MAKALAH
IKHTILAF AL- HADITS
(HADITS YANG
BERTENTANGAN DAN PENYELESAIANNYA)
Disusun Oleh:
Fauzul Mustaqim - UIN AR-RANIRY DARUSSALAM BANDA ACEH 2014
Editor:
Makalah-makalah.com
KATA
PENGANTAR
Dengan ucapan puji dan syukur kepada ALLAH SWT
yang telah memberikan segala kesempatan dan kemudahan sehingga makalah ini
dapat terselesaikan walaupun masih banyak kekurangan dari berbagai segi.
Shalawat dan salam kepada junjungan alam Nabi Muhammad SAW yang telah
merubah budaya adat dan tingkah laku yang konservatif dan tercela kedunia
yang penuh norma toleran, mulia dan modern.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak
terdapat kekurangan baik dari segi penulisan maupun kutipan, untuk itu segala
kritikan dan saran yang bersifat membangun akan penulis terima dengan senang
hati.
Wassalam,
Penulis
Husnawiyah
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR ..................................................................................
i
DAFTAR
ISI ..................................................................................................
ii
BAB I
PENDAHULUAN ............................................................................
1
A. Latar Belakang Penulis.........................................................................
1
B. Rumusan
Masalah................................................................................ 2
C. Tujuan
.................................................................................................. 2
BAB II
PEMBAHASAN ..............................................................................
3
A. Pengertian Ikhtilaf Al- Hadits
........................................................... 3
B. Pendekatan ikhtilaf al-hadits menurut
para ulama ............................
4
a. Al-
Jam’u wa Al- tawfiq ( Kompromi ) ....................................... 5
b. Tarjih
( memilih yang terkuat ) .....................................................
6
c. Nasikh
wa Al- Mansukh ( Membatalkan salah satu dan
Mengamalkan
yang lain ) ............................................................. 8
BAB III PENUTUP ......................................................................................
11
A. Kesimpulan
.......................................................................................
11
B. Saran .................................................................................................
11
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
12
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Hadis adalah sumber
hukum kedua bagi umat Islam. Kedudukannya merupakan penjelas bagi al-Quran.
Umat Islam tidak bisa menerapkan ajaran dari al-Quran tanpa petunjuk secara
rinci dari hadis. Berbagai ibadah utama dalam Islam perintahnya ada dalam
al-Quran, seperti shalat, puasa, zakat dan lain-lain. Perintah itu berbentuk
umum, sementara hadis datang dengan rincian yang jelas. Hadis sangat diperlukan
untuk dapat mengamalkan ajaran Islam secara sempurna. Ibadah
shalat lima waktu perintahnya dalam al-Qur‟an,
teknis pelaksanaanya hadis yang menjelaskan. Pengamalan perintah al-Quran tidak
bisa terlepas dari hadis.
Hadis Nabi Muhammad yang sampai pada kita hari ini banyak
jumlahnya. Tidak semuanya hadis Nabi itu dapat kita terima secara mutlak. Hal
ini disebabkan hadis Nabi tersebut
masih terbagi ke dalam berbagai bentuk hadis,
seperti hadits mutawatir, sahih, hasan dan dhaif serta maudhu‟. Dalam
penggunaanya hujjah, hanya hadits mutawatir, sahih dan hasan yang bisa
dipedomani. Ke tiga hadis ini adalah maqbul, diterima sebagai hujjah. Tentunya
kita sepakat bahwa hadis yang dapat dijadikan sebagai hujjah adalah hadis
yang termasuk kategori maqbul. Namun hadis
maqbul tidak dapat diterima begitu saja karena pada hadis
maqbul terdapat persoalan-persoalan yang
meragukan untuk dijadikan sebagai
hujjah dalam menyelesaikan masalah. Persoalannya
adalah terdapatnya pada hadis maqbul riwayat-riwayat yang antara
satu dengan yang lainnya tampak saling bertentangan
artinya menyangkut masalah yang dihadapi tersebut disatu pihak ditemukan
hadis dengan ketentuan hukum yang membolehkan atau bahkan memerintahkan.
