MAKALAH
WARGA NEGARA
Penyusun:
Muhammad Wahyu Fajar
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum.Wr.Wb
Puji syukur saya (penyusun)
panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat-Nya yang berlimpah, kami dapat
menyusun makalah ini dengan baik sesuai dengan kemampuan kami. Tidak lupa pula
kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan
kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Untuk selanjutnya kami mengharapkan
semoga makalah ini dapat menambah wawasan bagi kami sendiri dan juga mahasiswa
yang sedang menempuh materi ini.
Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini
jauh dari sempurna, untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik agar makalah
ini mendekati sempurna, kami sadar bahwa kesempurnaan hanya milik NYA.
Akhir kata, semoga makalah yang
kami susun ini berguna bagi kita semua.
Amin-amin yarabbal ‘alamin.
Wassalamualaikum.Wr.Wb
Hormat kami,
Tim Makalah
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam pembuatan makalah ini kami mengangkat beberapa rumusan
masalah diantaranya:
1) Apa Itu Warga Negara?
2) Bagaimana Asa Kewarganegaraan?
3) Apa Hak dan Kewajiban Warga Negara?
Tujuan penelitian
Dari rumusan masalah diatas kami memiliki beberapa tujuan diantaranya sebagai berikut:
1) Mengetahui Definisi Warga Negara;
Dari rumusan masalah diatas kami memiliki beberapa tujuan diantaranya sebagai berikut:
1) Mengetahui Definisi Warga Negara;
2) Mengetahui Bagaimana Asas
Kewarganegaraan;
3) Mengetahui Hak dan Kewajiban Warga
Negara.
BAB II
KONSEP
DASAR KEWARGANEGARAAN
A. Pengertian Warga Negara
Wewenang
sebuah organisasi negara meliputi
kelompok manusia yang berada di dalamnya.
Kelompok tersebut dapat dibedakan antara warga
negara dengan bukan warga negara (orang asing).
Warga
negara sebagai pendukung sebuah
negara merupakan landasan bagi adanya
negara. Dengan kata lain bahwa warga negara
adalah salah satu unsur penting bagi sebuah negara, selain unsur lainnya.1
Warga negara
itu sendiri bisa diartikan dengan
orang-orang sebagai
bagian dari suatu penduduk yang menjadi unsur negara.2 Istilah ini biasa juga disebut
hamba atau kawula negara.3 Meskipun
demikian
istilah warga negara dirasa lebih sesuai
dengan kedudukannya sebagai
orang-orang merdeka
bila
dibandingkan
istilah hamba dan kawula negara, karena warga negara mengandung arti peserta, anggota atau warga yang menjadi
bagian dari suatu negara.
Asumsi
ini tidaklah berlebihan dan cukup beralasan. Sebagai anggota dari persekutuan yakni negara, yang didirikan dengan kekuatan bersama, atas
1 Pada umumnya dapatlah dikatakan bahwa suatu negara
harus memenuhi syarat-syarat bagi keberadaan negara yang merupakan unsur penting negara. Syarat-syarat yang dimaksud ialah
: pertama harus ada
wilayahnya, kedua, harus terdapat rakyat atau warga negara, ketiga, harus ada pemerintahan yang berkuasa terhadap seluruh daerah dan rakyatnya, serta keempat harus
ada tujuan. Lihat C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Ilmu Negara (umum dan Indonesia), Jakarta:
Pradnya Paramita, cet.ke-1, 2001, hlm.148.
2 Tim ICCE UIN, Demokrasi, Hak Asasi Manusia
dan Masyarakat Madani, Jakarta
: ICCE UIN Syarif hidayatullah dengan The Asia
Foundation dan Prenada Media, 2003, hlm. 73.
3 Ibid.
dasar tanggung jawab bersama, serta untuk kepentingan atau tujuan
bersama pula4, warga negara dituntut untuk aktif terhadap negara.
Dengan alasan tersebut istilah
warga negara dirasa lebih sesuai, karena mengandung
pengertian aktif. Sedangkan
istilah hamba atau kawula negara mengandung
pengertian warga yang pasif dan hanya menjadi obyek negara. Untuk itu,
setiap warga negara mempunyai persamaan hak di hadapan
hukum. Semua
warga negara mempunyai kepastian hak, privasi, dan
tanggung jawab.
Sejalan dengan
definisi
di
atas,
AS
Hikam mendefinisikan
bahwa
warga negara (citizenship) adalah anggota dari sebuah komunitas yang membentuk negara itu sendiri. Istilah ini menurutnya lebih baik daripada istilah kawula negara, karena
kawula negara betul-betul berarti obyek yang berarti orang yang dimiliki dan mengabdi kepada negara.
