MAKALAH
PEMBAGIAN HADIST DARI KUALITAS DAN KUANTITAS RAWI
Editor:
Tim
Makalah-makalah.com
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum.Wr.Wb
Puji syukur saya (penyusun)
panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat-Nya yang berlimpah, kami dapat
menyusun makalah ini dengan baik sesuai dengan kemampuan kami. Tidak lupa pula
kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan
kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Untuk selanjutnya kami
mengharapkan semoga makalah ini dapat menambah wawasan bagi kami sendiri dan
juga mahasiswa yang sedang menempuh materi ini.
Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini
jauh dari sempurna, untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik agar makalah
ini mendekati sempurna, kami sadar bahwa kesempurnaan hanya milik NYA.
Akhir kata, semoga makalah yang kami susun ini berguna bagi kita
semua.
Amin-amin yarabbal ‘alamin.
Wassalamualaikum.Wr.Wb
Hormat kami,
Tim Makalah
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam pembuatan makalah ini kami mengangkat beberapa rumusan
masalah diantaranya:
A. Bagaimana Pembagian hadis dari segi kehujjahannya,
kuantitas periwayatnya, kualitas
kebersambungan sanadnya. Keadilan sahabat, Tabi’in dan Tabi’ al-Tabi’in?
Tujuan
penelitian
Dari rumusan masalah diatas kami memiliki beberapa tujuan diantaranya sebagai berikut:
A. Mengetahui Pembagian hadis dari segi kehujjahannya, kuantitas periwayatnya, kualitas kebersambungan sanadnya. Keadilan sahabat, Tabi’in dan Tabi’ al-Tabi’in.
Dari rumusan masalah diatas kami memiliki beberapa tujuan diantaranya sebagai berikut:
A. Mengetahui Pembagian hadis dari segi kehujjahannya, kuantitas periwayatnya, kualitas kebersambungan sanadnya. Keadilan sahabat, Tabi’in dan Tabi’ al-Tabi’in.
BAB II
PEMBAHASAN
A. HADIST DITINJAU DARI SEGI KUANTITASNYA
Ulama berbeda
pendapat tentang pembagian hadist, ditinjau dari segi kuantitas atau
jumlah rawi yang
menjadi sumber berita
ini. Di antara
mereka ada yang
mengelompokkan menjadi 3
bagian , yakni Hadist
Mutawatir , Masyhur , dan Ahad.
Dan ada juga
yang membaginya hanya
menjadi dua, yakni Hadist
Mutawatir dan Ahad.
1. Hadist Mutawatir
Pengertian Hadist Mutawatir
Mutawatir menurut
bahasa berarti mutatabi
yakni yang datang berikut
dengan kita , atau yang
beriring-iringan antara satu
dengan yang lainnya
dengan tidak ada jaraknya.
Sedangkan pengertian hadist
Mutawatir menurut istilah, terdapat formulasi definisi, antara lain :
§
" Hadist yang diriwayatkan
oleh sejumlah orang
besar yang menurut adat mustahil
mereka bersepakat terlebih dulu berdusta".
§
" Hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah orang besar yang menurut
adat mustahil mereka bersepakat terlebih dulu berdusta. Sejak awal sanad
sampain akhir sanad, pada setiap tingkat (tabaqat)".
§
Menurut Nur ad-Din 'Atar mendefinisikan :
" Hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah
orang besar yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk berdusta (sejak awal
sanad) sampai akhir sanad dengan didasarkan panca indra".
§
Menurut Hasbi as-Siddiqi mendefinisikan :
" Hadist yang diriwayatkan
berdasarkan pengamatan panca indra oleh orang banyak yang jumlahnya menurut
adat kebiasaan mustahil untuk berbuat dusta".
Syarat-syarat Hadist Mutawatir
Mengenai syarat-syarat Hadist
Mutawatir ini, antara ulama Mutaqaddimin dan Mutaakhirin terdapat
perbedaan pendapat.
Menurut Ulama Mutaqaddimin :
Mereka tidak membicarakan
syarat bagi Hadist Mutawatir. Menurut mereka, khabar
mutawatir yang sedemikian sifatnya, tidak termasuk ke dalam pembahasan ilmu
isnad al-Hadist,sebab ilmu ini membicarakan tentang sahih atau tidaknya suatu
hadist, diamalkan atau tidak, dan juga membicarakan adil dan tidaknya
rawi, sementara dalam
Hadist Mutawatir tidak
dibicarakan masalah
tersebut. Bila sudah diketahui
status suatu hadist
sebagai hadist mutawatir, maka
wajib diyakini kebenarannya, diamalkan kandungannya, dan tidak boleh
ada keraguan, serta kafir
orang yang mengingkarinya, sekalipun diantara perawinya adalah orang
kafir.