Sedangkan dipihak lain ditemukan pula hadis dengan ketentuan hukum yang
melarang.Dalam proses perkembangan
ilmu hadist mengalami beberapa
kemajuan dalam tingkat kualitasnya, hal ini didukung karena adanya perkembangan
pemikiran yang lahir dari para pemikir-pemikir modern yang berkecimpung dalam
dunia penelitian hadist. Kitab-kitab khusus yang membahas tentang hadist-hadist,
baik dari segi pembagiannnya ataupun ilmu-ilmu yang
mendukung adanya pembukuan
hadist. Dan juga dalam
perkembangannya hadist juga membutuhkan berbagai ilmu yang membahas
tentang bagaimana caranya memahami
hadist.
Dalam hal ini penulis
bermaksud menguraikan seputar masalah ilmu Ikhtilaf Al-Hadist. Hal ini disebabkan
banyak diantara hadist-hadist yang ikhtilaf yang mungkin hanya karena perbedaan
pemahaman terhadap hadist tersebut. Oleh karenanya dalam menyelesaikan
berbagai masalah seputar hadist-hadist Ikhtilaf dibutuhkan ilmu Ikhtilaf al hadist. Adanya
hadis-hadis mukhtalif (bertentangan)
menyangkut suatu masalah tertentu, secara
praktis, hal ini dapat menimbulkan
kebingungan dalam mengambil kepastian ajaran (ketentuan hukum) yang
mengatur masalah tersebut, yang manakah di antaranya yang harus diikuti dan
diamalkan. Agar kita tidak terjebak di dalam memahami hadits yang kelihatannya
bertentangan, maka kita perlu membahas suatu kajian hadis yaitu Ikhtilaf al Hadis dan
penyelesaiannya. Dalam makalah ini dibahas pengertian ikhtilaf al-Hadis, sebab terjadinya Ikhtilaf al Hadis, dan kaidah
penyelesaian ikhtilaf al-Hadis.
B.
Rumusan masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas penulis akan merumuskan dasar masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
maksud dari Ikhtilaf Al-hadits.
2. Bagaimana
penyelesaian Ikhtilaf Al-hadits menurut para ulama.
3. Metode
apa yang dilakukan dalam penyelesaian Ikhtilaf Al-Hadits
4. Menunda
sebelum datangnya pendapat yang lain
C.
Tujuan.
1. Untuk
mengetahui maksud dari Ikhtilaf Al-hadits.
2. Untuk
mengetahui penyelesaian Ikhtilaf Al-hadits menurut para ulama.
3. Untuk
mengetahui metode yang dilakukan dalam penyelesaian Ikhtilaf Al-Hadits
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian
Ikhtilaf Al-Hadits
Munculnya ilmu ikhtilaf al-hadits, para
ulama hadits generasi awal telah berbicara banyak tentang ikhtilaf hadits ini
serta telah merumuskan kaidah-kaidah penyelesaiannya. Pada masa sistematisasi,
perumusan dan penulisan, ilmu yang berhubungan dengan hadits yang mukhtalif ini
merupakan bagian dari pembahasan ilmu usul fikih,’ulum al- hadits. Pada prinsip
dasarnya, ikhtilaf terjadi antara dua hadits dalam kasus yang sama, walaupun
dalam kenyataannya ketika dilakukan pembahasan melibatkan lebih dari dua
hadits.[1]
Secara etimologi, kata Ikhtilaf berasal dari kata ikhtilafa-yakhtalifu- ikhtilaf, adalah isim fa‟il
(kata sifat) yang berarti berselisih atau bertentangan. Dengan demikian, Ikhtilaf al hadis adalah hadis yang
bertentangan satu sama lain[2]. Menurut para ulama Ikhtilaf al
hadis adalah hadis-hadis yang tampak saling bertentangan satu sama lain.
