalam menghadapi kenyataan. Sikap ini didasarkan pada proses belajar,
pengalaman masa lalu
dan pemikiran rasional yang memungkinkan individu
untuk menilai dan menghargai situasi, masalah, maupun
keterbatasan-keterbatasan yang ada.
Menurut Hartono & Sunarto
(2006) penyesuaian diri
yang baik dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti
:
1. Menghadapi masalah secara langsung
Dalam situasi ini individu secara langsung menghadapi
masalahnya dengan segala akibatnya.
Individu melakukan segala tindakan sesuai
dengan masalah yang dihadapinya. Misalnya
seseorang mahasiswa terlambat menyerahkan
tugas karena sakit maka dia memberitahukan
kepada dosennya apa yang menjadi
penyebabnya.
2. Melakukan penjelajahan ( eksplorasi)
Dalam situasi ini individu mencari berbagai pengalaman untuk dapat menghadapi dan memecahkan masalah. Misalnya
seorang mahasiwa yang merasa kurang mampu dalam
mengerjakan tugas
akan
mencari bahan untuk menyelesaikan tugas
tersebut dengan
cara membaca buku,
konsultasi dan diskusi.
3. Coba-coba (trial
and eror )
Dalam cara ini individu melakukan
suatu tindakan coba-coba
dalam arti kalau menguntungkan
akan diteruskan dan kalau gagal tidak diteruskan.
4. Mencari pengganti ( substitusi)
Jika individu merasa gagal dalam menghadapi masalah, maka ia dapat
memperoleh penyesuaian dengan jalan mencari
pengganti. Misalnya gagal nonton film digedung
bioskop, dia pindah nonton tv.
5. Menggali kemampuan
diri
Dalam hal ini individu mencoba menggali
kemampuan-kemampuan
khusus yang ada dalam dirinya, kemudian mengembangkannya sehingga dapat membantu penyesuaian diri. Misalnya seorang mahasiwa
yang mengalami kesulitan dalam keuangan,
berusaha mengembangkan
kemampuannya
dengan cara memberikan les private. Dari usahanya tersebut ia dapat mengatasi kesulitan keuangannya.
6. Belajar
Dengan belajar
individu akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang dapat membantunya
dalam menyesuaikan
diri.
Misalnya
seorang
guru akan lebih dapat menyesuaikan
diri dengan banyak belajar tentang berbagai pengetahuan keguruan.
7. Inhibisi dan pengendalian
diri
Dalam situasi ini individu berusaha memilih tindakan
mana yang harus
dilakukan, dan tindakan mana yang tidak perlu dilakukan. Cara inilah yang disebut dengan inhibisi. Disamping
itu individu harus mampu
mengendalikan dirinya dalam melakukan tindakan.
8. Penyesuaian diri dengan perencanaan yang cermat
Dalam situasi ini individu melakukan tindakan-tindakan berdasarkan suatu
perencanaan cermat. Keputusan akan diambil setelah
mempertimbangkan
terlebih dahulu untung ruginya.
Singkatnya individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik/normal adalah individu yang tidak menunjukkan
emosi yang berlebihan, tidak menunjukkan mekanisme
psikologis, tidak menunjukkan frustasi
pribadi, memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri, memiliki kemampuan untuk
belajar dapat memanfaatkan
pengalaman serta memiliki sikap yang realistik dan objektif.
Penyesuaian diri yang baik dapat
dilakukan dengan berbagai cara seperti dengan menghadapi masalah secara langsung,
eksplorasi, coba-coba, mencari
pengganti, menggali kemampuan diri, belajar,
inhibisi dan pengendalian diri serta perencanaan yang cermat.
b.
Penyesuaian Diri yang Buruk
Menurut Hartono & Sunarto
(2006) individu yang gagal melakukan
penyesuaian diri yang baik
akan melakukan penyesuaian yang buruk. Penyesuaian diri yang buruk
ditandai dengan reaksi-reaksi
sebagai berikut :
1. Reaksi bertahan (defence reaction)
Individu berusaha
mempertahankan dirinya,
seolah-olah tidak mengalami kegagalan. Bentuk khusus dari reaksi ini
antara lain :
- Rasionalisasi, yaitu
reaksi bertahan dengan
cara mencari-cari alasan
untuk membenarkan tindakannya.