Menurut Ulama Mutaakhirin :
Suatu hadist dapat ditetapkan
sebagai Hadist Mutawatir, bila memenuhi syarat-syarat ssebagai berikut :
a.
Diriwayatkan oleh Sejumlah Besar Perawi.
Mengenai masalah
ini para ulama
berbeda pendapat. Ada yang menetapkan jumlah
tertentu dan ada
yang tidak menentukan
jumlah tertentu. Menurut ulama yang tidak menyaratkan jumlah
tertentu, yang penting dengan jumlah itu, menurut adat, dapat memberikan
keyakinan terhadap apa yang
diberitakan dan mustahil
mereka sepakat untuk berdusta. Sedangkan menurut
ulama yang menetapkan jumlah tertentu, mereka masih berselisih mengenai
jumlah tertentu itu.
§ Al-Qadi al-Baqilani menetapkan
bahwa jumlah perawi
Hadist Mutawatir minimal 5 orang, mengqiyaskan dengan jumlah Nabi yang mendapat gelar Ulul 'azmi.
§ Astikhari menetapkan
yang paling baik
minimal 10 orang, sebab jumlah 10 itu merupakan awal
bilangan banyak.
§ Ulama lain
menentukan 12 orang,
berdasarkan firman Allah dalam surah
al-Maidah ayat 12:
… $uZ÷Wyèt/ur ÞOßg÷YÏB óÓo_øO$# u|³tã $Y7É)tR ( ...
…dan telah Kami angkat diantara
mereka 12 orang pemimpin …
§ Sebagian Ulama lagi
menentukan 20 orang,
sesuai dengan firman Allah dalam surah al-Anfal ayat 65:
. bÎ) `ä3t öNä3ZÏiB tbrçô³Ïã tbrçÉ9»|¹ (#qç7Î=øót Èû÷ütGs�($ÏB 4
… jika ada dua puluh orang yang
sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh …
.
§ Ada juga yang mengatakan 40 orang,
berdasarkan firman Allah dalam surah al-Anfal 64:
u$tG÷z$#ur 4ÓyqãB ¼çmtBöqs% tûüÏèö7y Wxã_u $oYÏG»s)ÏJÏj9 ( …
" Hai Nabi, cukuplah Allah
(menjadi Pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu".
§ Saat ayat
ini diturunkan jumlah
ummat islam baru
mencapai 40 orang. Hal
ini disesuaikan dengan hadist riwayat at-Tabrany dan Ibn Abi Hatim dari
Ibn 'Abbas, ia berkata : " Telah masuk islam bersama
Rasulullah sebanyak 33 laki-laki dan 6 orang perempuan, Kemudian
'Umar masuk islam, maka jadilah 40 orang masuk islam.
§ Ada juga
yang berpendapat 70
orang, sesuai dengan firman Allah dalam surah al-A'raf ayat
155 :
u‘$tG÷z$#ur 4Óy›qãB ¼çmtBöqs%
tûüÏèö7y™ Wxã_u‘ $oYÏG»s)‹ÏJÏj9 ( …
" Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari
kaumnya untuk (memohonkan taubat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami
tentukan..
Penentuan jumlah-jumlah
tertentu sebagaimana disebutkan
di atas, sebetulnya bukan
merupakan hal yang
prinsip, sebab persoalan pokok yang dijadikan ukuran
untuk menetapkan sedikit
atau banyaknya jumlah Hadist Mutawatir tersebut
bukan terbatas pada jumlah, tetapi diukur pada tercapainya 'ilmu Daruri.
Sekalipun jumlah perawinya tidak banyak, asalkan telah memberikan keyakinan
bahwa beritayang mereka sampikan itu benar, sudah dapat dimasukkan sebagai
Hadist Mutawatir.
b.
Adanya Keseimbangan Antar Perawi Pada Tabaqat (Lapisan)
Pertama dengan Tabaqat Berikutnya.
Jumlah perawi Hadist Mutawatir,
antara tabaqat dengan tabaqat lainnya harus seimbang. Dengan demikian, bila
suatu hadist diriwayatkan oleh 20 orang sahabat, kemudian diterima oleh 10
Tabi'in, dan selanjutnya hanya diterima oleh 5 Tabi'in, maka tidak dapat digolongkan
sebagai Hadist Mutawatir, sebab jumlah perawinya tidak seimbang antara tabaqat
pertama dengan tabaqat-tabaqat seterusnya.
c.
Berdasarkan Tanggapan pancaindra
Artinya bahwa berita yang mereka
sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.
Oleh karena itu, bila berita itu merupakan hasil renungan, pemikiran atau
rangkuman dari suatu peristiwa lain ataupun hasil istimbat dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan Hadist Mutawatir.[1]
2. Khabar Ahad
·
Pengertian Khabar Ahad
Secara pengertian ahad di ambil dari
bahasa arab yaitu wahid, bentuk jama’nya adalah ahad yang berarti satu.