Mukhtalif artinya
yang bertentangan atau yang berselish. Mukhtalif
Al-Hadits adalah
hadits yang sampai pada kita namun saling bertentangan dengan maknanya satu
sama lain.Sedangkan definisi menurut istilah adalah hadits yang diterima namun
pada zhahirnya kelihatan bertentangan dengan hadits maqbul lainnya dalam
maknanya, akan tetapi memungkinkan untuk dikompromikan antara keduanya[3].
Beberapa definisi lain ikhtilaf al-Hadis yaitu:
1.
Menurut Imam Syafi‟i, ikhtilaf al-Hadis adalah dua hadis
hadis tidak bisa dikatakan bertentangan jika ada alasan yang
melatarbelakanginya, tetapi perbedaan bisa terjadi apabila tidak ada alasan
yang melatarbelakangi kecuali dengan menggugurkan salah satu. Contonya; ada dua
hadis tentang satu permasalahan, salah satu hadis
menghalalkannya dan yang lain mengharamkannya.
2.
Menurut Hakim an-Naisabur, ikhtilaf al-Hadisi adalah
bagian dari beberapa ilmu untuk mengetahui
hadis-hadis Nabi yang bertentangan dengan hadis yang
serupa, maka ulama mazhab mengambill salah satunya dari hadis yang sahih dan
yang tidak sahih, pernyataan itu mengandung pertentangan yang hakiki dan
dhahiri juga mencakup hadist yang diterima dan lemah[4].
3.
Menurut al-Nawawy dikutip oleh al-Suyuthy, hadis mukhtalif adalah
dua buah hadis yang saling bertentangan pada
makna lahiriahnya (namun makna sebenarnya bukanlah
bertentangan, untuk mengetahui makna sebenarnya tersebut) maka keduanya
dikompromikan atau di-Tarjih (untuk mengetahui
mana yang kuat di antaranya).
4.
Sebagian ulama hadis memberikan batasan dalam kategori maqbul dalam
memberikan defenisi hadis mukhtalif adalah dua buah hadis (sama-sama dalam
kategori) maqbul yang saling bertentangan pada makna lahiriyahnya (namun
sebenarnya bukanlah bertentangan) karena maksud yang dituju oleh satu dengan
yang lainnya dapat dikompromikan dengan cara yang wajar (tidak dicari-cari).[5]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang demaksud
hadis-hadis mukhtalif adalah hadis
sahih atau hadis hasan yang secara
lahiriah tampak saling bertentangan hadis sahih atau hadis hasan lainnya. Namun
makna yang sebenarnya atau maksud yang dituju oleh hadis-hadis tersebut
tidaklah bertentangan karena satu dengan lainnya sebenarnya dapat dikompromikan
atau dicari penyelesaiannya dalam bentuk naskh atautarjih.
Jadi dalam kajian Ikhtilaf al
hadis membahas hadits- hadits yang secara lahiriah saling
bertentangan (kontradiksi), untuk menghilangkan pertentangan itu harus
mengkompromikan keduanya sebagaimana halnya membahas hadits-hadits yang sukar
difahami atau diambil isinya, untuk menghilangkan kesukarannya dan menjelaskan
hakikatnya.
B.
Pendekatan ikhtilaf al-hadits menurut para ulama.
Untuk lebih jelasnya
penulis memberikan penjelasan
mengenai penyelesaian hadis-hadis yang tampak bertentangan (mukhtalif) dari beberapa pendapat ulama dapat dilakukan
melalui beberapa metode yaitu:
a. Al-
Jam’u wa Al- tawfiq ( Kompromi ).
Secara
bahasa kata Al- jam’u
berarti sesuatu yang mencakup, mengumpulkan, dan menggabungkan. Menurut
terminology ahli hadits jami’ adalah tipe penyusunan kitab-kitap hadits yang
memuat hadits-hadits yang berbagai macam masalah keagamaan seperi akidah,
hukum, perbudakan, tata cara makan dan minum, bepergian dan tinggal dirumah,
tafsir sejarah, perilaku hidup, pekerti baik dan buruk dan sebagainya[6].