- Represi, yaitu
berusaha
untuk
menekankan pengalaman yang tidak menyenangkan kedalam
alam tidak
sadar.
Individu berusaha melupakan pengalamannya
yang kurang menyenangkan.
- Proyeksi, yaitu
melemparkan sebab kegagalan
dirinya kepada pihak lain untuk mencari alasan yang
dapat diterima.
- Teknik anggur
asam atau sour grape, yaitu dengan memutar-balikkan kenyataan.
2. Reaksi menyerang (Aggressive Reaction )
Orang yang memiliki penyesuaian diri yang buruk menunjukkan tingkah
laku yang sifatnya menyerang
untuk menutupi kegagalannya. Ia tidak mau
menyadari kegagalannya. Reaksinya
selalu tampak dalam tingkah laku :
- Senang
mengganggu orang lain
- Selalu
membenarkan
diri sendiri
- Ingin
memiliki segalanya
- Menggertak baik dengan ucapan
maupun dengan perbuatan.
- Menunjukkan
sikap permusuhan secara terbuka
- Menunjukkan
sikap menyerang dan merusak
- Keras
kepala dalam perbuatannya
- Bersikap
balas dendam
- Merampas hak orang lain
- Marah
secara berlebihan
3.
Reaksi melarikan diri (Escape Reaction)
Dalam reaksi ini individu yang mempunyai penyesuaian diri yang salah atau
buruk akan melarikan diri dari
situasi yang menimbulkan kegagalannya, reaksinya terlihat dalam
tingkah laku sebagai berikut :
- Fantasi, yaitu memuaskan keinginan yang tidak tercapai
dalam bentuk angan-angan
(seolah-olah sudah tercapai)
- Regresi, yaitu individu kembali kepada tingkah laku yang menyerupai perilaku ditingkat perkembangan
yang lebih awal.
- Banyak
tidur
- Minuman minuman keras
- Menjadi
pecandu ganja dan narkotik
- Bunuh
diri
Singkatnya individu yang memiliki penyesuaian diri yang buruk menunjukkan ciri-ciri yang berlawanan dengan
penyesuaian diri yang baik/normal dan selalu disertai
dengan reaksi-reaksi bertahan, menyerang serta melarikan
diri dalam menghadapi
situasi, masalah, konflik maupun ketegangan yang ada.
3. Faktor-Faktor yang
mempengaruhi Proses Penyesuaian Diri
Menurut Hartono & Sunarto (2006) seorang individu tidak dilahirkan dalam keadaan sudah mampu menyesuaikan diri atau tidak mampu menyesuaikan
diri. Banyak individu yang menderita dan tidak mampu mencapai kebahagian dalam hidupnya karena ketidakmampuannya dalam menyesuaikan diri baik dalam kehidupan keluarga, sekolah, pekerjaan
dan dalam masyarakat pada umumnya
(Mu’tadin, 2005).
Schneiders (dalam Ali dan Asrori, 2004), mengatakan setidaknya
ada lima faktor yang dapat mempengaruhi proses penyesuaian diri, yaitu :
1. Kondisi Fisik
Aspek-aspek yang
berkaitan dengan kondisi fisik
yang
dapat mempengaruhi penyesuaian diri seseorang
adalah :
a. Hereditas dan konstitusi fisik
Semakin
dekat kapasitas pribadi, sifat atau
kecenderungan yang berkaitan dengan konstitusi
fisik maka semakin besar pengaruhnya
terhadap penyesuaian diri. Bahkan dalam hal
tertentu kecenderungan kearah malasuai diturunkan secara genetis melalui temperamen.
Contohnya, sifat pemarah akan mempengaruhi kemampuan individu
dalam menyesuaikan diri. Faktor lain yang berkaitan dengan
konstitusi fisik dan dapat mempengaruhi penyesuaian
diri adalah inteligensi dan imaginasi.
b. Sistem utama
tubuh
Sistem utama tubuh
yang memiliki pengaruh
terhadap penyesuaian diri adalah sistem
saraf, kelenjar, dan otot. Sistem saraf yang sehat dan normal merupakan syarat mutlak bagi fungsi psikologis agar dapat berfungsi secara maksimal dan memiliki pengaruh yang baik
pula terhadap penyesuaian diri individu dan sebaliknya.
c. Kesehatan fisik
Kondisi fisik
yang sehat dapat menimbulkan penerimaan diri, percaya diri, harga diri yang sangat penting bagi proses penyesuaian diri. Contohnya individu yang sangat lelah akan kurang percaya diri dan kurang mampu
melaksanakan tugas dengan baik dan penuh tanggung jawab.