Sedangkan khabar sebagaimana yang telah di ketahui yaitu segala sesuatu yang
disandarkan kepada nabi SAW baik perkataan, perbuatan, taqrir, sifat, dan
cita-cita. Sedangkan menurut terminologi ialah hadist yang tidak memenuhi
syarat-syarat tertentu untuk mencapai tingkat mutawatir.
· Hukum, Faedah dan Bagian Khabar Ahad
a) Hukum khabar ahad
Khabar ahad berfaedah ilmu nazori
artinya ilmu yang tertuju pada
peninjauan dan pengambilan dalil.
b) Bagian khabar ahad yang di tinjau dari
beberapa macam sumbernya.
Khabar ahad di bagi menjadi tiga
macam sumber ;
· Hadist masyhur
· Hadist ‘aziz
· Hadist ghorib
Ketiga macam hadist ini merupakan
sumber munculnya hadist/khabar Ahad. Yang kami akan jelaskan pengertiannya
salah satu dari macam-macam tersebut.
ý Hadist Masyhur
Secara etimology kata masyhur di
ambil dari isim maf’ul (kata objek) yang bermaknakan " Di ". namun
secara terminologi apabila kita sandarkan dengan pengertian hadist ialah hadist
yang di riwayatkan (masyurkan) oleh tiga orang perawi hadist atau lebih. Hadist
masyhur juga di namai dengan almusthafid, karena tersebarnya hadist tersebut
dalam jumlah yang cukup banyak. Contohnya perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa
sallam :
“Muslim sejati adalah muslim yang
saudaranya terbebas dari gangguan lisan dan tangannya”.
ý Hadits ‘Aziz
Hadits yang diriwayatkan oleh dua
rawi saja dimasing-masing tingkatan. Contohnya perkataaan Nabi shollallahu
‘alaihi wa sallam :
“Tidak sempurna iman kalian hingga
Aku lebih dia cintai dari orang tua, anaknya bahkan manusia seluruhnya.”
ý Hadits Ghorib
Hadits yang diriwayatkan oleh satu
orang saja. Contohnya perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam :
“Sesungguhnya setiap amal perbuatan
itu hanyalah dinilai bila disertai dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang
hanya memperoleh sesuai apa yang diniatkannya…(hingga akhir hadits)” (HR.
Bukhori dan Muslim).
Hadits ini dari Nabi shollallahu
‘alaihi wa sallam hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khotob rodhiallahu ‘anhu dan
yang meriwayatkan dari Umar hanya ‘Alqomah ibn Abi Waqosh dan yang meriwayatkan
dari ‘Alqomah hanya Muhammad ibn ibrohim Attaimi, dan yang meriwayatkan dari
Muhammad hanya Yahya ibn Sa’id al Anshori. Kesemuanya adalah tabi’in, kemudian
diriwayatkan dari Yahya oleh banyak orang.[2]
MENILAI KUALITAS HADITS SHAHIH,
HASAN DAN DHA’IF
A.
PENDAHULUAN
Hadits, oleh
umat Islam diyakini
sebagai sumber pokok ajaran Islam sesudah Al-Qur’an.
Dalam tataran aplikasinya,
hadits dapat dijadikan hujjah keagamaan
dalam kehidupan dan menempati posisi yang sangat penting dalam
kajian keislaman. Secara
struktural hadits merupakan
sumber ajaran Islam setelah
Al-Qur’an yang bersifat
global. Artinya, jika kita
tidak menemukan penjelasan tentang berbagai problematika kehidupan di
dalam Al-Qur’an, maka kita harus dan
wajib merujuk pada
hadits. Oleh karena
itu , hadits merupakan hal terpenting dan memiliki kewenangan dalam menetapkan
suatu hukum yang tidak termaktub dalam Al-Qur’an.
Ditinjau dari segi kualitasnya,
hadits terbagi menjadi dua yaitu, hadits Maqbul
(hadits yang dapat diterima sebagai dalil) dan hadist
Mardud (hadits yang tertolak
sebagai dalil ). Hadits Maqbul
terbagi menjadi dua yaitu hadits Shahih
dan Hasan. Semuanya
memiliki ciri dan
kriteria yang berbeda.
Kualitas keshahihan
suatu hadits merupakan hal yang
sangat penting, terutama
hadits-hadits yang bertentangan
dengan hadits, atau dalil lain yang lebih kuat.
Dalam hal ini,
maka kajian makalah
ini diperlukan untuk mengetahui apakah
suatu hadits dapat dijadikan hujjah syar’iyyah atau tidak.
B. HADITS SHAHIH, HASAN, DHA’IF
(KLASIFIKASI, CONTOH
DAN ANALISIS)
1.
HADITS SHAHIH
a.