Dan Al-tawfiq itu adalah menunggu sampai ada
petunjuk atau dalil lain yang dapat
menjernihkan dan menyelesaikan pertentangan. SedangkanAl-jam‟u wa al-taufiq adalah kedua hadits
yang tampak bertentangan
dikompromikan atau sama-sama diamalkan sesuai konteksnya. Yang
artinya bila memungkinkan untuk menggabungkan dan mengkampromikan antara
keduanya, maka keduanya di kompromikan dan wajib di amalkan[7].
Metode ini
dilakukan dengan cara menggabungkan dan
mengkompromikan dua hadis yang tampak bertentangan, dengan catatan bahwa dua
hadits tersebut sama-sama berkualitas
shahih. Metode ini dinilai lebih baik ketimbang melakukan tarjih (mengunggulkan salah
satu dari dua hadis yang tampak
bertentangan). Dalam salah satu
keadaan fiqh dikatakan bahwa “i’mal al qawl khairun min ihmaalihi (mengamalkan suatu
ucapan atau sabda itu lebih baik dari pada membiarkannya untuk tidak
diamalkan). Metode al-jam‟u wa al-taufiq ini
tidak berlaku bagi hadis-hadis dha‟if (lemah)
yang bertentangan dengan hadis-hadis yangshahih[8].
Dalam
pendekatan ini upaya mengkompromikan hadits mukhtalif secara umum dapat
dilakukan dengan penerapan pola umum dan khusus atau mutlaq dan muqaiyyad.
Penerapan pola khusus dapat pula dilihat kekhususan dari kontek kapan, dimana,
dan kepada siapa Nabi bersabda. Pola yang digagaskan Imam Syafi’I dan para
ulama hadits serta ulama usul ini disimpulakan dalam tiga kemungkinan:
1. Terkait
dengan konteks waktu
2. Terkait
dengan konteks ruang dan tempat
Contoh
hadits Al- Jam’u wa Al- tawfiq ( Kompromi ) adalah :
1.Hadits
tentang tata cara berwudhuk Rasulullah Saw.
Hadits ini menyatakan bahwa
Rasulullah Saw. Berwudlu membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap
kepala satu kali, sebagaimana tampak dalam hadis berikut ini :
Artinya: Rabbi’ telah bercerita
kepada kami, dia berkata: imam Al-Syafi’i memberi kabar kepada kami, Ia
berkata: Abdul Azizi ibn Muhammad telah memberi kabar kepada kami dari Zaid
ibnu Aslam dari Atho ibn Yasar dari ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW berwudhu
membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali-satu kali.
(H.R. Al-Syafi’i)
Sementara dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Nabi Saw berwudhu
dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala tiga kali,
sebagaimana terlihat dalam hadits berikut ini:
Artinya: Imam Al-Syafi’i telah
memberi kabar kepada kami, dia berkata Sufyan ibnu ‘Uyainah telah
memberi kabar kepada kami, dari Hisyam
bin Urwah dari ayahnya, dari Hamran
maulana ‘Utsman ibnu ‘Affan bahwa Nabi
Saw berwudhu dengan mengulangi tiga kali (dalam membasuh dan mengusap).
(HR Al-Syafi’i).
Kedua Riwayat tersebut tampak bertentangan namun keduanya
sama-sama sahih dan akhirnya diselesaikan dengan metode al Jam’u wa Al Taufiq.Menurut imam Syafi‟I dalam
kitab Ikhtilaful Hadist menyimpilkan bahawa ,
hadist-hadist itu tidak bisa dikatakan sebagai hadist yang benar-benar
kontradiktif. Akan tetapi bisa dikatakan bahwa
berwudhu dengan membasuh wajah
dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sudah
mencukupi, sedangkan yang lebih sempurna dalam berwudhu adalah mengulanginya
tiga kali (dalam hal membasuh wajah dan mengusap Tangan serta mengusap kepala)[10].
b.
Tarjih ( memilih yang terkuat ).