Oleh karenanya, kewarganegaraan menurut AS
Hikam
harus mencakup tiga dimensi utama: 1) Dimensi keterlibatan aktif dalam komunitas,
2) dimensi pemenuhan
hak-hak dasar yaitu hak politik,
ekonomi, dan hak
sosial kultural, serta 3) dimensi dialog dan keberadaan ruang publik yang bebas.5
4 Pada awalnya, negara
atau bangsa merupakan sekumpulan manusia atau gabungan
entitas-entitas yang beragam, lalu disarikan hubungan kesadaran dan diikat oleh asas kemaslahatan
bersama yang dituangkan dalam bentuk system legislasi dan hukum
perundang-undangan. System ini diberlakukan padatanah kehidupan yang dinamakan tanah air (wathan).
Pada gilirannya hubungan tersebut diatur oleh kekuasaan yang dinamakan negara.
Lihat Muhammad Syahrur, Dirasat Islamiyyah Muashirah
fi al Daulat wa al Mujtama',
terjemah Saifudin
Zuhri dan Badrus Syamsul Fata "Tirani Islam, Genealogi
Masyarakat dan Negara", Yogyakarta : LKIS, cet.
ke-1,
2003, hlm.90.
5 Muhammad A.S. Hikam, Politik Kewarganegaraan : Landasan Redemokratisasi di
Indonesia, Jakarta
: Penerbit Erlangga, 1999, hlm. 166.
Istilah
warga negara dan rakyat menunjuk pada
obyek yang sama6,
yakni sebagai anggota negara7. Meskipun demikian terdapat perbedaan pengertian antara pengertian warga negara, rakyat dan bangsa. Warga negara
adalah pendukung negara atau dalam arti
lain warga sebuah negara yang bersifat aktif. Sedang
rakyat adalah masyarakat yang mempunyai persamaan kedudukan sebagai obyek pengaturan dan
penataan oleh negara dan mempunyai
ikatan
kesadaran
sebagai
kesatuan
dalam hubungan keorganisasian negara.
Istilah
warga negara tidak menunjuk pada
obyek yang sama dengan istilah
penduduk. Warga negara sebuah negara
belumlah tentu merupakan
penduduk negara tersebut. Penduduk adalah
orang-orang yang bertempat tinggal secara sah dalam suatu negara berdasarkan peraturan
perundangan kependudukan sah dari negara yang bersangkutan.
Baik
status sebagai warga negara maupun
sebagai penduduk mempunyai
konsekuensi hukum,
yaitu menyangkut hak-hak dan kewajibannya. Konsekuensi hukum dari status warga negara lebih
luas dari pada status
sebagai penduduk. Pembagian penduduk
menjadi warga negara dan
orang asing sangatlah penting. Hal
ini dikarenakan beberapa hak dan kewajiban yang dimiliki warga
negara dengan orang asing berbeda.
Hak dan
kewajiban penduduk yang
bukan warga negara adalah terbatas.8
6 Harsono, Perkembangan Pengaturan Kewarganegaraan, Yogyakarta : Liberty,
cet. ke-
1, 1992, hlm. 1.
7 Lihat
Koerniatmanto Soetoprawiro, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian
Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama, cet. ke-1, 1994, hlm. 1. lihat pula
S. Gautama, Warga Negara dan Orang Asing, Bandung : Penerbit Alumni, cet.
ke-3, 1975, hlm. 3.
8 Harsono, op. cit.,
hlm. 2.
Perbedaaan
antara kelompok warga negara dengan
orang asing terletak pada hubungan yang ada antara negara
dengan warga negara dengan masing- masing kelompok tersebut. Hubungan antara negara
dengan warga negara lebih erat dibandingkan hubungan
antara negara dengan orang asing.
Dalam konteks
negara Islam9, warga negara mengandung pengertian
penduduk sebuah negara Islam
yang memeluk agama Islam10. Penduduk yang bertempat tinggal di wilayah negara Islam namun belum memeluk agama
Islam atau dengan kata lain bahwa masyarakat
atau individu non muslim yang bertempat tinggal diwilayah
negara Islam, akan diberi status penduduk permanen, tetapi tidak dianggap sebagai warga negara dari negara Islam
kecuali jika mereka memeluk
Islam atas kemauan mereka sendiri.11
Meskipun
demikian,
ternyata kenyataan diatas
bukanlah sebuah
statemen yang bersifat final, hal ini terlihat dari adanya pemikir Islam
yang memandang mereka sebagai
warga negara Islam.12
B. Asas
Kewarganegaraan
Sebagaimana
dijelaskan
di
atas
bahwa warga
negara merupakan
anggota dari sebuah negara yang mempunyai tanggung jawab dan hubungan timbal balik terhadap negaranya. Seseorang
yang diakui sebagai warga negara dalam suatu negara haruslah ditentukan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang
9 Penjelasan tentang
hal ini, lihat
catatan kaki bab I no. 6.