Pengertian Hadits Shahih
أما الحديث الصحيح
فهوالحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدلمنتهاه ولايكون شاذا ولا معللا. [3]
“Hadis shahih adalah hadits yang
bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh (periwayat) yang
adil dan dhabit sampai akhir sanadnya, tidak terdapat kejanggalan (syadz) dan
cacat (‘Illat).
b.
Syarat-Syarat Hadits Shahih
1)
Sanadnya Bersambung
Setiap perawi
dalam sanad hadits menerima
riwayat hadits dari perawi terdekat
sebelumnya. Keadaan itu
berlangsung demikian sampai akhir
sanad dari suatu hadits.
Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa rangkaian para
perawi hadits shahih sejak perawi terakhir sampai kepada perawi pertama (para
sahabat) yang menerima hadits langsung dari Nabi, bersambung dalam
periwayatannya.[4]
Sanad suatu
hadits dianggap tidak
bersambung bila terputus
salah seorang atau lebih dari rangkaian para perawinya. Bisa jadi rawi
yang dianggap putus itu adalah seorang rawi yang dha’if, sehingga hadits yang
bersangkutan tidak shahih.[5]
2) Perawinya Adil
Seseorang dikatakan
adil apabila ada
padanya sifat-sifat yang
dapat mendorong terpeliharanya ketaqwaan, yaitu senantiasa melaksanakan
perintah dan meninggalkan larangan,
dan terjaganya sifat
Muru’ah, yaitu senantiasa
berakhlak baik dalam
segala tingkah laku dan hal-hal
lain yang dapt merusak harga dirinya.[6]
3) Perawinya Dhabith
Dhabit artinya cukup kuat
hapalannya. Seorang perawi dikatakan
dhabit apabila perawi tersebut
mempunyai daya ingat yang sempurna terhadap hadits yang diriwayatkannya. Adapun
tsiqat artinya dapat dipercaya.
Menurut Ibnu
Hajar al-Asqalani, perawi
yang dhabit adalah mereka yang kuat hafalannya terhadap apa yang
pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan
hafalan tersebut kapan
saja manakala diperlukan. Ini
artinya, bahwa orang yang
disebut dhabit harus
mendengar secara utuh
apa yang diterima atau
didengarnya, kemudian mampu menyampaikannya kepada orang lain atau
meriwayatkannya sebagaimana aslinya.[7]
4) Tidak Syadz
Syadz ( janggal / rancu ) atau syudzuz
adalah hadits yang bertentangan
dengan hadits lain yang lebih kuat atau
lebih tsiqah perawinya.
Maksudnya, suatu kondisi di mana seorang perawi berbeda dengan rawi lain
yang lebih kuat posisinya. Kondisi ini
dianggap syadz karena bila ia berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat
posisinya, baik dari segi kekuatan daya hafalannya atau jumlah mereka lebih
banyak, maka para
rawi yang lain
itu harus diunggulkan, dan ia sendiri disebut syadz.Maka timbullah
penilaian negatif terhadap periwayatan hadits yang bersangkutan.[8]
5) Tidak Ber’illat
Hadits ber’illat adalah
hadits-hadits yang cacat atau terdapat
penyakit karena tersembunyi atau samar-samar, yang dapat merusak
keshahihan hadits. Dikatakan
samar-samar, karena jika
dilihat dari segi zahirnya, hadits tersebut terlihat shahih.
Adanya kesamaran pada
hadits tersebut, mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi
tidak shahih. Dengan demikian,
yang dimaksud hadits tidak
ber’illat, ialah hadits
yang di dalamnya
tidak terdapat kesamaran atau keragu-raguan.
‘Illat hadis dapat terjadi baik pada sanad
maupun pada matan atau pada keduanya
secara bersama-sama. Namun demikian,
‘illat yang paling banyak terjadi adalah pada sanad.[9]
c.
Klasifikasi Hadits Shahih
1. Hadits Shahih li-Dzatihi
Hadits Shahih li-Dzatihi adalah suatu hadits yang
sanadnya bersambung dari permulaan sampai
akhir, diceritakan oleh
orang-orang yang adil, dhabith yang sempurna, serta tidak ada syadz dan ‘Illat
yang tercela.[10]
2. Hadits Shahih li-Ghairihi
Adalah hadits
yang belum mencapai
kualitas shahih, misalnya hanya
berkualitas hasan li-dazatihi , lalu
ada petunjuk atau
dalil lain yang menguatkannya , maka
hadits tersebut meningkat
menjadi hadits shahih
li-ghairihi. Ulama hadits mendefinisikan hadits shahih li-ghairihi.
هو ماكان رواته متأخراعن
درجة الحا فظ الضا بط مع كونه مشهورا بالصدق حتى
يكون حديثه حسنا ثم وجد
فيه من طريق اخر مساو لطريقه أوارجح ما يجبر
ذالك القصورالواقع فيه.