Tarjih sebagaimana dirumuskan oleh para ulama, dapat diartikan
sebagai memperbandingkan dalil-dalil yang tampak
bertentangan untuk mengetahui manakah di
antaranya yang kuat dibanding dengan yanglain[11]. At-tarjih itu meneliti dan
menentukan petunjuk hadis yang memiliki argumen yang lebih kuat.
Yang artinya bila tidak memungkinkan untuk dikompromikan maka :
a. Jika diketahui salah satunya nasikh dan
yang lainnya mansukh, maka kita dahulukan yang nasikh maka kita amalkan
dan kita tinggalkan yang mansukh.
b. Jika tidak diketahui nasikh dan mansukhnya, maka kita cari mana
yang lebih kuat diantara keduanya lalu kita amalkan, dan kita tinggalkan
yang lemah’
c. Jika tidak memungkinkan untuk ditarjih, maka tidak boleh
diamalkan keduanya sampai jelas dalil yang lebih kuat[12].
Contoh hadits Tarjih (
Memilih yang Terkuat ) yaitu :
Harus diakui bahwa
ada beberapa matan Hadits yang saling bertentangan. Bahkan ada juga yang
benar-benar bertentangan dengan Al-Quran.
1. Hadits
tentang nasib bayi perempuan yang dikubur hidup- hidup
akan berada di neraka. Sebagai contoh adalah Hadits berkut ini:
Artinya: Perempuan yang
mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya akan masuk neraka. (HR Abu Dawud)
Hadist tersebut
diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dari Ibnu Mas‟ud dan Ibn Abi Hatim. Konteks
munculnya hadist tersebut (Sabab Wurudnya) adalah bahwa Salamah
Ibn Yazid al Ju‟fi pergi bersama saudaranya
menghadap Rasulullah SAW. Seraya bertanya : “wahai Rasul sesungguhnya
saya percaya Malikah itu
dulu orang yang suka menyambung
silaturrahmi, memuliakan tamu, tapi ia meninggal dalam
keadaan Jahiliyah. Apakah amal kebaikannya
itu bermanfaat baginya? Nabi menjawab
: tidak. Kami berkata: dulu
ia pernah mengubur saudaranya perempuanku hidup-hidup
di zaman Jahiliyah. Apakah amal akan kebaikannya bermanfaat baginya? Nabi
menjawab : orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup
dan anak yang dikuburnya berada dineraka, kecuali jika perempuan
yang menguburnya itu masuk Islam, lalu Allah memaafkannya. Demikian hadist yang
diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Al Nasa‟i, dan dinilai sebagai hadis hasan
secara sanad oleh imam Ibnu Katsir[13].
Hadist tersebut dinilai Musykil dari sisi matan dan Mukhtalif
dengan Al-Quran surat al Takwir ayat 8-9 :
#sÎ)ur äoy¼âäöqyJø9$# ôMn=Í´ß ÇÑÈ Ädr'Î/ 5=/Rs ôMn=ÏGè% ÇÒÈ
Artinya: dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup
ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.(QS. At-Takwir: 8-9)
Kalau seorang
perempuan yang mengubur bayinya itu masuk ke neraka dapat dikatakan logis,
tetapi ketika sang bayi yang tidak tahu apa-apa itu juga masuk keneraka, masih
perlu adanya tinjauan ulang. Maka dari itu, hadist tersebut harus ditolak
meskipun sanadnya Hasan, dan juga karena adanya pertentangan dengan hadist lain
yang lebih kuat nilainya, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Nabi pernah ditanya oleh paman Khansa‟, anak
perempuan Mu‟awiyyah al Sharimiyyah: Ya Rasul, siapa yang akan masuk surga? Beliau
menjawab: Nabi Muhammad SAW akan masuk surga, orang yang mati Syahid juga akan
masuk surga, anak kecil juga akan masuk surga, anak perempuan yang dikubur
hidup-hidup juga akan masuk surga. (HR. Ahmad).
C.