2. Kepribadian
Unsur-unsur keperibadian yang
penting pengaruhnya terhadap penyesuaian diri adalah
:
a. Kemauan dan kemampuan untuk berubah
Sebagai suatu proses yang dinamis dan berkelanjutan, penyesuaian diri membutuhkan kecenderungan untuk berubah dalam bentuk kemauan, perilaku dan sikap. Oleh
sebab itu, semakin kaku dan tidak ada
kemauan serta kemampuan seseorang untuk merespon
lingkungan,
maka semakin besar kemungkinannya untuk mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri.
b. Pengaturan diri
Kemampuan mengatur diri dapat
mencegah individu dari keadaan malasuai
dan penyimpangan kepribadian. Kemampuan pengaturan diri ini dapat
mengarahkan kepribadian normal mencapai pengendalian diri dan realisasi diri.
c. Realisasi diri
Proses penyesuaian diri sangat erat
kaitannya dengan perkembangan
kepribadian. Jika
perkembangan kepribadian berjalan normal sepanjang masa kanak-kanak dan remaja maka didalamnya tersirat potensi latent baik dalam bentuk sikap, tanggung jawab, penghayatan
nilai-nilai, penghargaan diri
dan
lingkungan
serta
karakteristik
lainnya menuju pembentukan kepribadian yang dewasa.
d. Inteligensi
Baik-buruknya
penyesuaian diri individu ditentukan oleh kapasitas inteligensinya,
sebab inteligensi dapat mempengaruhi perkembangan gagasan, prinsip dan tujuan. Contohnya, kualitas pemikiran individu memungkinkan
individu tersebut
untuk memilih dan mengambil keputusan penyesuaian diri secara inteligen dan akurat.
3. Pendidikan
Unsur-unsur pendidikan
yang
dapat
mempengaruhi
penyesuaian
diri
individu adalah :
a. Belajar
Kemauan belajar merupakan
unsur penting dalam penyesuaian diri individu karena pada umumnya respon-respon
dan sifat kepribadian yang diperlukan bagi
penyesuaian diri
diperoleh dan
menyerap kedalam diri individu melalui proses belajar.
b. Pengalaman
Pengalaman yang menyehatkan dan
pengalaman traumatik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap proses penyesuian diri. Pengalaman yang menyehatkan
dapat dijadikan dasar untuk ditransfer
oleh individu ketika harus menyesuaikan
diri dengan lingkungan barunya. Sementara
pengalaman traumatik hanya akan membuat individu
cenderung ragu- ragu, kurang percaya diri, rendah diri, atau bahkan merasa takut ketika harus menyesuaikan
diri dengan lingkungan yang baru.
c. Latihan-Latihan
Latihan merupakan proses belajar yang
diorientasikan kepada perolehan keterampilan atau kebiasaan. Tidak jarang seseorang yang sebelumnya memiliki kemampuan penyesuaian diri yang kurang baik
dan kaku, tetapi karena melakukan
latihan sungguh-sungguh akhirnya lambat laun menjadi bagus dalam
melakukan penyesuaian diri dengan
lingkungan yang baru.
d. Determinasi diri
Kemampuan individu dalam
menentukan dirinya sendiri
sangat penting dalam proses
penyesuaian
diri.
Contohnya,
individu
yang
mengalami penolakan dari
orang tuanya
menyebabkan
individu tersebut merasa ditolak
oleh orang
lain ataupun lingkungannya. Dengan determinasi diri, individu tersebut secara bertahap dapat mengatasi penolakan
maupun pengaruh buruk lainnya yang muncul
karena penolakan orang tua tersebut.