“Yaitu
hadits shahih karena
adanya syahid atau mutabi’. Hadits ini semula merupakan
hadits hasan, karena
adanya mutabi’ dan syahid, maka kedudukannya berubah menjadi
shahih li-Ghairihi.”
2.
HADITS HASAN
a.
Pengertian Hadits Hasan
Hadits hasan ialah hadits yang
sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh
seorang yang adil
tetapi kurang dhabit ,
tidak terdapat di
dalamnya suatu kejanggalan
(syadz) dan tidak juga terdapat cacat (‘Illat). Sehingga
pengertian hadits hasan oleh para ulama mutahaddisin didefinisikan sebagai
berikut:
مالايكون في اسناده
من يتهم بالكدب ولا يكون شاذا ويروى من غير وجه نحوه
فى المعنى
“ialah hadits yang pada sanadnya tidak terdapat orang
yang tertuduh dusta, tidak
terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak
dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya.”
Pada
dasarnya, hadits hasan dengan hadits shahih tidak ada
perbedaan, kecuali hanya dibidang
hafalannya. Pada hadits hasan, hafalan perawinya ada yang kurang
meskipun sedikit. Adapun
untuk syarat-syarat lainnya,
antara hadits hasan dengan hadits shahih adalah sama.[11]
b.
Klasifikasi Hadits Hasan
1.
Hadits Hasan li-Dzatih
Hadits yang sanadnya bersambung
dengan periwayatan yang adil, dhabit meskipun
tidak sempurna, dari
awal sanad hingga
akhir sanad tanpa
ada kejanggalan (syadz) dan cacat (‘Illat) yang merusak hadits.[12]
2.
Hadits Hasan li-Ghairih
Hadits yang
pada sanadnya ada
perawi yang tidak
diketahui keahliannya, tetapi dia bukanlah orang yang
terlalu banyak kesalahan
dalam meriwayatkan hadits,kemudian ada riwayat dengan sanad lain yang
bersesuaian dengan maknanya. Jumhur
ulama muhaddisin memberikan
definisi tentang hadist hasan
li-Ghairihi sebagai berikut:
مالايخلوإسناده من
مستور لم تتحقق أهليته وليس مغفلا. كثير الخطاء ولاظهر
منه سبب مفسق, ويكون
متن الحديث معروفا برويتة مثله أو نحوه من وجه آخر
Yaitu hadits
hasan yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur (tak
nyata keahliannya), bukan pelupa yang
banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang
menjadikan fasik dan
matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan
semakna dari sesuatu segi yang lain.
Hadist hasan li-Ghairihi pada
dasarnya adalah hadits dha’if. Kemudian ada petunjuk
lain yang menolongnya,
sehingga ia meningkat menjadi
hadits hasan. Jadi, sekiranya
tidak ada yang menolong, maka
hadits tersebut akan tetap berkualitas dha’if. [13]
3.
HADITS DHA’IF
a.
Pengertian Hadits Dha’if
الحديث الضعيف هو
الحديث الذي لم يجمع صفات الحديث الصحيح
ولا صفات الحديث
“hadits
dha’if adalah hadits
yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan juga tidak
menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
Dengan demikian,
jika hilang salah
satu kriteria saja,
maka hadits itu menjadi
tidak shahih atau
tidak hasan. Lebih-lebih
jika yang hilang itu sampai
dua atau
tiga syarat maka
hadits tersebut dapat
dinyatakan sebagai hadits dha’if
yang sangat lemah.[14] Karena kualitasnya dha’if, maka sebagian
ulama tidak menjadikannya sebagai dasar hukum.[15]
b. Klasifikasi Hadits Dha’if
1. Dha’if karena tidak bersambung
sanadnya
a. Hadits Munqathi
Hadits yang
gugur sanadnya di
satu tempat atau
lebih , atau pada sanadnya disebutkan nama seseorang yang
tidak dikenal.
b. Hadits Mu’allaq
Hadits yang rawinya digugurkan
seorang atau lebih dari awal sanadnya secara berturut-turut.
c. Hadits Mursal
Hadits yang
gugur sanadnya setelah
tabi’in. Yang dimaksud dengan gugur
di sini, ialah
nama sanad terakhir
tidak disebutkan. Padahal sahabat adalah orang yang pertama menerima
hadits dari Rasul saw.
1). Mursal al-Jali
Hadits yang tidak
disebutkannya (gugur) nama sahabat dilakukan oleh tabi’in besar.