Nasikh wa Al- Mansukh ( Membatalkan salah satu dan Mengamalkan yang lain
)
Pendekatan
ini dapat dilakukan jika jalan taifiq tidak dapat dilakukan, data sejarah kedua
hadits yang ikhtilaf dapat diketahui dengan jelas. Tanpa diketahui taqaddum dan
taakhkhur dari kedua hadits itu metode nasakh mustahil dapat dilakukan,dan
tidak lupu dari perhatian ahli hadits baik yang berhubungan dengan kaidah
tentang nasakh maupun pengumpulan hadits yang berkaitan dengan nasakh itu
sendiri.
Nasakh
dapat diketahui dengan beberapa cara yaitu:
1. Ada
penegasan dari Rasulullah, seperti nasakh larangan berziarah kubur.
2. Adanya keterangan yang berdasarkan pengalaman, seperti
keterangan bahwa terakhir kali rasulullah tidak berwudhuk ketka hendak shalat,
setelah mengonsumsi makanan yang dimasak dengan api.
3. Berdasarkan fakta sejarah, seperti batalnya puasa karena
berbekam, lebih awal datang daripada hadits yang mengatakan bahwa Rasulullah
sendiri berbekam dalam bulan puasa.
4. Berdasarkan
ijmak, seperti hokum mati bagi orang yang minum arak sebanyak empat kali.
Nasakh ini diketahui secara ijmak oleh seluruh sahabat bahwa hukum sepeti itu
sudah dimansukh.[14]
Pentingnya ilmu nasakh dan mansukh hadits bagi siapa saja yang ingin mengkaji
hukum- hukum syariah, karena tidak mungkin dapat menyimpulkan suatu hukum tanpa
mengetahui dalil nasakh dan mansukh. Oleh sebab itu para Ulama
mendefinisakannya sebagai berikut : Ilmu
Nasakh dan Mansukh adalah
ilmu yang membahas tentang hadits- hadits yang bertentangan yang tidak mungkin
dikompromikan, dimana salah satu hadits dihukumi sebagai nasikh dan
yang lain sebagai mansukh. Hadits
yang lebih dahulu disebut mansukh, dan
hadits yang datang kemudian menjadi nasikh[15].
Namun perlu diingat
bahwa proses nasakh dalam hadits hanya terjadi disaat
nabi Muhammad Saw masih hidup. Sebab yang berhak menghapus ketentuan hukum
syara’, sesungguhnya hanyalah syari’, yakni Allah dan
Rasulullah. Nasakh hanya terjadi ketika pembentukan syari’at sedang berproses.
Artinya, tidak akan terjadi setelah ada ketentuan hukum yang tetap (ba’da istiqroril hukmi)[16].
Salah satu contoh dua hadis yang saling bertentangan dan bisa diselesaikan
dengan metode naskh-mansukh adalah hadist
tentang hukum makan daging kuda: “ yaitu
larangan makan daging kuda dan boleh memakan daging kuda”.
Pertentangan
ini mesti dihilangkan dengan
cara nasakh. Hukum keharaman
makan daging kuda pada Hadîts pertama telah di-nasakh-kan oleh hukum kebolehan makan daging kuda pada Hadîts Jâbir Ibn Abdallah
yang datang setelahnya.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpula
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa yang demaksud hadis-hadis mukhtalif adalah hadis sahih
atau hadis hasan yang secara lahiriah
tampak saling bertentangan hadis sahih atau hadis hasan lainnya. Namun makna
yang sebenarnya atau maksud yang dituju oleh hadis-hadis tersebut tidaklah
bertentangan karena satu dengan lainnya sebenarnya dapat dikompromikan atau
dicari penyelesaiannya dalam bentuk naskh atautarjih.
Jadi dalam kajian Ikhtilaf al
hadis membahas hadits- hadits yang secara lahiriah saling
bertentangan (kontradiksi), untuk menghilangkan pertentangan itu harus
mengkompromikan keduanya sebagaimana halnya membahas hadits-hadits yang sukar
difahami atau diambil isinya, untuk menghilangkan kesukarannya dan menjelaskan
hakikatnya.