10 Lihat Abdul Rahman Abdul Kadir Kurdi, Tatanan Sosisal Islam Studi Berdasarkan Al
Qur'an dan Sunah, Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, cet.
ke-1, 2000, hlm. 115.
11 Ibid.
12 Lihat M. Galib M., Ahl
Al
Kitab,
Makna
dan
Cakupannya,
Jakarta : Penerbit
Paramadina, cet.
ke-1, 1998, hlm. 181. Lihat pila Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut
Konsepsi
Islam, Surabaya
: Bina Ilmu, cet. ke-1, 1995, hlm. 241.
telah disepakati dalam negara tersebut. Ketentuan inilah yang nantinya akan
menjadi pedoman atau asas untuk menentukan kebebasan dan kewenangan untuk menentukan asas kewarganegaraan seseorang.
Pada umumnya
asas kewarganegaraan dapat dibedakan menjadi
dua, yakni asas kewarganegaraan dilihat dari sisi
kelahiran serta dari sisi perkawinan.13
1. Dari sisi kelahiran.
Pada umumnya
penentuan kewarganegaraan dilihat dari sisi kelahiran seseorang. Berdasar sisi kelahiran ini, terdapat dua asas kewarganegaraan, yaitu asas kelahiran
(Ius Soli) dan asas keturunan
(Ius Sanguinis), kedua istilah ini berasal dari
bahasa latin.
Ius berarti hukum, dalil atau pedoman, Soli berasal dari kata Solum
yang berarti negeri, tanah atau daerah dan Saunginis
berasal dari kata Sanguis yang
berarti darah.14
Berdasarkan
pengertian di atas, Ius Soli mempunyai arti asas atau
pedoman
untuk menentukan status
kewarganegaraan seseorang dengan berdasarkan
tempat atau daerah kelahiran seseorang. Asas ini diasumsikan bahwa seseorang yang terlahir di
suatu negara, maka dengan sendirinya
ia akan memperoleh status kewarganegaraan dari negara tersebut. Sedangkan Ius Sanguinis berarti penentuan
kewarganegaraan seseorang dengan berdasarkan
keturunannya atau orang tuanya. Sebagai contoh seseorang
yang lahir dari orang tua yang berkewarganegaraan sesuai dengan negara
13 Koerniatmanto Soeto Prawiro, op. cit., hlm. 10.
14 Tim ICCE UIN,
op. cit., hlm. 75.
tertentu
maka secara
otomatis pula
ia
akan
memperoleh
status kewarganegaraan sesuai dengan
status kewarganegaraan orang tuanya.
2. Dari sisi Perkawinan
Di samping dari
sudut kelahiran, hukum kewarganegaraan juga mengenal dua
asas yang erat kaitannya dengan masalah
perkawinan, yaitu asas kesatuan hukum dan asas
persamaan derajat.15 Suatu perkawinan
dapat menyebabkan terjadinya
perubahan status kewarganegaraan seseorang. Dengan adanya perkawinan campuran yakni perkawinan yang dilangsungkan
oleh para pihak yang berbeda kewarganegaraannya, maka akan muncul permasalahan seputar kewarganegaraan mereka. Munculnya kedua asas ini berawal dari kedudukan
pihak wanita di dalam
perkawinan campuran tersebut.
Asas kesatuan
hukum bertolak dari hakekat
suami istri ataupun ikatan dalam keluarga yang merupakan
inti dari masyarakat. Masyarakat akan sejahtera apabila didukung
oleh keluarga-keluarga yang sehat dan
tidak terpecah.
Dalam menyelenggrakan
kehidupan
bermasyarakatnya suatu keluarga ataupun suami istri yang
baik, perlu mencerminkan
adanya kesatuan yang bulat serta perlu adanya suatu kesatuan dalam keluarga.
Sedangkan dalam
asas persamaan derajat diasumsikan bahwa suatu
perkawinan tidak menyebabkan perubahan
status kewarganegaraan masing-masing pihak.16 Dengan adanya perkawinan campuran, maka masing-masing pihak tetap
memiliki kewarganegaraan asal mereka,
atau
15 Koerniatmanto Soetoprawiro, op. cit., hlm. 12.
16 Tim ICCE UIN,
op. cit., hlm. 76.
dengan kata lain meskipun sudah menjadi
suami istri, mereka tetap memiliki status kewarganegaraan mereka sendiri, seperti saat pertama kali mereka
sebelum bertemu dan menjadi pasangan
suami istri.