2). Mursal al-Khafi
Pengguguran nama sahabat dilakukan oleh tabi’in yang
masih kecil. Hal ini terjadi karena
hadits yang diriwayatkan
oleh tabi’in tersebut meskipun ia hidup sezaman dengan sahabat, tetapi
ia tidak pernah mendengar sebuah hadits.
d. Hadits Mu’dhal
Hadits yang
gugur rawinya, dua
orang atau lebih, berturut-turut,
baik sahabat bersama tabi'i, tabi'i bersama tabi' al-tabi'in maupun dua orang
sebelum shahabiy dan tabi'iy.
e. Hadits Mudallas
Yaitu hadits
yang diriwayatkan menurut cara
yang diperkirakan bahwa hadits itu tidak terdapat cacat.[16]
2. Dha’if karena tiadanya syarat
adil
a. Hadits al-Maudhu’
Hadits yang
dibuat-buat oleh seorang
( pendusta ) yang ciptaannya dinisbatkan kepada
Rasulullah secara paksa dan
dusta, baik sengaja maupun tidak.
b. Hadits Matruk dan Hadits Munkar
Hadits yang
diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta (terhadap hadits yang
diriwayatkannya), atau tampak kefasikannya, baik pada perbuatan ataupun
perkataannya, atau orang yang banyak lupa maupun ragu.
3. Dha’if karena tiadanya Dhabit
a. Hadits Mudraj
Hadits yang
menampilkan ( redaksi ) tambahan, padahal bukan (bagian dari) hadits
b. Hadits Maqlub
Hadits yang
lafaz matannya terukur
pada salah seorang perawi, atau sanadnya. Kemudian
didahulukan pada penyebutannya , yang
seharusnya disebutkan belakangan
, atau
mengakhirkan penyebutan, yang
seharusnya didahulukan, atau dengan diletakkannya sesuatu pada tempat
yang lain.
c. Hadits Mudhtharib
Hadits yang diriwayatkan dengan
bentuk yang berbeda padahal dari satu perawi dua atau lebih, atau dari dua
perawi atau lebih
yang berdekatan tidak bisa ditarjih.
d. Hadits Mushahhaf dan Muharraf
Hadits Mushahhaf
yaitu hadits yang
perbedaannya dengan hadits riwayat lain
terjadi Karena perubahan titik kata, sedangkan bentuk
tulisannya tidak berubah. Hadits
Muharraf yaitu hadits
yang perbedaannya terjadi disebabkan karena perubahan
syakal kata sedangkan
bentuk tulisannya tidak berubah.
4. Dha’if karena Kejanggalan dan
kecacatan
a. Hadits Syadz
Hadits yang
diriwayatkan oleh orang
yang maqbul, akan tetapi bertentangan (matannya) dengan periwayatan dari
orang yang kualitasnya lebih utama.
b. Hadits Mu’allal
Hadits yang
diketahui ‘Illatnya setelah dilakukan penelitian dan penyelidikan
meskipun pada lahirnya tampak selamat dari cacat.
5. Dha’if dari segi matan
a. Hadits Mauquf
Hadits yang diriwayatkan dari para
sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrirnya. Periwayatannya, baik
sanadnya bersambung maupun
terputus.
b. Hadits Maqthu
Hadits yang
diriwayatkan dari tabi’in
dan disandarkan kepadanya,
baik perkataan maupun perbuatannya. Dengan
kata lain, hadits
maqthu adalah perkataaan atau perbuatan tabi’in.
C.
KEHUJJAHAN HADITS SHAHIH, HASAN DAN DHA’IF
1. Hadits yang berkualitas shahih,
para ulama sepakat dapat dijadikan
hujjah untuk masalah hukum dan lainnya.
2. Hadits hasan, Imam Bukhari
dan Ibnul Araby, menolaknya
sebagai dalil untuk menetapkan
hukum, namun ulama
lain seperti al-Hakim,
Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzainah, dapat menerimanya sebagai hujjah,
dengan syarat apabila hadits hasan
tersebut ternyata isinya bertentangan dengan hadits yang berkualitas
shahih, maka yang diambil haruslah hadits yang berkualitas shahih.
3. Hadits dha’if, ada dua
pendapat boleh atau
tidaknya dijadikan sebagai hujjah.
Pertama, Imam Bukhari, Muslim, Ibnu Hazm dan Abu Bakar Ibnul Araby
menyatakan, hadits dha’if sama sekali tidak boleh diamalkan, atau
dijadikan hujjah, baik
untuk masalah yang
berhubungan dengan hukum maupun
untuk amaliyah. Kedua,
Imam Ahmad Ibn Hambal, Abdur Rahman bin Mahdi dan Ibnu
Hajar al-Asqalany menyatakan, bahwa hadits
dha’if dapat dijadikan hujjah
( dalil) hanya untuk
dasar keutamaan amal (Fadla’il
amal) dengan syarat:
a. Para rawi
yang meriwayatkan hadits
itu tidak terlalu
lemah
b. Masalah yang
dikemukakan hadits itu mempunyai dasar pokok yang ditetapkan oleh
Al-Qur’an dan Hadits shahih
c. Tidak bertentangan dengan dalil
yang lebih kuat.