B.Saran
Dengan sangat
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Apabila dalam
penyusunan bahasa atau karakter yang berbeda, maka pemakalah meminta ma’af dan
apabila ada kritikan atau saran yang bersifat membangun baik dari dosen
pembimbing maupun sahabat pemakalah terima dengan penuh rasa terimakasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Syaikh Manna’ Al-Qathathan, Pengantar
Studi Ilmu Hadits, (Pustaka
Al-Kautsar), Jakarta Timur, 2005
Muhammad, Aljaj Al-Khatib,Ushul Al-Hadits Pokok-pokok Ilmu Hadits,
(Media Pratama), Jakarta
Muhammad Ahmad- M.Mudzakir, Ulumul Hadits, Untuk Fakultas
Tarbiah Komponen MKDK.
.Abdul Mustaqim,M.A. Ilmu ma’anil Hadits,Berbagai teori dan metode
memahami Hadits Nabi; Yogyakarta;Idea Pres,2008
Ali Hasabillah,usul Al-Tasyri Al-Islamy,dar Al-Ma’arif,
Mesir,Cet.V 1976.
Suhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual,( PT
Bulan Bintang), Jakarta 1984.
Edi Sofri, di sertai Al- Imam Al-Syafi’i, Metode Penyelesaian Hadits.
Al- Syaukany, Muhammad Ibnu Ali
Ibnu Muhammad, Irsyad Al- Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq Min Ilmu Al- Husul, Dar Al-Fikri, Bairut
Muhammad Al-Jaj Al-Khatip, Ushulul Hadits, Ulumuhu wa Musthalahuh:
Bairut Dar Al-Fkr, 1989.
Munzier Suparta M.A, Ilmu Hadits, (PT Raja
Grafindo Persada), Jakarta 2010
Daniel Juned, Ilmu Hadis para digma baru dan rekontruksi ilmu hadis, (PT
Golora Aksara Pratama), Erlangga 2010
[1] Daniel
Juned, Ilmu Hadits para diqma baru dan rekontruksi ilmu hadits, (PT Gelora
Aksara Pratama), Erlagga hal 109-111
[2]Dr.H.Abdul
Mustaqim,M.A. Ilmu
ma’anil Hadits,Berbagai teori dan metode memahami Hadits Nabi;Yogyakarta;Idea
Pres,2008 h.84.
[4]Jalal Al-din Abdurrahman Ibnu
Aby Bakri Al-Suyuti (selanjutnya disebut Al-Suyuty), Tadrib al-Rawy fiy Syarh Taqrib
al-Nawawy, al-Maktabat al-Ilmiyyah. Madinah. Cet. II. 1972. Jilid II, h. 196
[7] Syaikh
Manna’ Al- Qathathan, Pengantar
Studi Ilmu Hadits, (Pustaka
Al-Kautsar), Jakarta Timur hlm
127.
[9] Daniel
Juned, Ilmu Hadits para diqma baru dan rekontruksi ilmu hadits, (PT Gelora
Aksara Pratama), Erlagga hal 116
[10] Syaikh
Manna’ Al- Qathathan, Pengantar
Studi Ilmu Hadits,
(Pustaka Al-Kautsar), Jakarta Timur hlm 127.
[11] Syaikh
Manna’ Al- Qathathan, Pengantar
Studi Ilmu Hadits,
(Pustaka Al-Kautsar), Jakarta Timur, hal
[13] Syaikh
Manna’ Al- Qathathan, Pengantar
Studi Ilmu Hadits,
(Pustaka Al-Kautsar), Jakarta Timur hal
[14] Daniel
Juned, Ilmu Hadits para diqma baru dan rekontruksi ilmu hadits, (PT Gelora
Aksara Pratama), Erlagga hal 133
[15]Syaikh Manna’ Al- Qathathan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Pustaka
Al-Kautsar), Jakarta Timur hlm 128.
0 komentar:
Posting Komentar