Asas ini
dapat menghindari terjadinya
penyelundupan hukum. Dengan asas ini
seseorang yang ingin memiliki atau memperoleh status
kewarganegaraan dari sutau negara dengan cara atau berpura-pura melakukan pernikahan dengan perempuan negara tersebut kemudian menceraikannya, sebisa mungkin dapat
dihindari. Untuk menghindari
penyelundupan hukum semacam ini,
banyak negara yang menggunakan asas persamaan derajat dalam peraturan kewarganegaraannya.
Sedangkan dalam hal
asas kewarganegaraan negara Islam, terdapat
perbedaan pandangan. Abdulrahman
Abdul Kadir Kurdi misalnya, menyatakan bahwa asas kewarganegaraan dalam negara Islam
didasarkan atas olehnya seorang warga dalam menerapkan ajaran Islam
dalam kehidupan mereka.17 Dengan demikian umat manusia
secara keseluruhan akan dipandang
sebagai muslim atau non muslim dalam sisi kehidupan mereka dalam
menjalankan Islam. Pengelompokam
ini semata-mata hanya dimaksudkan hanya untuk membedakan antara orang-orang Islam dengan lainnya berkaitan dengan
tanggungjawab dan persyaratan mereka dalam
sistem Islam.
Sedangkan pandangan lain menyatakan, sebagai negara ideologi, Islam
tetap membatasi kewarganegaraan bagi mereka yang menetap di
17 Abdulrahman Abdul Kadir Kurdi, op. cit., hlm. 112.
wilayahnya saja baik itu muslim ataupun
non muslim dan orang-orang yang telah berimigrasi ke dalamnya.18 Adapun dasar dari statemen ini adalah firman Allah dalam surat
Al Anfal ayat 72, yang berbunyi :
Artinya : "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan
berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-
orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan mereka itu satu sama
lain saling melindungi dan terhadap
orang-orang yang beriman
tetapi
mereka belum
berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi
mereka." (QS. Al Anfal : 72)
C. Hak dan Kewajiban
Warga Negara
Dalam konsep negara Islam terdapat dua macam kewarganegaraan yakni warga negara muslim dan warga negara non muslim
(dzimmi).
Pengklasifikasian dalam konsep negara Islam
menjadi dua macam
ini dimaksudkan
sebagai
pembedaan orang-orang muslim berkaitan dengan
18 Syekh Syaukat
Hussain, Hak Asasi Manusia
dalam Islam, Jakarta : Gema Insani
Press, cet. ke-1, 1996, hlm. 21.
tanggungjawab
dan
persyaratan mereka dalam
sistem
Islam,19 tanpa bermaksud membeda-bedakan antara warga
muslim
dan non muslim dari sudut lainnya, seperti kemanusiaan, ras ataupun warna kulit sebagaimana firman
Allah dalam Al Qur'an :
Artinya : "Dialah yang menciptakan kamu, maka diantara
kamu ada yang kafir
dan ada yang beriman. Allah maha melihat atas apa yang kamu kerjakan." (QS. At Taghabun : 2)
Sebagaimana tersirat dalam makna ayat di atas, jelas sekali bahwa ayat ini
mengelompokkan manusia
sebagai golongan dari
orang-orang yang beriman dan orang-orang yang tidak beriman sebagai konsekuensi dari penerimaan dan penerapan sistem Islam.
Dalam
pengertian warga negara secara umum
dinyatakan bahwa warga negara merupakan anggota dari
negara yang mempunyai kedudukan khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik
terhadap negaranya sehingga
sebagai warga negara yang baik, seseorang akan terlebih dahulu mendahulukan kewajibannya sebagai warga
negara dari pada meminta
haknya terlebih dahulu.
Berdasarkan
pengertian tersebut diatas, maka adanya
hak dan kewajiban bagi warga
negara terhadap negaranya merupakan
sesuatu yang memang harus ada sebagai sebuah keseimbangan.
19 Abdulrahman Abdul
Kadir Kurdi, loc. Cit.
Pada dasarnya
hak-hak seorang warga negara
adalah hak-hak yang telah diakui dan dijamin
serta tertuang dalam Hak Asasi
Manusia (HAM).20
Hak-hak tersebut antara lain adalah hak atas
kebebasan beragama dan beribadat
sesuai dengan kepercayaannya, kebebasan untuk berserikat dan berkumpul, hak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, hak atas persamaan di
depan hukum dan mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, hak memperoleh
kesempatan yang sama dalam
pemerintahan dan hak-hak asasi
lainnya.
20 Lihat Tim ICCE
UIN, op.cit., hlm. 83.
BAB IV
PENUTUP
Demikian makalah ini kami tulis, semoga bisa
memberi manfaat dan dorongan untuk kita dalam berpartisipasi sebagai Warga Negara yang baik. Mohon maaf jika
banyak kesalahan dalam penulisan. Terimakasih.
0 komentar:
Posting Komentar