d. Kandungan hadits tersebut
berkenaan dengan kisah, nasihat, keutamaan, dan sejenisnya, serta tidak
berkaitan dengan sifat-sifat Allah, tafsir ayat Al-Qur’an, hukum halal dan
haram
e. Kedha’ifan hadits yang
bersangkutan tidak terlalu parah
f. Ada dalil lain (yang kuat atau
memenuhi syarat) yang menjadi dasar pokok bagi hadits dha’if tersebut
g. Amal yang dilakukan tidak
diniatkan atas dasar petunjuk dari hadits dha’if tersebut, tetapi diniatkan
atas dasar kehati-hatian (ihtiyath)
A. Hadits Maqbul dan Permasalahannya
Pengertian
Maqbul menurut
bahasa adalah yang diambil, yang diterima dan yang
dibenarkan. Sedangkan menurut istilah ahli
hadits, hadits maqbul ialah
hadis yang telah sempurna
syarat - syarat penerimaannya
. Adapun
syarat - syarat penerimaan
hadits menjadi hadits
yang maqbul berkaitan dengan sanad-nya yang tersambung, diriwayatkan oleh
rawi yang adil dan dhabit, dan dari segi matan yang
tidak syadz dan tidak terdapat illat.[17]
Hadits maqbul
ialah hadits yang dapat diterima
sebagai hujjah. Jumhur ulama sepakat
bahwa hadits Shohih dan hasan sebagai hujjah. Pada prinsipnya, baik hadits
shohih maupun hadits
hasan mempunyai sifat-sifat
yang dapat diterima (Maqbul).
Walaupun rawi hadits hasan kurang hafalannya
dibanding dengan rawi hadits
shohih, tetapi rawi
hadits hasan masih terkenal sebagai orang yang jujur dan
dari pada melakukan dusta.
Klasifikasi Hadits Maqbul
Yang termasuk kedalam kategori
hadits maqbul ialah :
1. Hadits Shohih[18], baik shohih lidzatihi
maupun shohih ligahirih.
2. Hadits Hasan[19], baik hasan lidzatihi
maupun hasan lighairihi.
Kedua macam
hadits tersebut wajib
diterima, namun demikian
para muhaddisin dan juga
ulama yang lain
sependapat bahwa tidak semua hadits yang
maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat
hadits-hadits yang telah
dihapuskan hukumnya disebabkan
datangnya hukum atau ketentuan
lain yang juga ditetapkan oleh hadis Rasulullah SAW.
Maka dari itu, apabila ditinjau
dari sifatnya. Maka hadits
maqbul terbagi pula menjadi dua,
yakni Hadits maqbul yang dapat diterima menjadi hujjah dan dapat pula
diamalkan, inilah yang disebut dengan hadits maqbul ma’mulun bih.
Disamping itu juga
ada hadits maqbul
yang tidak dapat
diamalkan, yang disebut dengan
hadits maqbul ghairu ma’mulin
bih. Berikut ini adalah rincian dari masing-masing hadits tersebut yakni
sebagai berikut :
Hadits Maqbul yang Ma’mul bih.
1)
Hadits Muhkam
Al-Muhkam menurut
bahasa artinya yang dikokohkan, atau yang diteguhkan.
Yaitu hadits - hadits yang
tidak mempunyai saingan dengan
hadits yang lain, yang dapat mempengaruhi artinya. Dengan kata lain tidak ada
hadits lain yang melawannya.
Dikatakan muhkam ialah
karena dapat dipakai sebagai hukum lantaran dapat
diamalkan secara pasti, tanpa syubhat sedikit pun.
Kebanyakan hadits
tergolong kepada jenis ini,
sedangkan yang bertentangan jumlahnya sedikit.
2)
Hadits Mukhtalif
Mukhtalif artinya adalah yang bertentangan
atau yang berselisih.
Sedangkan secara istilah ialah
hadits yang diterima
namun pada zhahirnya
kelihatan bertentangan dengan hadits
maqbul lainnya dalam
maknanya, akan tetapi memungkinkan untuk
dikompromikan antara keduanya.
Kedua buah hadits yang berlawanan ini kalau bisa
dikompromikan, diamalkan kedua-kaduanya.
3)
Hadits Rajih
Yaitu sebuah hadits yang terkuat
diantara dua buah
hadits yang berlawanan maksudnya.
4)
Hadits Nasikh
Yakni hadits
yang datang lebih
akhir, yang menghapuskan ketentuan hukum yang terkandung dalam hadits
yang datang mandahuluinya.
Contoh dari
hadits Maqbul ma’mulul
bih banyak sekali. Secara garis
besar pembagiannya ialah hadits
yang tidak ada perlawanannya dengan hadits lain
dan hadits yang
terjadi perlawanan dengan
hadits lain. Sebagai contoh
akan dikemukakan tentang
hadits yang tidak
memiliki perlawanan dengan hadits lain (Hadits Muhkam) berikut
ini.