4. Lingkungan
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap penyesuaian diri meliputi:
a. Lingkungan keluarga
Lingkungan keluarga
merupakan lingkungan
utama yang
sangat penting dalam proses penyesuaian diri individu. Unsur-unsur dalam keluarga, seperti interaksi orang tua
dengan anak, interaksi
anggota keluarga, peran sosial dalam
keluarga, karakteristik anggota keluarga,
dan gangguan dalam keluarga akan berpengaruh terhadap penyesuaian
diri individu.
b. Lingkungan Sekolah
Lingkungan
sekolah juga dapat menjadi kondisi
yang memungkinkan berkembang
atau terhambatnya proses perkembangan penyesuaian diri individu. Pada umumnya sekolah dipandang sebagai sarana yang berguna untuk mempengaruhi kehidupan
dan perkembangan intelektual, sosial,
nilai-nilai,
sikap dan moral siswa.
c. Lingkungan Masyarakat
Lingkungan masyarakat juga dapat mempengaruhi
perkembangan penyesuaian diri
individu. Konsistensi nilai-nilai,
sikap, aturan-aturan, norma moral,
dan
perilaku
masyarakat
akan di identifikasi
oleh
individu yang berada dalam masyaarakat tersebut
sehingga akan berpengaruh terhadap perkembangan penyesuaian dirinya.
d.
Agama dan Budaya
Agama
berkaitan erat dengan faktor budaya. Agama memberikan
sumbangan nilai-nilai, keyakinan, yang memberi makna sangat mendalam, tujuan serta kestabilan dan keseimbangan individu. Budaya merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan individu,
hal ini dapat
dilihat dari karakteristik budaya
yang diwariskan kepada individu
melalui berbagai media dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Dengan demikian baik agama maupun budaya memiliki pengaruh yang berarti bagi
perkembangan penyesuaian diri individu.
Berdasarkan penjelasan
diatas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti kondisi
fisik, kepribadian, pendidikan,
lingkungan, agama dan budaya.
4.
Aspek-Aspek Penyesuaian Diri
Menurut Mu’tadin (2005)
penyesuaian diri memiliki
dua aspek, yaitu :
1. Penyesuaian Pribadi
Penyesuian
pribadi adalah kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan
yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Ia menyadari sepenuhnya
siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya dan mampu bertindak objek sesuai dengan kondisi
dirinya
tersebut. Keberhasilan
penyesuaian pribadi ditandai dengan tidak adanya rasa benci, lari dari kenyataan atau tanggung jawab,
dongkol, kecewa, atau tidak percaya pada kondisi dirinya. Kehidupan kejiwaaannya ditandai dengan tidak adanya kecemasan yang menyertai
rasa bersalah,
rasa tidak puas,
rasa kurang serta
keluhan terhadap nasib yang dialaminya.
Sebaliknya kegagalan penyesuaian diri pribadi ditandai
dengan keguncangan emosi, kecemasan, ketidakpuasan
dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya.
2. Penyesuaian Sosial
Penyesuaian
sosial dapat diartikan sebagai
keberhasilan seseorang dalam menyesuaikan
diri dengan orang lain pada umumnya dan
terhadap kelompoknya pada khususnya. Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial
tempat individu berinteraksi dengan
orang lain. Hubungan-hubungan
tersebut mencakup hubungan dengan masyarakat disekitar tempat tinggalnya, keluarga, sekolah,
teman atau masyarakat disekitar tempat tinggalnya, atau masyarakat luas secara umum. Dalam penyesuaian sosial, individu harus
mematuhi
norma-norma dan peraturan
sosial yang
berlaku
di masyarakat.
Biasanya orang
yang
berhasil
melakukan
penyesuaian sosial dengan baik akan mengembangkan sikap sosial yang menyenangkan, seperti bersedia untuk membantu
orang lain, meskipun mereka sendiri mengalami kesulitan.
Berdasarkan penjelasan
diatas dapat disimpulkan
bahwa
ada
2
aspek
dalam penyesuaian diri. Pertama penyesuaian pribadi, yaitu kemampuan individu untuk menerima dirinya
sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis
antara individu dengan lingkungan disekitarnya. Kedua adalah penyesuaian
sosial, yaitu keberhasilan seseorang dalam menyesuaikan diri dengan orang lain secara umum
dan dengan kelompoknya secara khusus.
BAB IV
PENUTUP
Demikian makalah ini kami
tulis, semoga bisa memberi manfaat dan dorongan untuk kita dalam membantu
menambah wawasan mengenai teori dan konsep diri dan penyesuaian diri. Mohon maaf
jika banyak kesalahan dalam penulisan. Terimakasih.
Tag: #Teori konsep diri.pdf, #penyesuaian diri.pdf,
#konsep diri.doc #penyesuaian diri.doc
Sumber:
http://repository.usu.ac.id
0 komentar:
Posting Komentar