“janganlah kamu larang isterimu
untuk pergi kemesji (untuk bersembahyang), tetapi sembahyang dirumah lebih baik
bagi mereka” (H.R Abu Daud dari Ibnu Umar).[20]
Contoh Hadits yang memiliki
perlawanan dari hadits lain tetapi salah satu dari hadits tersebut telah
menghapus ketentuan hukum yang terkandung dari hadits yang turun sesudahnya
(hadits nasikh). Yakni sebagai berikut :
Barra berkata
: “ sesungguhnya nabi saw. Pernah
sembahyang menghadap baitul
maqdis selama enam belas bulan”. (Riwayat Bukhari)
Hukum menghadap
kiblat ke baitul
maqdis itu telah dinasikhkah oleh
Allah pada firmanNya
“hendaklah kamu
menghadapkan mukamu kearah
masjidil haram (ka’bah). (QS.
Albaqarah :144)[21]
1.
Hadits Maqbul Ghairu Ma’mul bih
A.
Hadits Mutasyabih
Yakni hadits
yang sukar dipahami
maksudnya lantaran tidak
dapat diketahui takwilnya. Ketentuan
hadits mutasyabih ini
ialah harus diimankan adanya, tetapi tidak boleh diamalkan.
B. Hadits Mutawaqqaf fihi
Yakni dua
buah hadits maqbul
yang saling berlawanan
yang tidak dapat
di kompromikan, ditarjihkan
dan dinasakhkan. Kedua
hadits ini hendaklah dibekukan sementara.
C. Hadits Marjuh
Yakni sebuah hadits maqbul yang ditenggang
oleh hadits Maqbul
lain yang lebih kuat. Kalau
yang ditenggang itu
bukan hadits maqbul, bukan disebut hadits marjuh.
D.
Hadits Mansukh
Secara bahasa
mansukh artinya yang
dihapus, Yakni maqbul
yang telah dihapuskan (nasakh)
oleh hadits maqbul yang datang kemudian.
E. Hadits Maqbul
Maknanya berlawanan
dengan alQur’an, Mutawatir,
akal yang sehat
dan ijma’ ulama.
Contoh dari hadits Maqbul ghairu
ma’mul bih ini salah satunya
ialah tentang hadits yang
bertentangan dengan akal sehat yakni berikut ini :
”Konon termasuk yang diturunkan
kepada nabi Muhammad saw. Wahyu yang diturunkan di malam hari dan nabi
melupakannya disiang hari” (HR. Ibnu Abi Hatim dari Riwayat Ibnu Abbas r.a)[22]
Hadits tersebut secara akal sehat,
sebab menerima anggapan bahwa nabi pernah
lupa sedangkan menurut
akal sehat dan
keputusan ijma’ nabi ialah terpelihara dari dosa dan kelupaan ( ma’shum ) dalam
menyampaikan syariat
BAB III
PENUTUP
1)
Ditinjau dari segi kuantitas, hadist terbagi menjadi 3 kelompok, yakni:
mutawatir, masyhur, dan ahad.
2)
Adapun apabila ditinjau dari segi kualitas, maka hadist terbagi 2, yakni
maqbul dan mardud.
3)
Hadist maqbul (hadist yang dapat diterima sebagai dalil) terbagi menjadi
2 yaitu hadist shahih dan hasan
4)
Sedangkan yang termasuk kedalam hadist mardud salah satunya ialah hadist
dhoif.
5)
Hadist shahih terbagi kepada shahih lidzatihi dan shahih lighairih
6)
Hadist dhoif hanya boleh dijadikan hujjah (dalil) untuk keutamaan amal.
DAFTAR PUSTAKA
1) H. Mahmud Aziz dan Mahmud Yunus. Ilmu
Mustholah Hadis. Jakarta:PT Hadikarya Agung. 1984. h. 96
2) Drs. Fatchurrahman.. Ikhtishar
Mushthalahu’l hadits. Bandung: PT Alma’arif, 1974. h. 150
3) M. Yusron, S.PdI. Pohon Ilmu Hadits.
http//: www.darussholah.com
4)
http://mufdil.wordpress.com/2009/08/06/hadits-maqbul-dan-hadits-mardud/#_ftn6
[1]. Ilmu hadits-DRS.Munzier
Supatra, M.A. & DRS.Utang Ranuwijaya M.A. hal : 81-86.
[2]
http://www.kosmaext2010.com/makalah-ulumul-hadits-khabar-mutawatir-dan-khabar-ahad.php#more-660
Sumber:
http://stiqulumalhadis.blogspot.co.id/2012/01/pembagian-hadist-dari-kualitas-dan.html
Tag # Pembagian hadis dari segi
kehujjahannya, kuantitas periwayatnya, kualitas kebersambungan sanadnya. Keadilan sahabat,
Tabi’in dan Tabi’ al-Tabi’in
0 komentar:
Posting Komentar